Chapter 9: Madness

735 59 7
                                    

Gua batu itu mulai mengeluarkan suara yang mengerikan, bunyi retakan yang keras dan cepat membuat Kagura panik. Lantai tempat dia berdiri bergetar saat air muncul dari mulut gua yang semula tertutup. Kagura tidak tahu darimana air itu muncul, dia panik mencari jalan keluar namun sama sekali tidak ada jalan. Air membasahi tubuhnya, membuatnya tenggelam.

"T-tolong!" Jerit Kagura, dia berusaha untuk berenang namun nihil. Gaunnya yang berat menjadi penghalang. Kagura mencoba untuk berpengangan pada batu-batuan yang anehnya terasa lembut.

Air dengan kejamnya menelan Kagura, wanita itu tenggelam dalam buaian air yang dingin. Kagura tidak bisa bernapas, air memasuki jalur pernapasannya dan membuatnya ingin menangis karena sakit. Pandangan Kagura perlahan menggelap, hal terakhir yang dilihatnya adalah cahaya samar.

Sougo terbangun dari tidurnya dan merasakan gerakan dari sampingnya. Kagura kejang-kejang, darah keluar dari mulutnya bagaikan air. Gigi Kagura bergelatuk dengan keras sementara wajah wanita itu perlahan membiru.

"Seseorang, panggil dokter!" Teriak Sougo, dia memeluk Kagura yang masih kejang. Safir si wanita melihat ke atas, bukan ke arah Sougo melainkan ke langit-langit kamar. Kejangnya masih belum berhenti.

Dalam sekejab, dokter dan pelayan datang bersama anggota keluarga kerajaan yang panik. Sougo dengan dinginnya melarang mereka masuk ke dalam kamar sementara dokter mengambil tindakan medis.

Diluar kamar, Mitsuba menggigit bibirnya dengan gelisah sementara matanya memindai setiap orang. Mitsuba menyadari bahkan tidak ada Nobume dan Soyo diantara mereka.

"Dimana Soyo-san dan Nobume-san?" Pandangan semua orang beralih dari pintu kamar ke Mitsuba. Hijikata segera menggenggam katananya dengan erat.

"Sebarkan pengawal. Periksa Istana." Perintah Hijikata. Pengawalnya mengangguk dan segera melaksanakan perintahnya.

Tsukuyo merapatkan jubah tidurnya dan menyadari kebodohannya, dia tidak memakai sendal. Pantas saja dia merasa sangat kedinginan sekarang. "Ambilkan sendal kamarku." Katanya kepada pelayan pribadinya. Gadis itu segera pergi.

"Bibi, sebaiknya Bibi kembali ke kamar. Udara malam tidak baik bagi kesehatan kandungan Bibi." Mitsuba dengan lembut membujuk Tsukuyo namun wanita itu menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Aku khawatir jika aku kembali maka seseorang akan membunuhku." Gintoki menegang, wajahnya terlihat santai namun tangannya yang tersembunyi di balik tubuhnya mengepal.

Sebenarnya Tsukuyo saat ini bukan menyindir Nobume melainkan Gin. Dia sadar sejak kabar kehamilannya terdengar oleh suaminya itu, sikap Gin menjadi semakin dingin dan menjauh. Walaupun Gintoki tidak mengatakan kepadanya bahwa dia ingin Tsukuyo menggugurkam kandungannya, Tsukuyo tahu bahwa Gin tidak sabar untuk melaksanakan hal itu. 13 tahun dia mengenal Gintoki, selama itu pula dia mengetahui sifat busuknya.

Mitsuba tidak tahu bahwa sekarang Tsukuyo tengah menyindir Gintoki karena itu dia tidak menjawab atau membujuk Tsukuyo untuk kembali. Pelayan Tsukuyo telah kembali bersamaan dengan pengawal yang menyeret seorang wanita. Wanita itu tak lain adalah Soyo.

"S-soyo?!" Mitsuba sangat terkejut hingga hampir terjatuh. Tokugawa Soyo tersenyum keji, matanya bersinar jahat.

"Bagaimana hadiahku, hn?"

***

Sougo menatap perempuan di kursi itu dengan jijik, sebagian dari dirinya ingin membunuh perempuan itu sekarang namun dia tahu hal itu tidak akan membuahkan apapun. Hijikata selaku pengintrogasi juga menahan perasaan marah yang membuncah di hatinya kepada Soyo.

"Mengapa kau melakukan itu?" Tanya Hijikata, Soyo tertawa lepas.

"Karena aku benci pada pelacur itu. Seharusnya aku yang mendapat kursi Ratu, bukan dia." Soyo menatap dengan mata berapi-api, dia mengalihkan pandangannya kepada Sougo yang telah mengepalkan tangannya siap meninju siapapun. "Bagaimana rasanya melihat orang yang kau cintai sekarat?"

Sougo langsung berdiri dan bersiap untuk mencekik Soyo namun Hijikata menahannya. Ini belum saatnya.

"Kenapa kau membunuh Nobume?"

Mayat Nobume ditemukan mengambang di kolam pagi ini oleh seorang pelayan. Mayat itu telah membeku, kulitnya mengkeriput dan berubah biru. Mata Nobume terbuka lebar, di lehernya terdapat bekas cekikan dari tali. Gaun biru yang sedari kemarin siang digunakannya bahkan belum berganti, tanda Nobume tidak kembali ke kamarnya sama sekali untuk berganti baju.

"Aku tidak menyukainya."

"Kau perempuan gila!" Teriak Sougo penuh emosi. Di kursinya Soyo semakin tertawa keras hingga berakhir dengan tawa histeris.

"Kalian tidak akan pernah memiliki anak seumur hidup kalian! Hahaha!" Hijikata memberi isyarat kepada pengawal yang berdiri di ujung ruangan untuk membawa Soyo yang mulai histeris ke selnya.

"Kalian akan mati! Kalian akan mati!" Jerit Soyo semakin histeris, suara perlahan mengecil seiring kepergiannya.

Sougo terduduk dengan lemah di kursinya, dia sangat ingin membunuh saudara sepupunya yang gila itu. Selama ini dia tidak pernah menyangka bahwa Soyo ternyata berniat untuk membunuh Kagura. Soyo adalah gadis baik-baik dan manis selama Sougo mengenalnya, dia tidak pernah marah ataupun menunjukkan sikap jahat namun ternyata dibalik semua itu dia adalah psikopat berdarah dingin.

Hijikata mengerti akan kengerian Sougo. Pria berponi V itu menyalakan rokoknya dan menghembuskan asapnya ke atas. "Pergilah dan urusi Ratu. Aku akan mengurus gadis sinting itu."

Tanpa berkata apapun Sougo bangkit dan keluar dari ruang introgasi, kakinya melangkah kembali ke dalam Istana tempat dimana Kagura sekarang tengah dirawat.

Ayah Kagura dan Kamui, Kankou berdiri dengan gagahnya di depan balkon Istana. Dia berada disini atas permintaan menantunya. Sougo takut menyerahkan pengawasan Kagura kepada orang selain keluarganya. Saat ini di kamar tempat Lagira dirawat ada Kouka, Mitsuba, dan Tsukuyo. Ketiga wanita itu dipercaya oleh Sougo untuk mengawasi keadaan Kagura.

Kamui turun begitu melihat Sougo dan langsung menyapanya. "Lil bro."

"Yo."

"Tadi Kagura sempat tersadar namun hanya beberapa detik. Dia menggumamkan namamu dan kembali tertidur. Saat ini Mami beserta Mantan Ratu dan Grand Duchess sedang menggantikan bajunya." Perkataan Kamui membuat Sougo membelalak. Dengan cepat pria itu berlari ke kamarnya dan ingin menemui istrinya namun dicegah oleh Kamui. "Kubilang saat ini pakaiannya sedang digantikan."

"Lalu mengapa? Kagura adalah istriku, aku berhak atas tubuhnya."

"Berikan mereka sedikit privasi, please. Lagipula aku yakin mereka akan malu jika kau memperhatikan mereka menggantikan baju untuk Kagura."

"Baiklah, aku akan bersabar untuk 5 menit." Sougo berdecak sebal dan bersidekap, menunggu para wanita selesai menggantikan baju untuk Kagura.

5 menit berlalu, Kouka keluar dari kamar dan mengizinkan Sougo ataupun Kamui untuk masuk. Hal ini segera ditolak mentah-mentah oleh Kamui, bukan karena dia tidak ingin melihat adiknya namun dia tidak ingin melihat Sougo yang seakam sedang merana itu mencumbu Kagura. Kamui sendiri merasa jijik membayangkan hal tersebut.

Sougo masuk ke kamarnya sedangkan para wanita keluar. Di ranjang itu, Kagura masih terbaring dengan kedua mata terpejam, kulitnya masih sepucat salju tanpa ada rona kemerahan sedikitpun. Sougo menghela napas panjang, tangannya mengelus pipi cubby sang istri.

"Hei, bangunlah. Kau membuat banyak orang khawatir, China Doll."

The Royal's Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang