• Ӎ-ӱ ┼ Ӻ-ӑ-ԏ-є •
Enkidu melangkah cepat, bergegas menuju tempat sang pangeran berada. Kedua zamrudnya menatap kosong seiring melewati satu per satu obor penerang di tiap-tiap pilar raksasa. Ia panik sekaligus cemas. Percakapannya dengan Diarmuid belasan menit lalu masih menghantuinya, terutama simbol merah di punggung tangan lelaki tersebut.
Berkali-kali ia mengelus lengan mulus yang dimiliki, mengusap-usap kulit seputih susu di balik satin yang dikenakan. Mencari-cari simbol merah yang seharusnya terukir rapi di sana. Mencari simbol 'orang-orang terpilih' yang ia dapatkan bersama Gilgamesh di hari yang sama, tepat setelah mereka mengalahkan Gugalanna berbulan-bulan lalu. Jauh sebelum kemunculan Saber.
Otak tajamnya berpikir sekeras mungkin, tetapi pada akhirnya ia kembali pada satu pertanyaan. "Mengapa bisa?" Ia adalah seorang Lancer. Menjadi salah satu dari 3 kelas terkuat merupakan suatu keberkahan tersendiri dan memberikan kemenangan pada Gilgamesh merupakan suatu kebanggaan yang luar biasa bagi mantan manusia 'liar' sepertinya. Dia, yang tercipta dari tanah liat dan air, bersumpah kepada sang pangeran untuk maju bersama. Namun, nampaknya ia bukan lagi yang terpilih.
"Mengapa...," gumamnya menatap rembulan sembari memikirkan kesalahan apakah yang ia perbuat sampai-sampai menghilangkan simbol miliknya sendiri. Tanpa simbol itu, mustahil ia bisa membantu sang sahabat seperti dulu, disaat-saat kemenangan dan kejayaan melimpahi mereka.
Kemudian, ia kembali terbatuk hebat hingga ia terpaksa menutup mulut dengan satin putihnya. Lalu, noda merah pekat membuatnya sadar. Ya, dia telah lama 'dikutuk'.
"Enkidu."
Si surai hijau menoleh. "Gi-Gil," balasnya gagap, buru-buru melipat lengan jubah yang 'kotor' ketika mendapati sang pangeran di ujung koridor. "Aku mengira kau masih di Taman Gantung." Ia sontak mengganti wajah, mengulas senyum, dan mendekat. "Bagaimana kencanmu?" singgung Enkidu, mengharapkan kabar gembira.
Gilgamesh bersedekap, memasang raut datar. Lelaki pirang itu langsung mendengus angkuh. "Itu bukan kencan," tuturnya tanpa emosi.
Kening si ramah berkerut, mengusut sebab sang pangeran kembali pada sifat lamanya. Ia merengsek maju, menuntut penjelasan atas ucapan si lawan bicara barusan.
"Aku tidak menggapnya sebagai kencan, paham?" Gilgamesh mengulangi dengan pelan.
Enkidu tak bertanya lebih jauh. Lelaki berparas cantik tersebut sekadar menatap lekat-lekat iris delima di hadapan serta menaikkan kedua alis lantaran tak percaya terhadap pendengarannya. Tatkala semua―termasuk hubungan Gilgamesh dengan sang gadis―hendak membaik, tiba-tiba saja sang sahabat berubah dan bersikap seakan-akan tidak ada yang terjadi. Padahal di hari-hari sebelumnya Gilgamesh terlihat berusaha merebut perhatian sang gadis, dan sekarang ia kehilangan niat. Mungkin juga melupakan tujuan awal mereka.
"Kau ingat tujuan kita, kan, Gilgamesh?" Enkidu mengingatkan. Gilgamesh menghela kasar dan bergerak keluar menuju teras, dimana beberapa pakis, palem, dan sinar sang Nanna menyapanya. Enkidu enggan mengekori dan memilih berdiri di balik bayangan pilar, menyembunyikan diri dari terpaan bulan. Ia memperhatikan punggung kekar si pirang yang justru mulai merasa jenuh dengan topik kali ini. "Kau hanya harus mendekatinya Gilgamesh," seru si ramah. "Apapun itu, Saber harus berada di pihak kita. Dengan begitu, tak diragukan lagi kalau cawan suci pasti akan menjadi milik―"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fate
ФэнтезиA Fate Zero fanfiction. Saber, itulah panggilannya. Surai pirang dan kilau zamrud adalah ciri khasnya. Cantik ialah parasnya. Berani sifatnya, juga ksatria jiwanya. Terjebak diantara nasib malang dan masa lalunya yang kelam. Masa lalu yang...