Seorang gadis terlihat sudah siap dengan seragam SMA-nya. Dia terlihat sibuk dengan tas dan buku-buku yang harus dia bawa ke sekolahnya. Rambut hitam legamnya yang diurai bergerak seiring dengan gerak tubuhnya yang sedang mencari sesuatu.
"Aduh, dimana buku Fisikaku ya?" Gumam gadis itu. Dia terlihat kebingungan dan berkali-kali mengacak meja belajarnya untuk mencari buku yang harus dia bawa ke sekolah.
"Dimana ya? Kok gak ada sih?" Tanyanya pada diri sendiri dengan bingung. Tangannya terus saja bergerak mencari keberadaan buku itu.
Suara pintu dibuka terdengar disusul suara seorang perempuan.
"Dinda, sudah siap belum? Ayo kita berangkat. Nanti kita terlambat." Ajak seorang gadis yang juga sudah berpakaian SMA. Rambutnya berwarna coklat dan diikat dengan model ekor kuda. Sebuah tas selempang berwarna biru tersampir dibahu kanannya.
"Belum Riri. Aku sedang mencari buku Fisika milikku." Jawab gadis yang bernama Dinda itu.
"Buku Fisikamu ada padaku Dinda. Semalamkan aku pinjam padamu untuk menyalin catatan." Balas Riri. Dia melangkah mendekati Dinda yang termenung. Tak lama kemudian, Dinda berdiri tegak dan menatap Riri dengan cemberut.
"Kenapa kamu tidak bilang Riri? Aku takut buku itu hilang." Ucap Dinda. Riri mengangkat sebelah alisnya mendengar ucapan Dinda barusan.
"Lah, semalam kan aku bilang padamu saat kau tidur. Dan kau bilang boleh." Balas Riri lagi. Alis Dinda berkerut mendengarnya.
"Jangan bilang kalau kau tak sadar?" Tanya Riri curiga. Dinda tersenyum kecil dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Aku memang tidak sadar." Jawab Dinda tanpa rasa bersalah. Riri menepuk keningnya dan menatap Dinda dengan sebal.
"Ya sudah. Ayo kita berangkat. Nanti terlambat." Ajak Riri. Dinda mengangguk lalu mengambil tas sekolahnya.
***
Riri dan Dinda kini sudah sampai disekolah mereka. Mereka berangkat bersama dengan ayah mereka, Johan. Dan 2 adik mereka.
Riri dan Dinda memang hanya saudara angkat. Tapi hubungan mereka begitu erat dan mereka saling menyayangi. Orangtua mereka pun tidak pernah membeda-bedakan mereka walaupun masing-masing dalam diri mereka ada kelebihan.
"Dinda, kemarin Darren mengirim pesan padaku loh." Ucap Riri memulai sesi curhatnya. Mereka kini sedang berjalan bersamaan dikoridor sekolah menuju kelas mereka.
"Benarkah? Apa isi pesannya?" Tanya Dinda. Riri terkikik pelan dengan pipi yang merona merah. Dia terlihat bahagia membuat Dinda bisa menebak apa yang terjadi.
"Darren menembakku!" Pekik Riri dengan riangnya. Dinda ikut tersenyum lebar mendengarnya.
"Dan kamu menerimanya?" Tanya Dinda. Riri mengangguk dengan cepat.
"Wah, selamat kalau begitu. Sekarang kau bukan jomblo lagi." Ucap Dinda. Riri tersenyum angkuh mendengarnya.
"Pasti dong. Nah, sekarang giliranmu." Balas Riri. Dinda tersenyum kecil mendengarnya.
"Aku tidak mau pacaran Ri. Aku takut sakit hati dan nanti malah mengganggu belajarku." Balas Dinda.
"Jangan gitu dong. Takut sebelum mencoba. Kasihan Fredi, dia sudah menunggumu dari kelas 1 SMA." Ucap Riri. Dinda tersenyum lagi dan menggelengkan kepalanya.
"Kalau dia serius mengejarku, ya dia harus bersabar sampai aku lulus nanti." Balas Dinda dengan entengnya. Riri mencebikkan bibirnya kesal. Dia heran dengan jalan pikiran Dinda yang menurutnya terlalu 'kolot'.
"Terserah kamu saja deh." Balas Riri dengan pasrah. Dinda tersenyum geli melihat wajah cemberut Riri. Dia tentu tahu kalau Riri selalu berusaha dengan keras agar dia dan Fredi jadian. Tapi, Dinda tidak mau mengubah prinsipnya agar tidak berpacaran. Dia tidak mau belajarnya nanti terganggu karena hubungan pacaran seperti itu.
"Ayo cepat. Nanti Bu Dewi marah kalau kita telat." Ucap Riri. Dinda mengangguk dan mereka pun berlari-lari kecil menuju kelas mereka.
***
Dhanni duduk dikursi kerjanya dengan punggung yang menyandar pada sandaran kursi. Tangannya memegang ponsel miliknya yang dia tempelkan pada telinga kanannya.
Beberepa saat Dhanni menunggu panggilannya dijawab. Hingga saat panggilan dia diangkat, sebuah suara wanita terdengar dari seberang telepon.
"Ada apa Dhanni? Aku sedang sibuk dan sebentar lagi pemotretan. Kita bisa bicara nanti saja."
"Fiona, dengarkan aku dulu." Dhanni mulai kesal karena Fiona, istrinya tidak memberikan waktu kepadanya untuk berbicara.
"Apa? Kau mau bicara apa? Cepatlah. Waktuku untuk istirahat hanya sebentar." Dhanni mendengus kesal mendengarnya.
"Kita bertemu di restoran Blitz jam 1 siang nanti. Ada yang harus aku bicarakan denganmu. Dan ini sangat penting." Ucap Dhanni.
"Baiklah. Nanti aku akan datang. Sekarang aku harus ganti baju dulu. Bye." Sambungan telepon pun diputuskan sepihak oleh Fiona. Dhanni menghela nafas kasar dan melemparkan ponselnya keatas meja. Tangannya meraih sebuah pigura berisi foto pernikahannya dengan Fiona 8 tahun yang lalu.
Dhanni menatap foto itu dengan tatapan sendu. Ibu jarinya mengusap foto itu dengan perlahan. Dhanni merasa rindu dengan momen-momen saat dia menikah dan menjalani rumah tangga dengan Fiona. Hubungan mereka begitu hangat dan harmonis. Berbeda sekali dengan sekarang. Mereka semakin jauh walaupun tinggal satu atap.
Dhanni ingin Fiona seperti dulu lagi. Yang perhatian padanya dan selalu menunggu dia pulang kerja. Bukan seperti sekarang yang sibuk kerja dan sibuk dengan dirinya sendiri.
Dhanni merasa rumah tangganya hambar. Tidak ada rasa hangat dan harmonis. Semuanya menjadi dingin dan memuakkan. Dhanni tidak tahan dengan situasi yang terus saja seperti ini.
Dia sudah berbicara pada Fiona agar berhenti bekerja dan fokus saja menjadi seorang istri dan ibu. Tapi, pembahasan itu hanya akan menimbulkan pertengkaran yang sangat Dhanni benci.
Terkadang dia berpikir, apa dia ceraikan saja Fiona dan menikah lagi? Tapi pemikiran itu selalu Dhanni tepis mengingat putri kecil dia dan Fiona. Dia tidak mau anaknya sedih kalau saja dia dan Fiona bercerai.
Dhanni juga suka bercerita dan berkeluh kesah pada ibunya tentang rumah tangganya. Ibunya selalu menasehati dia untuk sabar. Dia juga tidak boleh menyerah untuk meluluhkan Fiona agar mau menuruti keinginannya.
Namun, lama-lama Dhanni muak juga jika kesabarannya tidak dihargai sedikitpun oleh Fiona. Dan minggu lalu, ibu Dhanni menyarankan Dhanni untuk menikah lagi tanpa menceraikan Fiona. Intinya, Dhanni punya istri dua. Dhanni memikirkan ucapan ibunya itu. Dia bingung dan bimbang. Sebagian dirinya setuju dengan saran ibunya. Namun, sebagian dirinya yang lain menolak hal itu demi anaknya.
Tapi, sekarang Dhanni sudah yakin dengan keputusannya untuk menikah lagi. Lagi pula, Dhanni juga sudah menemukan calon istri kedua baginya walaupun Dhanni belum pernah bertemu dengan perempuan itu. Dhanni juga akan memberitahu Fiona tentang hal ini. Dia tidak peduli jika nanti Fiona menolak keputusannya. Karena Dhanni juga tidak akan memutuskan hal ini jika Fiona mau menurut padanya.
Dhanni menyimpan pigura itu kedalam laci meja kerjanya dengan kasar. Dia mengambil pena miliknya dan kembali bekerja dengan dokumen-dokumen di mejanya. Siang nanti dia sudah memiliki janji untuk bertemu dengan Fiona. Dan sore harinya, Dhanni akan bertemu dengan calon istri keduanya.
______________________________________
Hai jai...
Bagaimana???
Jangan lupa vote dan komennya ya... Terima kasih juga bagi yang sudah menyumbangkan nama hehe...
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Wife [END]
Romance✨Highest Rank : 1 in Romance✨ Sudah dihapus sebagian. Nasib seorang Dinda Gleanna yang harus menikah atas perintah orangtua angkatnya sebagai perjanjian bisnis. Dinda tidak bisa menolak karena ibu angkatnya mengungkit pengasuhan mereka terhadap Dind...