Fate 9 » Cahaya Itu, Harapan Kami

288 59 37
                                    

• Ӎ-ӱ ┼ Ӻ-ӑ-ԏ-є •

       Senja beralih ke pagi. Dimana hari selanjutnya telah dimulai sejak beberapa jam lalu, meninggalkan segala peristiwa buruk yang menimpa para redum. Kini, pasukan itu hanya tinggal nama belaka untuk dikenang.

       Tak semua jasad dapat dipulangkan oleh sang gadis dan membuat dirinya berasumsi bahwa ialah penyebab utama dari kematian mereka. Dan sekali lagi, sosoknya yang nampak rapuh nan rentan dibebani oleh jeritan harapan yang tak tergapai. Sampai kapanpun, semua itu hanyalah harapan, keinginan yang tak terpenuhi.

       Sementara itu, sang pangeran tengah disibukkan oleh 'tugas-tugas' yang ditinggalkan sang ayah. Lelaki itu bertindak semakin aneh belakangan ini. Kemarin ialah hari dimana setiap pasang mata menatap tak percaya pada sosok putra mahkota itu. Sebab, sosok angkuh nan arogan sepertinya mampu memberikan ratapan sendu yang mengandung perasaan bersalah sekalipun. Jangankan orang lain, dirinya pribadi pun tak mengerti dengan spontanitas yang telah diperbuat. Hal ini mendorongnya agar segera melupakan tindakan 'bodoh' yang terlalu manusiawi itu.

       Adapun di momen sang gadis menepis belas kasihnya telah sukses memberikan seorang Gilgamesh tekad kuat tak terbantahkan. Demi tujuan apa, entahlah, namun lelaki tersebut mulai mendambakan figur yang tak pernah ia jumpai sebelumnya.

       Sepasang ruby menatap lurus ke bawah, mengarah pada seorang lelaki tua, tengah terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang kayu. Nafasnya berhembus damai bagai angin surga. Walau kedua netra setia menutup, sepasang bibir-yang kering dan pecah-pecah bak daratan Nibru saat kemarau panjang melanda-terus melontarkan penjelasan demi penjelasan mengenai nasib nahas para redum.

       Lelaki tua itu tertawa kecil sejenak, kemudian berkata pelan, "Ternyata 'kami' bukanlah kebanggaan Uruk." Tak lama, kelopaknya membuka sedikit menampilkan kilau redup kelabu disana. Ia tahu, kekecewaan tengah membuncah dalam diri sang pangeran dan orang kepercayaannya, Enkidu.

       "Tammuz...," si pria ramah menengahi seraya memandang letak kaki kiri lelaki tua yang seharusnya berada disana. Cukup mengenaskan begitu mengetahui perjuangan si pemimpin Tammuz harus berakhir. Sekarang, ia hanyalah seorang lelaki tua renta yang tak memiliki siapapun-layaknya keluarga-untuk kembali. "Kau seharusnya tak berka—"

       "Aku kecewa," tutur sang pangeran, beralih menuju satu-satunya jendela di ruangan itu-walau tak sebesar miliknya. "Kau, pemimpin redum, kalah oleh sekumpulan pembunuh rendahan?" tanyanya datar seolah-olah menuntut suatu hal.

       Sedangkan, Tammuz, dirinya tahu perkara ini pasti akan dibahas. Kedua mata pun kembali menutup sepenuhnya, terpejam membayangkan sesuatu. Ia mengambil nafas sebanyak yang ia bisa, lalu, "Anda benar, Yang Mulia." Nada barusan terdengar begitu pelan dan mengalah. "Tapi, tak semua redum telah dikalahkan," lanjut si lelaki tua sembari memasang senyum, bersamaan dengan netranya yang membuka penuh. Dengan kobaran semangat dan harapan yang tak tersampaikan dalam kilat sepasang kelabu, Tammuz berkata, "Gadis itu..."

       Beralasan tak mendengar ucapan lelaki tua yang semakin mengecil, Gilgamesh berjalan mendekat, dan berhenti tepat di sebelah kursi kayu nan lapuk yang tengah diduduki oleh si ramah. Alisnya saling bertautan satu sama lain, meminta penjelasan lebih rinci. Begitu hendak bersuara, Enkidu mendahului, "Dia bukan redum, Tammuz. Aku hanya 'menitip'-nya di pasukanmu, seharusnya kau mengerti akan hal itu."

       "Benarkah seperti itu, Tuanku," balas si lelaki tua, dan terdiam sejenak. Kedua manik kelabunya menatap langit-langit, mengumbar tatapan takjub yang dimiliki. "Kaki kiriku buntung, punggungku tertebas cukup dalam pula," ucap pria itu seakan mengadu, "Kesadaranku hampir habis, namun ia berdiri dengan tegapnya di hadapan. Memegang bilah yang kuberikan dan melindungiku di bawah naungannya." Kedua pria lain tak bersuara, turut menyimak kisah tragis seorang Tammuz. "Hingga pedang di genggamannya terlempar jauh. Saat itu, penyesalan memenuhiku begitu mengetahui tak ada satu 'tugas' pun yang dapat kuselesaikan. Ia, gadis itu, akan menyusul redum lain, demikianlah pikirku."

       Si lelaki tua berhenti sesaat demi memenuhi pasokan udara dalam paru-paru yang mulai menipis. Tak jarang ia tersedak oleh perkataannya sendiri disusul oleh batuk tak mengenakkan.

       "Akan tetapi, serbuk-serbuk indah nan menyilaukan bersatu dalam kepalannya dan menjawab segala keputusasaan kami," ujar Tammuz begitu dikira batuknya telah mereda, "Gaun biru menyibak menyelimutinya dalam kejapan mata. Rupawan, serta penuh keanggunan." Sang pangeran dan si ramah tahu jika saja orang tua ini tengah berhalusinasi. Terlihat jelas dari cara mereka memandang pria itu. Demi menjawab tatapan dari sepasang delima dan zamrud milik keduanya, Tammuz kembali berucap, "Anda tak akan percaya dengan keajaiban yang terjadi di depan mataku saat itu, Yang Mulia. Tetapi, itulah yang terjadi."

       Keheningan melanda seketika, tepat setelah Tammuz menyelesaikan kisah menakjubkannya. Gilgamesh memandang orang kepercayaan tepat di mata, sementara maniknya menerjang Enkidu dengan beragam pertanyaan. Si ramah pun menggeleng cepat, menunjukkan ketidaktahuan sama sekali.

       Suara batuk terulang, bergema di seluruh ruangan berukuran menengah itu. Kulit si pria tua semakin memutih seakan-akan tak ada setetes darah yang mengalir di baliknya. Nafas pun sepertinya nampak berat dan susah untuk sekedar dihembuskan. Lelaki pirang mendekat, bukan karena prihatin tetapi menyampaikan segala yang mengganjal dalam benak. "Apa tujuanmu menyampaikan ini?"

       Tammuz tertawa lagi, namun lebih kecil dan halus bahkan tak mendekati tawa sekalipun. "Dialah redum yang pantas untukmu, Yang Mulia...," lirih mantan pemimpin redum itu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

• Ӎ-ӱ ┼ Ӻ-ӑ-ԏ-є •

       Pintu kayu terbuka, sedikit menyibakkan debu yang hinggap disana. Nampaklah dua pria menyembul keluar dari ruangan. Didahului oleh si orang kepercayaan kemudian sang pangeran, berjalan beriringan dalam satu deretan pendek. Wajah keduanya masih mengumbar tanya.

       "Apa yang membuatmu kemari, Gilgamesh?" ucap Enkidu, berusaha mengakhiri garis kebisuan seraya menutup kembali pintu di belakang sang putra mahkota. "Bukankah barak redum merupakan tempat kumuh yang tak ingin kau kunjungi?" sambung si ramah, berniat menyinggung namun tak digubris oleh si lawan bicara. "Omong-omong, akan kau jadikan apa tempat ini? Tak ada lagi yang menempatinya, kau tahu." Mengingat tiada lagi seorang redum yang tinggal, maka tidak ada salahnya bagi Enkidu untuk bertanya.

       "Tentu saja ada," jawab Gilgamesh selepas beradu pandang dengan zamrud lain. Pemiliknya berdiri tak jauh dari badan pintu si lelaki tua, Tammuz. Alis sosok itu sedikit berkerut juga bergetar, memaksa mata untuk menatap rendah-ialah tanda betapa besar rasa bersalah yang dipendam. Ingin sang gadis bertanya mengenai keadaan si pemimpin tetapi sang pangeran telah mendahului. "Terlalu banyak kehilangan darah. Ia sudah tiada."

       Sontak, Saber mendongak, terkesiap seketika sebelum larut dalam renungan. Tanpa ia sadari, lelaki pirang-yang jauh di depan sana-kini sudah berada di hadapan. Berdiri dengan perbandingan tinggi yang terlihat jelas. Sang pangeran semakin merendah, menunduk dan menunduk hingga menempatkan wajah di samping telinga sang gadis dan berbisik pelan disana, "Besok, kenakan gaun birumu...," sebelum akhirnya beranjak pergi. Meninggalkan sang gadis berbaur dalam ketidakpahaman.

Terima kasih kepada semua pembaca yang rela 'menunggu' dan meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih kepada semua pembaca yang rela 'menunggu' dan meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini. Silahkan berikan komentar dalam bentuk saran dan kritik, dengan bahasa yang baik & sopan.

Juga, semangat selalu bagi kalian yang lagi pada masa-masa ujian. Moga dapat hasil yang terbaik. : )

-ulneas(11-2-19)

My FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang