"Theo....."
"Apa kabar, Mia?" Theo tersenyum ramah.
Aku masih mematung ditempatku. Tanpa sadar aku mengabaikan Theo yang kedinginan dan kebasahan. Aku segera mempersilakannya masuk.
"Sudah lama nggak bertemu, ya," ucap Theo riang setelah melepaskan mantelnya yang basah dan menghangatkan diri di meja penghangat.
Theo tidak banyak berubah dari lima tahun lalu. Hanya tinggi badannya saja yang bertambah dan gayanya yang lebih manly, selebihnya masih sama seperti dulu. Rambut coklat gelapnya masih dijepit kesamping di bagian depannya agar tak menutupi matanya. Tubuhnya yang ramping namun kokoh terlihat semakin berisi. Wajah tampannya masih menyenangkan untuk dipandang, seperti waktu SMA.
Aku mengiyakan ucapannya barusan, "iya juga. Terakhir
itu pas kelulusan ya?"Theo tersenyum kembali, kali ini senyumannya tak selebar barusan, "nggak. Terakhir
kita bertemu itu pas di pemakamannya Erik. Setelah
itu kamu kan pindah sekolah." ucap Theo lirih.Seketika pikiranku kembali terbuka. Ahh, benar juga.....
Lima tahun lalu, rumah duka.
Ruangan kecil ini penuh dengan kerumunan orang-orang yang berniat melayat. Mereka semua mengenakan pakaian berwarna hitam sebagai tanda berkabung.
Isakan maupun teriakan histeris terdengar dari seluruh sudut. Semua itu karena orang yang mereka sayangi telah pergi untuk selama-lamanya.
Tapi semua itu malah berlawanan denganku yang hanya terduduk di kursi yang sudah disediakan. Tanpa air mata. Tanpa jeritan maupun isakan keputus asaan.
Seakan rusak, tak ada satupun air yang keluar dari mataku. Mulutku sudah seperti retsleting yang terkunci rapat. Kepalaku yang terus-terusan menunduk mulai membuat leherku kesakitan.
Tapi itu semua tak sebanding dengan rasa sakit di dadaku.
"Mia."
Aku mendongakkan kepalaku untuk melihat siapa yang menyapaku.
Theo dengan setelan hitam berdiri di depanku dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Matanya yang memerah menandakan bahwa tadi dia habis menangis.
Aku tidak membalas sapaan Theo, hanya menatap dan terus menatapnya.
Theo yang peka pada kondisiku saat itu hanya menepuk pelan pundakku seolah ingin memberiku sekaligus dirinya sendiri penghiburan.
Ia lalu mengusap rambutnya yang agak acak-acakan dan bergumam dengan sangat pelan, "dia sudah pergi..... ya."
Aku masih tetap tak bereaksi dan Theo melanjutkan perkataannya, "kamu masih ingat sama impiannya yang konyol itu kan?"
Pupilku sedikit melebar.
Kembali teringat pembicaraan yang kulakukan dengannya beberapa hari yang lalu."Pasti ia sangat senang sekarang," ucap Theo.
"Karena impiannya sudah terwujud sekarang." Theo berkata lirih. Aku tersentak mendengar hal itu.
...... Benar.
Impianmu, 'menjadi bintang', sudah terwujud.
Kalau begitu aku nggak boleh sedih sekarang. Kalau aku menangisimu sekarang, itu artinya aku tidak menghargaimu sama sekali.
"Aku..... tak bisa hanya seperti ini," gumamku dengan suara yang hendak habis. Theo terkejut melihatku bereaksi, "eh?"
Aku mengangkat kepalaku, "aku harus menemuinya," ucapku dengan tatapan yang tajam dan kuat. Sangat berlawanan dengan keadaanku tadi yang seperti mayat hidup.
Theo menatapku bingung, ia menyadari bahwa aku sudah memutuskan sesuatu yang penting.
Ya. Aku sudah bertekat.
Pikiranku kembali menerawang ke masa lalu. Benar, saat itulah aku memutuskan untuk terus mencari dia.
Melihatku melamun, Theo segera memanggil namaku untuk menyadarkanku, "Mia? kamu kenapa?" ujarnya sembari melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.
Aku mengerjapkan mataku, "eh, iya. Nggak apa-apa."
Theo memandangiku sejenak dengan tatapan yang sulit di artikan. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kecilnya.
Sebuah surat.
"Untukmu." Theo menyerahkan surat tersebut kepadaku.
Aku menerimanya dengan bingung, "apa ini, Theo? bukan surat cinta, kan?" pertanyaanku yang ngawur ditanggapi Theo dengan tawanya yang renyah."Bodoh, ya nggak lah! Aku aja nggak tau apa isi surat itu," sahut Theo di sela-sela tawanya. Aku mengerutkan keningku heran, "hah? surat ini bukan dari kamu?"
"Iya."
"Terus dari siapa?"
Theo terdiam sejenak lalu ia melanjutkan, "dari Erik."
"Apa?!" surat ini dari dia?
"Ortu Erik yang menyuruhku memberikan ini kepadamu. mereka bilang, 'berikan surat ini pada gadis yang bernama Mia', begitu," jelas Theo.
"T-tapi..... kok bisa....?" gumamku keheranan.
".... Mia, kamu tau nggak alasan kenapa Erik bisa kecelakaan?" Theo bertanya kepadaku pertanyaan yang selama ini kupertanyakan juga. Karena tak mengetahui jawabannya, jelas aku menggelengkan kepalaku.
"Karena.... ia hendak mengantarkan surat ini kepadamu, Mia."
Aku kaget setengah mati mendengar penuturan Theo.
Jadi yang menyebabkan dia kecelakaan..... adalah aku?
"K.... kenapa kamu tak memberitahukan hal ini kepadaku dari dulu, Theo?" ucapku bergetar.
Lalu cerita tersebut mengalir dengan lancar dari mulut Theo, "aku juga baru tau hal ini dari ortunya Erik kemarin. Saat pergi mengantar surat ini kepadamu, dia terlibat kecelakaan beruntun. Dia sempat koma lalu meninggal di rumah sakit.
Dalam ambulans, di perjalanan ke rumah sakit ia meminta ortunya untuk memberikan surat ini kepadamu. Setelah itu Erik langsung koma dan meninggal begitu tiba di rumah sakit."Aku merasa seluruh tubuhku melemas. Ternyata itulah kenyataan yang tak kuketahui selama lima tahun ini.
"Karena itulah..... bacalah surat ini dengan sungguh-sungguh, Mia. Karena orang yang ditinggalinya surat tersebut bukanlah ortunya ataupun aku, tetapi kamu." Theo mengelus kepalaku dengan lembut. Mungkin ia sedang berusaha menenangkanku.
Setelah itu Theo langsung pamit pulang walaupun hujan masih belum berhenti. Untunglah hujannya sudah mereda, sehingga aku tak perlu terlalu kuatir akan keadaannya. Tak lupa aku juga memberikan Theo jas hujan agar tak terlalu kehujanan, karena ternyata ia menggunakan motor kemari. Pantas saja bajunya basah tadi.
Sekarang hanya tinggal aku sendirian dengan surat tersebut.
Pesan apa yang sebenarnya ingin dia katakan kepadaku?Setelah menarik napas panjang, aku memantapkan hatiku dan membuka amplop surat tersebut.
☆☆☆
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Love You [END]
Novela JuvenilKamu pernah bilang, bahwa kamu ingin menjadi bintang yang paling terang di langit malam. Karena itulah aku terus mencarimu, sejak kepergianmu. Dari sisiku. Aku ingin melihatmu. Ingin memberitahukan rasa yang tersimpan di dadaku ini kepadamu. Tapi e...