Jejak-jejak

19 3 0
                                        

"Mia, kamu belajar apaan?"

Temanku yang bernama Selin menghampiri bangkuku. Aku yang sedang membolak-balikan halaman 'majalah perbintangan' tak menggubris sama-sekali pertanyaan sahabatku itu.
Maka muncullah perempatan di dahi Selin. "Mia! Dasar ogeb! dengerin aku, wooooi!!" Selin berteriak tepat di samping telingaku membuatku meringis kesal, "aargh, apaan sih, kamu?!"

"Kamu yang cuekin aku!"

"Aku nggak mau diganggu, coeg!"

"Serius, kamu ngapain, sih?!!"

"Lagi baca majalah!! Puas?!"

"Bilang dari tadi, dong!"

"Sudah kubilang, aku nggak mau diganggu!"

"Aaah!!!! Sudahlah, capek debat sama kamu!"

Aku mendengus kesal lalu kembali kepada aktivitas awalku, membaca majalah ramalan bintang.

Selin menghela nafas berat, lalu mengambil kursi dan duduk di sampingku. Menatapku membaca dalam diam.

Selin berkenalan denganku saat kami sedang menjalani ospek. Dia datang menghampiriku di saat aku menyelesaikan tugas lima lembar esai pada saat kami sedang camping.

Selin meminjam pulpenku dan bertanya apa tema esai yang harus ditulis. Kemudian kami jadi banyak mengobrol, mengeluh dan mengoceh tentang betapa menyusahkannya ospek yang bagaikan neraka. Dan keakraban kami berlanjut hingga kini.

Selin menatapku dengan tatapan sendu, seolah merindukan sesuatu, "Mia...."

"Apa?"

"Kamu yang seperti ini, mengingatkanku pada Erik."

Bola mataku yang sedang bergerak cepat membaca huruf-huruf runut bertuliskan 'artikel bintang sirius' di atas kertas dalam sekejap terhenti. Aku terdiam dan menatap kosong majalah di atas meja. Ingatanku kembali melayang ke memori masa lalu saat dia masih ada di sampingku.

Dulu....

"Baca apa, Rik?"

"Majalah perbintangan."

"Lhaa, kamu suka sesuatu yang berhubungan sama astronomi kayak begituan?"

"Iya, Karena impianku."

"Kamu.... segitu inginnya mencapai impian konyolmu itu?"

"Heeeeeeey! Jangan dibilang konyol, dong!"

"Maaf, maaf."

"Kamu tahu bintang Sirius?"

"Ng... bintang yang paling terang itu kah?"

"Iya. Nah, kalau aku sudah jadi bintang, aku pengen jadi lebih terang dari bintang Sirius!"

"Emang bisa?"

"Bisalah! Kalau ada usaha. Makanya kamu juga dukung aku, dong!"

"Iya. Aku selalu ngedukung
kamu, kok."

"Terima kasih, ya Mia!"

"Sama-sama."

Selin mulai menyesali keputusannya untuk berbicara barusan. Ia memegang pundakku tanda penyesalan darinya, "maaf Mia. Aku nggak bermaksud--"

"Nggak. Aku memang sengaja melakukan ini."

"Jangan-jangan kamu..... masih belum bisa mengikhlaskan dia?"

"....... Aku hanya mengejar jejak-jejaknya. Mengenangnya. Merasakan apa yang dia rasakan. Apa hal itu terlarang?" aku menaikkan sedikit nada bicaraku. Berniat protes.

"Nggak kok. Cuma kamu nggak boleh terus-terusan terbayang-bayang sama Erik!" Selin membentak membuatku tersulut emosi.

"Aku bilang aku hanya ingin mengenangnya! Apa yang salah dari itu semua, hah?!" Aku menggebrak meja dengan keras, membuat Selin sedikit tersentak.
Mungkin karena baru kali ini aku memarahinya seperti barusan. Bahkan semua mahasiswa di kelas menatap kami dengan kaget.

"Mia....." desis Selin.
Dia takut denganku. Aku segera berdiri dan melangkah keluar ruangan. Selin tak mencegah aku pergi menjauh, lagipula  aku juga tidak ingin dia menghentikanku.

Apa mengenang orang yang kita cintai adalah suatu kesalahan?

☆☆☆

Petang ini hujan turun dengan deras. Aku menatap sendu teleskopku di pojok kamar yang tergeletak kesepian.
Kalau hujan ini berlanjut sampai malam, batal sudah rencana mencari dia hari ini. Karena dia akan tertutup oleh awan gelap dan takkan terlihat sepanjang malam.

Kemudian terdengar pintu diketuk. Siapa yang datang saat hujan-hujan begini? sepertinya dia sengaja meminta flu masuk ke dalam tubuhnya dengan sukarela.

Aku berdiri dari dudukku dengan perasaan malas yang masih menjalar di tubuhku. Aku berjalan menyusuri lorong rumah kecilku dan membuka pintu teras.

Krek....

Betapa kagetnya aku saat melihat siapa yang bela-belain datang ke rumahku yang terpencil di tengah hujan sederas ini.

Dengan baju yang setengah basah dan tubuh yang menggigil kedinginan, tamuku yang pemberani ini berusaha memasang senyuman terbaiknya walaupun wajahnya yang berair karena hujan pucat pasi seperti kertas.

"K-kamu...."

Dan pikiranku segera melesat ke masa lalu yang terkubur jauh di dasar alam bawah sadarku.

☆☆☆

Tbc.

Let Me Love You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang