Tiada mengira butuh waktu setengah jam lebih memaksa kedua kakak tingkatnya memberi informasi sebanyak yang ia butuh.
Junhui dan Minghao bertetangga sejak kecil. Keluarga Junhui pertama pindah ke Korea atas satu dan beberapa alasan, mengikuti selang setengah tahun kemudian keluarga Minghao. Dua, tiga tahun silam ayah Minghao dipindahtugaskan ke Rusia, namun Minghao menolak ikut karena.... capai. (Tiada uraian terperinci disuguh Junhui menyebabkan Mingyu mesti puas dengan alasan kurang masuk di akal itu.)
Pada akhirnya orang tua Minghao pindah ke Rusia, lalu menitipkan putra mereka pada Junhui yang sudah dianggap sebagai 'orang kepercayaan' keluarga Xu selain sanak saudara mereka sendiri.
Junhui berteman baik dengan Seungcheol dan Seungcheol beberapa kali menginap di rumah susun si penyuka kucing. Pada satu kesempatan jadwal mainnya bersama Seungcheol bertabrakan dengan Minghao (dasar – tidak melakukan pengecekan ulang dahulu) yang berlanjut ke perkenalan Seungcheol dengan Minghao.
Tahu-tahu acara jalan akhir pekannya bersama Minghao jadi sering diwarnai kehadiran Seungcheol. Pemuda itu muncul pada detik-detik terakhir. Selalu saja!
Entah bagaimana cara Seungcheol mengakrabkan diri dengan Minghao yang terkenal rada tertutup jua pemilih – jujur, Junhui agak tidak ikhlas sudah mengenalkan. Keduanya sering menghabiskan waktu bareng tanpa mengajaknya!
Beralih ke topik yang masih mempunyai keterkaitan.
'Jatah'.
Bukan aneh-aneh, kok.
Karena telah bersama sejak kecil, Junhui memperlakukan Minghao selayaknya adik kandung. Main, makan, mandi bareng – sudah biasa. Bentuk afeksi sesekali pun, seperti peluk (yang disebutnya 'penambah energi') atau mengacak-acak rambut.
Nah.
Nah.
Junhui sangka selamanya keuntungan itu akan jadi miliknya seorang.
Tapi.
Tapi....
Tiba-tiba saja sewaktu menjemput Minghao di fakultasnya –ditemani Seungcheol– pada suatu sore mendung di bulan keempat kedua orang itu saling kenal, Minghao memilih berjalan samping-sampingan dengan Seungcheol, dan bahkan diam saja ketika pemuda lebih tua bercanda mencubit hidungnya.
Ia tak punya riwayat penyakit asma, namun ia bersumpah saat itu ia terserang asma!
Intinya, konten dari percakapan mereka sembilan puluh persen berbentuk perkenalan dasar, sehubungan Mingyu masih agak.... waswas untuk bertemu, lebih-lebih bicara langsung dengan belahan jiwanya.
"Bagaimana tidak waswas coba— dia memukulku tepat di pertemuan pertama kami!?" Protes sang wira yang lebih kedengaran bak rengek bagi kakak tingkatnya. Celoteh tidak keruan Mingyu terkait kesan pertama Minghao (yang tak dapat masuk kategori baik) seakan Junhui dan Seungcheol tidak hadir di lokasi; menyaksikan adegan (em) 'kekerasan' itu dengan mata kepala sendiri.
Junhui menaruh tangan di pundak Mingyu. Kasihan lama-lama. "...yang sabar."
"Sabar apanya, wajahku bonyok begini!?"
Aksi Seungcheol menyampuk tangan Junhui dari pundak Mingyu merupakan usaha pria paling tua di meja tersebut untuk berkata: Kau-sungguh-tidak-membantu. "Akan kubicarakan dengan Hao nanti. Paling lambat besok. Kupastikan bocah nakal itu bertanggung jawab atas kelakuan kurang ajarnya padamu."
"Jangan terlalu keras padanya, hyung," Junhui hati-hati berujar. Minghao sudah seperti adik baginya. Biarpun Minghao bukan sosok lemah, menyaksikan anak itu dimarahi atau mendapat kesulitan tanpa ia boleh turun tangan membantu tetap saja membuat hati Junhui sakit.
Oh, betapa Seungcheol ingin menyerahkan tugas menasihati Minghao ke orang lain. Selayaknya Junhui, ia pun menganggap Minghao seperti saudara. Seperti saudara yang ingin seharian penuh kaupeluk dan –andai bisa– kau dudukkan di sofa kamarmu guna segala keperluannya kauturuti asal ia tidak beranjak sedikit pun dari kamar.
(Seungcheol akui perumpamaan itu kedengaran... aneh, tapi sudahlah.)
Namun demikian, jika bukan dia siapa lagi yang mampu mengemban tugas itu? Menjadi figur tegas yang dapat Minghao andalkan bukan semata tugas bagi Choi Seungcheol, itu sudah menjadi prinsipnya.
"Kauselalu saja lembek. Hao hanya akan kumarahi jika dia memang pantas dimarahi."
Junhui tidak berkata apa-apa lagi.
Mingyu bingung.
Sudah sejak awal, namun kadar kebingungannya meningkat makin-makin seiring Seungcheol dan Junhui bertukar kata tanpa melibatkan dirinya. Mengapa perbincangan antara kedua kakak tingkatnya ini mirip seperti perbincangan antara wali yang kepayahan menghadapi anak nakal mereka?
"Aku mau tanya."
Setelah Junhui memperbolehkan, salah satu kebingungan Mingyu yang tertahan mulai mengalir. "Hao.. Minghao-ssi ini,"
"Ya?"
"Berapa kemungkinan dia sanggup membu—menjadikan tidak hidup orang lain....?"
Kompak dua-duanya menjawab, "Empat."
"Oooh."
"Empat dari tiga."
"..."
Mingyu pergi tanpa pamit.
KAMU SEDANG MEMBACA
belahan jiwa [GyuHao]
Fanfic21. Pasangan-pasangan lain dipertemukan ketika salah satu atau keduanya berusia delapan, sembilan belas tahun. Tetapi Minghao...? Bagaimana dengannya? Di manakah gerangan si Belahan Jiwa? {Soulmate!AU ♡}