A Fate Zero fanfiction.
Saber, itulah panggilannya. Surai pirang dan kilau zamrud adalah ciri khasnya. Cantik ialah parasnya. Berani sifatnya, juga ksatria jiwanya.
Terjebak diantara nasib malang dan masa lalunya yang kelam. Masa lalu yang...
Tanpa sepatah kata, Gilgamesh mengambil langkah. Meninggalkan sang gadis dalam diam.
Saber bingung melihat kepergian pria itu. Namun entah mengapa, hati nuraninya mengatakan untuk segera meminta maaf. Mau dibilang bagaimanapun, pasti ada satu tindakan sang gadis yang menjadi pemicu kemarahan sang pangeran. Mungkin ia harus mencari tahu penyebabnya dulu baru meminta maaf. Cukup bijak untuk saat ini.
"Maafkan sikapnya barusan." Sang raja memecah lamunan Saber. Gadis tersebut ingat bahwa ia tidak sendiri. "Dia memang begitu."
"Tidak apa." Saber menundukkan kepala. Enggan bertatap pandang pada Raja Penguasa. "Ini salahku."
Iskandar tersenyum mendengar respon sang gadis. Dalam hati ia berpikir, 'Tak heran bila Gilgamesh menyukainya.'
"Namamu Saber, kan?" Saber mengangguk pelan. "Hm...," Iskandar nampak menimbang-nimbang sembari menggosok janggutnya. "Kalau begitu, akan kuceritakan sebuah kisah." Ia mengajak si pirang untuk mendekati balkon. Setelah berdiri di bawah cahaya rembulan, sang raja menengadah. "Sebuah kisah tentang lahirnya keajaiban."
Saber, yang berdiri tepat di samping lelaki bersurai semerah api itupun mulai menyimak. Dia menganggap bahwa sang raja tengah berusaha menghiburnya. Lambat laun kedua iris zamrud yang dimiliki mengikuti lengan besar Iskandar yang terangkat, menunjuk pekatnya angkasa.
Kalimat pembuka yang dilontarkan membuat sang gadis dipenuhi antusiasme. Dimana Iskandar memperkenalkan salah satu bintang yang bernama Chaldea. Bintang termasyhur dengan cahayanya yang amat terang.
Sang raja menarik kembali lengannya dan menjelaskan, bagaimana hasrat para penghuni bumi memengaruhi sang bintang. "Chaldea menangis," ucapnya. "Meneteskan cahayanya yang jatuh tepat di atas cawan emas." Dan, secara ajaib, cawan itu berubah menjadi perangkat agung yang paling diinginkan setiap nyawa.
Iskandar memandangi Saber, yang sedari awal tak berkedip. Menangkap keingintahuannya yang membuncah. "Kini, cawan itu dikenal sebagai Cawan Suci."
Dengan demikian, berakhirlah kisah singkat dari Iskandar. Lelaki tua tersebut pamit undur diri, membiarkan Saber menikmati waktu sendirinya bersama sang rembulan.
Berselang beberapa menit dalam mode membatu, sang gadis merasakan panas luar biasa di telapak kirinya. Ia merentangkan kelima jari dan memindai apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ia merasakan perasaan yang sama ketika pertama kali terbangun di sisi danau dan hamparan hutan lebat.
Akhirnya Saber mendongak. Kalau dipikir-pikir, ia juga terbangun di bawah sinar rembulan yang sama. Secara spontan, telapak kirinya mengepal kuat. Menyembunyikan simbol merah yang mendadak terukir di sana.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.