Fate 12 » Singa yang Tertidur

321 66 87
                                    

• Ӎ-ӱ ┼ Ӻ-ӑ-ԏ-є •

       Hari kembali berganti menjadi hari penuh mentari. Nampaknya Dewa Utu memberikan terik terbaik demi menyelimuti Uruk. Panas seperti biasa, membuat daerah sekitar menguapkan hawa dingin semalam. Peluh bisa saja membanjiri siapapun yang tak terbiasa dengan iklim kerajaan berpasir itu.

       "Jika tak terbiasa, bagaimana kau bisa disini?" tanya pemuda Fianna, simpatik melihat gadis di depan―tengah mengasah pedang pemberian lelaki tua Tammuz―bercucuran keringat dari pelipis hingga menuruni lekuk leher.

        Sang gadis menatapnya sesaat, kemudian melanjutkan kegiatan. "Aku seorang pengembara. Seingatku," jawab Saber sembari menempelkan bilah pipih pada gerinda. Lengan kanan memegang gagang, sedangkan langan kiri menekan badan pedang agar bergisil dengan putaran batu canai. Percikan-percikan api akibat gesekan antar logam dan batu menyebar dari sekitar mata pedang yang terlampas. "Dan," sahutnya, menunjuk ke arah kanan dengan dagu, dimana terdapat sebuah anglo yang membara. "Itu yang membuat panas disini," jelas gadis tersebut.

       Diarmuid tersenyum seraya membawa kedua kaki menuju salah satu paron baja lalu duduk di atasnya. "Jadi ... ini tempatmu?" tanya pemuda itu lagi, memandang sekitar. Beragam bentuk perkakas bergelantungan, diikuti hawa panas yang menyeruak memenuhi bangsal.

       Saber mendengus lucu. Walau kedua zamrud setia mengawasi proses pengasahan, perhatiannya cukup teralihkan oleh pertanyaan-pertanyaan si pemuda. "Tidak, tidak," jawab sang gadis sambil mengangkat bilah pedang, mengecek apabila ketajaman yang tercipta sudah sesuai keinginan atau belum. "Kakek pandai besi disini membiarkanku meminjam tempat ini," ujarnya, "Lagipula, beliau sedang memeriksa istal belakang istana."

       Diarmuid hanya menyimak tiap gerakan sang gadis dalam hening. Iris topaz yang dimiliki memberikan pantauannya sehingga berhasil mengusik objek pengamatan.

       "Ada apa?" ucap si gadis pirang begitu merasa terganggu.

       Pemuda Fianna nampak berpikir keras. "Menurutku kau cukup ramah, meski dengan orang asing sekalipun."

       "Hah?"
       "Sungguh," sambung Diarmuid mempertahankan opini. "Omong-omong, mengapa kau mengasah pedang yang sudah tajam?"

       Sang gadis kembali mengangkat bilah di genggaman, menilik sepanjang mata logam tersebut. Lalu, tak lama ia tempelkan pada batu gerinda dan mencalaknya lagi dan lagi. "Walau kau orang yang kuat, bukan berarti kau bisa mengalahkan segalanya," ujar Saber membalas pemuda Fianna, "Butuh waktu juga proses agar kekuatan itu terasah lebih dalam hingga membawamu pada kemenangan."

       Diarmuid terdiam sejenak, menyimak perkataan puitis gadis itu. Ia merasa sesuatu yang 'hebat' tengah bersemayam dalam diri sosok pendek tersebut. Inilah sebab seorang Diarmuid mendambakan sebuah pertarungan dengan sang gadis, sekedar membuktikan bila yang ia rasakan memang benar adanya atau tidak.

       "Apa kau pernah ke medan perang sebelumnya?" tanya si pemuda lagi, kali ini sukses menghentikan Saber dari pekerjaan―yang beranjak, hendak membilas serbuk-serbuk baja pada badan pedang.

       "Aku tak ingat pernah mengikuti perang," jawab sang gadis seraya menggosok kain basah di sekujur bilah dalam diam. "Cukup tentangku, bagaimana denganmu?"

       Diarmuid melebarkan netra, tak memahami pertanyaan si pirang.

       "Maksudku, untuk apa kalian datang kesini?" ucap Saber, memperjelas perkataan.

       "Diundang lebih tepatnya," ralat si pemuda membuat sang gadis memutar bola mata. "Baik, baik," ucapnya kemudian. "Nampaknya, Raja Penguasa menginginkan sesuatu yang besar. Seperti ... sebuah keajaiban."

My FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang