2nd CASE

1.2K 11 0
                                    

Aspal halus membawa mobil berpenumpang satu keluarga, mendekati puri yang sekian lama dijaga Pak Khana. Ia menyambut bahagia mau menempati peninggalan mbah buyut. Setidaknya jarak rumah dengan sekolah Dito dan Filipus merenggang kurang lebih 2 km. Baginya tak masalah, masih satu jarak tak sejauh pergi ke pulau negeri orang asing atau mengadu nasib ke kota besar.

"Gimana kabarnya, Pak Khan?" sambut Pak Yohanes memberikan ucapan hangat padanya.

"Baik, Pak. mari saya bantu njinjing kopernya"

"Ya,Pak" Beruntung Filipus dibantunya. Selang beberapa menit, mobil pengangkut barang menghentikan diri ke puri. Sopir memberi aba-aba pada Dito yang sedang membersihkan ranting lapuk berserakan. Bergegas menghampiri Pak Sopir, mengangkat satu per satu meubel.

"Taruh sini saja,Pak. kursinya!" semangatnya. Bu Elkana menyulaki seraya membuka jendela. Debu sawang kian menempel di sela-sela jatuh ke tanah, bahkan terbang antara dalam rumah dan ada pula diterbangkan angin sepoi-sepoi.

Lamban laun waktu mulai menyingsing, semua berkumpul di meja makan melepas kecapekan seharian menata barang bawaan. Tak lupa Pak Yohanes mengucapkan terima kasih dan memberikan imbalan kepada Pak Khana maupun Pak Sopir yang sudah berlelah ria membantunya.

Ketenangan berujung tak kuasa menahan kepiluan...

Saat itu Filipus memanggil Dito keluar kehalaman.

"Mas, itu bakar-bakar atau gimana?"

Penampakan tak wajar mereka saksikan.

Entah bagaimana ceritanya, api melayang itu berkeliaran mengitari lahan kosong tak berpenghuni.

"Itu sepertinya makhluk astral, lip,"

Tak ada respon apapun, mereka menyaksikan pergerakan itu menghilang di pelupuk bebatuan. Jauh sekali dari pandangannya.

"Besok kalau nggak ada tugas, main kesitu yuk!"

"Jangan ngaco,deh. ntar kita ngganggu gimana?"

"Udah gak sah takut. kan sama-sama,Mas"

"Terserah deh"

"Ok fix, besok kita kesana"

---

Rabu, 12 Desember 2009

Terik siang matahari menyemangati Dito dan Filipus bermain badminton di lahan kosong, tanpa net dan sidelines. Services mereka terbilang payah, namun hanya kegembiraan meluapkan kebersamaan dalam permainan tersebut. Tiba-tiba shuttlecock mendarat di tanah dan sebuah bebatuan besar diantara pepohonan mahoni memalingkan indera matanya.

"Lip..."

Ia memberikan kode yang mereka cari-cari ditemukan.

Mereka berjalan lebih dekat...

Melangkahi...

Dekat secara langsung...

Tepat berdiri di sebelahnya, Filipus mengusapnya.

"Lihat ini tulisan aksara jawa" lirih Filipus.

Perlahan mengamati dan meneliti isi tulisan tersebut, mengejanya:

"Asung aji-aji dening dhedemit, adidaya nyambut kawula angkara murka. ipat-ipat amboja adana warih. Beluk-beluk, angsaro..angsaro..."

"maksudnya apa itu,mas?"

"Aku sendiri kurang paham, apa semacam sihir?"

Pelan-pelan, batu itu bergeser dengan sendirinya.

Gua itu seperti bunker, pengap, aroma tanah bercampur debu lengkap sekali.

"Bawa senter,Lip"

"Ini,mas"

Baru memijakkan kaki di depan ambang batu besar, senter tersebut mengganggu seseorang berada di dalamnya.

Tapi...

Abu api menghamtam...

Suara parau itu memperingatkan setegas-tegasnya mengatakan "Ngaliho...ngaliho... aja dolenan cublik"

Senter mati, mereka terdorong sepanjang 1 meter, terjatuhlah...

"Ayo... kita pulang,"

Dito menggenggam tangan Filipus, berlari sekencangnya menjauh dari lahan tersebut. 

BANASPATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang