Geletar dingin menyapu kulit. Seakan belum cukup, angin menampar pipi menariknya kembali ke realita. Mingyu tidak pernah melihat bulu mata sebagai daya tarik seseorang, apalagi bagian terkecil lain dari wajah, seperti kelopak, pangkal hidung, dahi, dagu—tidak. Ia secara bangga mengklaim diri sebagai makhluk visual. Bentuk tubuh, ukuran, seperti tinggi; yang semacam itu lebih menarik perhatian Mingyu.
Lelaki memang terlahir sebagai makhluk visual, seperti itulah alasannya acap kali Wonwoo, yang mana diam-diam berjiwa romantis, menyatakan tidak setuju akan caranya menentukan daya tarik seseorang.
Wonwoo mengibaratkan mata sebagai jendela hati manusia.Cara seseorang memandangimu mengungkap lebih banyak daripada mulutnya.
Antipatilah yang senantiasa diberi Mingyu.
Wonwoo terlalu banyak mengonsumsi novel romansa. Membaca adalah kebiasaan baik, malah memang perlu diterapkan di kehidupan anak-anak muda zaman sekarang; tetapi novel yang mengusung tema percintaan belaka jelas bukan bacaan bagus. Mereka, para pengarang itu, menetapkan standar muluk dalam hubungan antar dua orang—mencipta ideologi-ideologi tidak masuk akal yang hanya meracuni otak pembacanya.
Iya.
Mingyu anti. Anti sekali.
Tetapi sekarang, detik ini, seluruh petuah Wonwoo berdusun membasuh Mingyu. Memukul tepat di otaknya. Mematikan fungsi berpikir di sana. Pemuda berkulit gelap itu berdiri diam, mata terarah ke bawah. Bulu mata asing yang mana bukan miliknya bergetar. Ingin ia menyentuh, sekadar ingin tahu reaksi apa yang akan ditimbulkan dari penasaran tak berdasar tersebut.
Julur lidah kecil dari bibir tipis seperempat terbuka mendistraksi. Karena, karena lidah itu bergerak. Bergerak di bibirnya. Bibir Mingyu kering dan sedikit pecah-pecah. Cukup disayangkan ia meninggalkan pelembap rasa orisinil di laci meja Seungcheol. Padahal belum dipakai. (Seungcheol ‘meminta’ sebetulnya, untuk hadiah ulang tahun dadakan. Hadiah ulang tahun siapa juga jadi misteri. Mingyu sebagai adik tingkat yang baik mau tak mau mesti merelakan pelembap bibir yang masih baru itu.)
Lidah itu terus bergerak, lemah gemulai meluncuri lekuk bibir Mingyu dari kanan ke kiri; mencari celah agar dapat masuk tanpa mengindahkan apakah diundang atau tidak. Tangan yang lebih kecil dari Mingyu entah sejak kapan ada di dadanya. Pertamanya diam di sana, kemudian ikut bergerak. Meraba.
Ketiadaan respons dari Mingyu jadi penyebab seringai culas mekar pada wajah teruna satunya.
Ia kira ia menang.
Mingyu menarik pinggang kurus –yang sekalipun ia pikir terlalu kecil untuk berada dalam peluknya– mendekat, tetapi ternyata pas di sana seakan memang peluknya ditakdirkan untuk pemuda itu seorang. Bibirnya meraup kasar bibir pemuda itu. Cengking ‘ah!’ dari pemuda itu ialah sebab kaget. Lidah Mingyu menerobos masuk ke rongga asing, bertemu dengan lidah si pemuda dalam sentuh pertama yang aneh.
Mingyu mesti tetap menunduk, tak peduli betapa keras upaya pemuda satunya berjinjit. Sensasi panas dingin di bulan bercuaca panas membuatnya serasa terbang melayang. Matanya tidak terpejam seperti pemuda satunya. Mata Mingyu terbuka – mengobservasi. Pipi tirus semerah ceri, bibir tak kalah merah menempel pada miliknya, halus garis kerut pada dahi, perolehan bekas luka penyandang kerja keras, aliran keringat ke leher, tangan yang sekarang berbalik jadi mendorong; berusaha melepaskan diri.
Justru Mingyu menarik semakin dekat.
Cengking ‘ah!’ kedua akibat Mingyu tidak sengaja menggigit bibir pemuda satunya. Kelopak sang pemuda tersentak; memperlihatkan manik yang bundarnya mengingatkan Mingyu akan kelereng. Manik tersebut berair, alis menukik memendam keki, setitik merah yang tadinya tak ada sekarang menghiasi pojok ranum.
Memisah diri, tangan masih Mingyu pertahankan di seputar pinggang si pemuda—entah sadar atau tidak.
“Berani-beraninya kau—”
“Kauyang mulai duluan, Minghao-ssi.”
“Akan kuremukkan tulang-tulang—” Mingyu cukup merendahkan kepalanya dan segampang itu. Segampang itu ranumnya kembali bersambut dengan Minghao. Serapah terkubur, yang ada hanya manis dari bibir Mingyu serta rasa logam khas darah.
Lumayan lama mereka bertahan pada posisi tersebut. Kali ini Mingyu memastikan tidak ada aksi gigit-menggigit. Minghao galak dan pemuda itu bisa mematikan jika dipancing. Untung pelesir dapat mengalihkan Minghao. Cukup tahu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
belahan jiwa [GyuHao]
أدب الهواة21. Pasangan-pasangan lain dipertemukan ketika salah satu atau keduanya berusia delapan, sembilan belas tahun. Tetapi Minghao...? Bagaimana dengannya? Di manakah gerangan si Belahan Jiwa? {Soulmate!AU ♡}