1st CASE

2.2K 20 5
                                    


Sabtu, 8 Desember 2009

Seperti biasanya, Dito dan keluarganya tetap menjalankan aktivitas di tempat masing-masing. Ayah Dito, Yohanes Christian bertugas di luar kota. Bunda Dito, Elkana Dewanti melaksanakan tugas negaranya disalah satu instansi negeri. Adik Dito, Christiant Filipus bersekolah di SMP. Dito sendiri juga masih berstatus pelajar bersekolah di SMA.

Cuaca mendung menyelimuti seluruh kota. Volume angin menggiggil merasuki permukaan kulit menusuk tulang. Ramalan hari ini mengatakan akan ada hujan es lagi. Sempat was-was, perumnas sederhana kami tak sekokoh bangunan gedung pencakar langit. Apalagi ruang bagian belakang tidak memakai genteng, melainkan seng yang biasa digunakan menjemur pakaian. Jika hujan deras, mudahnya tetesan air menghantam seng tersebut akibat perbuatan burung pelatuk.

Makan pagi dengan cepatnya dilahapnya, bergegaslah pergi mengendarai motor menuju sekolahnya sebelum kehujanan.

Suasana sekolah masih sepi belum ada guru dan karyawan datang, kecuali Dito, petugas kebersihan dan beberapa murid baru datang memakir maupun diantar ke sekolah. Rasa gugup terkadang menyelimuti dirinya, ia tetap memberanikan diri bersemangat masuk sekolah.

"Hei Dito, tumben pagi-pagi kesekolah? Piket ya?,"

Tersentak menengok ke sebelahnya, ada seorang cowok menyapanya dan dia sama sekali tak mengenalnya, meringis membalas sapaannya dengan polos.

"Nggak juga,sih. cuma mau datang pagi aja. takut kehujanan"

Dia seraya tersenyum berlari kecil tanpa pamit kepadanya. Ia menyadari bahwa punggung cowok itu penuh bercak darah. Pemandangan itu sudah hal tidak asing, bilamana bertemu dengan sesosok arwah sekedar tegur sapa dengannya.

"Kamu ngomong sama siapa?" tegur Andre, situkang ngusili Dito.

"Nggak ngomong sama siapa-siapa?," muka datarnya tak menujukkan ekpresi rasa takut atau melakukan perlawanan, ia menjawab memasuki kelasnya dengan santai.

"Shit, berani sekali kamu sama kakak seniormu. nglawan ya?" dia mendorong Dito hampir terjatuh.

"Mas, kenapa sih, pusing ya? pagi-pagi udah marahan. Maksudnya kenapa dorong-dorong segala?," tangkisnya nada setengah bingung.

"Seharusnya aku yang nanya, bukan kamu, nggak ada kapoknya,nih anak. pake acara lupaan segala" geramnya. Andre melayangkan tangannya, Dito hanya diam tanpa melawannya. Tercegahlah salah satu tangan lainnya.

"Mau jadi jagoan?," seorang wanita berkacamata berambut blonde hitam perawakan srikandi memperingatkan sinyal siaga padanya. Dia tak lain Bu Ratih, Guru Kimia.

"Eeeh... Bu, selamat pagi," tiba-tiba mulai ngeles seolah tidak terjadi apapun. Dimatanya, ini masalah serius dan harus dibawa ke ruang konseling murid. Andre bermusyawarah secara kekeluargaan memilih berdamai dengan Dito.

"Sekali lagi sampai saya tahu, kamu berlaku seperti ini. saya akan panggil orang tua kamu,"

Ia meninggalkan kelas Dito dengan raut masam.

"Terima kasih,Bu"

"Ibu, keruang guru dulu"

"Ya,Bu"

---

Hujan es disertai angin kencang membasahi keujung-ujung zona bersih dan kotor menyapu jadi satu. Tak satupun diantaranya bertahan, baliho besi ambruk ditengah jalan. Beberapa kendaraan harus memutar balik arah mencari celah tersendiri menempatkan posisi aman mengemudi. Hentakan kencang memukul pelindung bangunan, bagaikan tembakan misterius tak terhindari berasal tangisan langit. Saat itu Dito tak memberanikan dirinya pulang kerumah memilih menunggu redanya amukan badai. Ia keasyikan membaca pesan sms Bunda.

Seseorang menghampirinya...

Dingin...

Membuat kuduk merinding...

"Nak, njenengan saged wicanten tembang niki,"

Seorang kakek tanpa tangan kiri lusuh menyodorkan sepucuk daun bertulisan aksara jawa.

"Aduh, pak. saya nggak ngerti, bapak ngomong apa?" Nadanya tak menghiraukannya mengeser duduk alih-alih pandangannya setengah menuju kembali ke ponsel. Raut mukanya terbelalak melihat celana panjang dibawahnya tak ada kaki.

Perlahan setetes darah mengalir...

Deras...

Menggenangi sepatu Dito.

Tatapan matanya yang tak bisa dibuai balasan ponsel. Berkutat pada mantra doa, selain meminta pertolongan kepada Yang Maha Esa.

"Dalam nama Tuhan sang juru slamat. Usirlah roh jahat dari kantin ini"

BRAAK....

"Woi, Dito"

"Eh ya,.. Bapa... Ya Yesusku"

Lena menyadarkan Dito secara non verbal, kelatahan itu membuatnya tertawa setengah rasa iba menolongnya.

"Kamu lihat makhluk halus lagi?"

"Iii...ia, Len..." jawabnya terbata-bata.

"Yok, buka tugas rumah kita, biar di rumah gak ada pekerjaan," Mengalihkan retsleting ransel berisi LKS Sejarah lengkap bolpoin serta buku penunjang terpampang di meja. Dito menyanggupi idenya langsung berdiskusi menyelesaikannya.

---

DOK... DOK... DOK...

Perkakas bengkel menghiasi rumah Dito. Talang air, seng baru, paku-pak tertata rapi. Menandakan penggantian sebagian kerangka bangunan di ganti, supaya air hujan tak membanjiri lantai licin. Ruang makan pindah ke area tempat keluarga, sehingga Filipus harus merelakan mejanya, bergantian menggunakan dengan Dito. Ia memilih kasur sebagai media belajar.

Telepon rumah berdering...

"Mas Dito, coba angkat teleponnya!"

"Ya,Bun"

"Halo, selamat sore. Ada yang bisa saya bantu!"

"Sugeng sore, Pak Yohanes ada?"

"Bapak masih kerja, dengan siapa ini?"

"Ini Pak Khan,Dito. yang jaga puri di kebun teh"

"Oh ya,Pak. ada pesan mau disampaikan?"

"Gini saja, ibumu ada?"

"Sebentar,Pak. saya panggilkan"

Ia spontan memaggil "Bu, Pak Khan nelpon," beranjak dari kamar mengambil alih genggaman telepon.

Selasa, 11 Desember 2009

"Kami sekeluarga memutuskan pindah ke puri,"

"menuju petualangan baru,"

"Suasana kebun nan sejuk,"

"juga tetangga baru"

--Dito--

BANASPATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang