Fate 5 » Kereta Pemasok

489 68 17
                                    

• Ӎ-ӱ ┼ Ӻ-ӑ-ԏ-є • 

       Rintikan pelan terdengar, bergemericik saat menyentuh permukaan. Ternyata, kilau romantis yang ditawarkan si senja hanyalah pengalih agar si mendung dapat mengambil alih langit. Memberi peluang bagi kegelapan dan rasa dingin untuk menyebar, menyapu habis segala kehangatan yang tersisa.       

       Masih diterangi secercah sinar sang surya, beragam jenis penerangan mulai menguarkan cahaya kuning mereka. Suara gemericik sang banyu bertambah ricuh begitu sepasang kaki menapakinya. Diiringi hembusan hangat yang tak henti keluar.

       Surai-surai emas menyilaukan tak lagi berkibas memamerkan keindahannya. Kini redup tanpa sinar, saling menempel pada satu sama lain akibat basah yang menerjang.

       Tak dikira akan seperti ini. Jika memang begitu, seharusnya dia berdiam saja di ruangan mewah, dimana si lelaki berparas cantik memintanya untuk menunggu. Namun, tekad berpetualang terlalu tinggi hingga membawa tubuh pendek itu ke sebuah taman yang cukup menenangkan.

       Sekarang, ia tengah berdiri di sebuah koridor luar belakang istana, berteduh dari rintikan air yang menimpa tak terlalu deras. Sepasang emerald kembali memandang taman kecil di hadapan, sedikit mengagumi keindahan yang telah diselimuti oleh tangisan langit tersebut. Terus saja terdiam, hingga pikiran menjadi hampa sepenuhnya. Larut dalam kilasan fatamorgana.

       "Saber," sebuah suara memanggil dengan lantang, bergema di sepanjang lorong terbuka. Sang gadis melonjak kaget lalu menoleh. "Kupikir kau melarikan diri." Enkidu, si lelaki berparas cantik nan ramah, berjalan mendekat sekaligus mengatur nafasnya yang tak karuan.

       Saber menanggapi dengan sebuah senyum tipis dan menjawab, "Kemana lagi aku akan pergi?" Suaranya terdengar lemah mengandung pilu.

       Rasa bersalah tumbuh di benak Enkidu. Di satu sisi, ia ikut bersedih atas apapun yang telah menimpa gadia itu. Sedangkan di sisi lain, ia sangat penasaran akan kisah yang telah dijalaninya.

       Hening sesaat sebelum seseorang datang menginterupsi.

       "Tuan Enkidu...," ucapnya tersendat oleh nafas sendiri. Tubuh sosok itu basah kuyup. Zirah yang melekat pun terlihat mengkilat, menampilkan dengan jelas goresan-goresan senjata tajam. Ternyata sudah banyak medan yang ia hadapi. "Hamba minta maaf..."

       Si ramah mendekatinya demi memberikan tepukan di pundak. "Bernafaslah dulu, Redum*."

       Si prajurit menurut. Setelah empat hirupan dipasok oleh paru-paru barulah ia kembali menyuarakan informasi yang digenggam sang lidah sedari tadi. "Kereta pemasok iskaranu* dari utara Assyria tak pernah sampai, Tuan," ucapnya cepat, "Ini sudah terlambat satu hari dari waktu yang telah dijadwalkan."

       Raut si ramah tergantikan oleh rasa panik. Netranya melebar, geram menahan amarah. "Kenapa tak kau sampaikan dari kemarin?" tanyanya agak menuntut. Sang prajurit seketika kalut, bingung untuk sekedar mengeluarkan kata-kata.

       Hembusan kasar dilepaskan dari bibir si surai hijau. Jari-jari lentiknya tergerak, mengurut batang hidung. Sang gadis tercengang dalam hening. Tak pernah ia melihat Enkidu bersikap seperti ini.

       "Kalau begitu, tunggu apalagi?" ujarnya mengejutkan seraya melangkah cepat, "Mari beritahu Gil-" Belum tuntas kalimat di lidah, Enkidu seketika mematung di tengah lorong. "Tidak, tidak." Tubuhnya berbalik melawan arah yang seharusnya. Terus saja dia menggumamkan kata 'tidak' dalam beragam intonasi. Nampak jelas jika sosok itu sangat frustasi.

       Sang prajurit bergerak maju, dan sedikit menunduk. "Ada apa, Tuan?" tanyanya. "Kita harus memberi tahu Yang Mulia."

       Tak memberi jawaban, si ramah menatap sang gadis yang tak jauh dari mereka. Tengah memandang kemari dengan penuh keheranan.

My FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang