Episode Empat

433 13 0
                                    

Depok, Maret 1997.

"Aini, beneran tahun ini kamu berangkat haji?"

Lily menatap Aini yang sedang melipat mukena di dalam Masjid Ukhuwah, masjid kebanggaan Universitas Indonesia. Mereka baru saja selesai menunaikan shalat Dzuhur berjamaah.

"Insya Allah, Ly."

"Sendirian?"

"Gaklah. Barengan sama kakak dan adikku. Kami berempat."

"Maasya Allah. Masih muda udah berangkat haji. Biasanya kan yang tertarik naik haji cuma orang-orang tua. Kalian kereen!"

"Ibuku berkaca pada pengalamannya ketika berhaji setelah berumur, Ly. Ibadah haji itu butuh kekuatan fisik dan mental yang prima. Rangkaian ibadahnya menuntut tubuh yang kuat. Thawaf mengitari Ka'bah, Sa'i, melempar Jumroh. Belum lagi faktor cuaca yang berbeda dengan Indonesia. Kalau lagi musim panas, panaaaass banget. Kalau lagi musim dingin, dinginnya gak ketulungan. Kasian mereka yang berusia tua, apalagi dengan keterbatasan fisik dan kesehatan. Empat tahun lalu, ibu dan bapakku merasakan hal itu. Mereka kebagian musim panas waktu wukuf di Arafah dan melempar jumroh. Suhu disana kalau siang katanya bisa 40-an derajat!"

"Wooww!!" Lily terkesima mendengar penjelasan Aini. Dalam hati ia membenarkan apa yang dikatakan sahabatnya itu.

"Lagipula kata ibuku, di tahun-tahun depan pergi haji akan susah. Harus mengantri dulu baru bisa berangkat. Gak kayak sekarang. Daftar, bayar, dan bisa langsung pergi. Makanya ibuku mendorong kami semua untuk berhaji sekarang. Mumpung ada kesempatan dan kemudahan."

"Masa sih? Harus antri? Kata siapa?"

"Gosipnya begitu yang ibuku dengar. Kalau ngantri gitu, kan tambah kasian mereka yang tua. Semakin tua, semakin payah menjalankan ibadah hajinya."

"Etapi," Lily merenung sejenak. "Kata ustadz, kalau sudah ada di Mekkah dan Madinah akan selalu ada keajaiban dan keberkahan. Yang tua diberi kekuatan, yang sakit diberikan kesehatan. Asal terus berdoa dengan khusyu' dan niat ikhlas karena Allah, semua rangkaian ibadah yang berat itu akan dimudahkanNya. Lagipula, tidak semua orang mampu pergi ketika mereka muda."

"C'est vrai. Ada juga yang muda malah lemes disana. Yang sehat juga malah sakit. Itu semua memang keberkahan dari Allah. Tapi kita sebagai manusia yang berakal sehat juga punya kesempatan memilih saat terbaik untuk kita melaksanakan haji. Eh, tapi aku mengatakan ini untuk mereka yang mampu ya. Karena ibadah haji memang diperuntukkan untuk mereka yang mampu. Untuk yang belum mampu, tidak dibebankan."

"Jika kita diberikan kemampuan secara materi pergi haji sejak usia muda, kenapa kita tidak mempersiapkan hal itu sejak kita masih muda, kuat, dan sehat? Tentunya keinginan ini juga harus dibarengi dengan keimanan yang kuat. Istilahnya, sejak muda kita harus terus menempa keimanan kita untuk terus selalu ada di jalanNya. Jadi ketika berangkat haji nanti bukan cuma fisik yang sehat, tapi juga iman yang baik."

"Wuaaah, tu as vraiment raison, Aini! Kalau punya duit, daripada jalan-jalan ke luar negeri, mending kita ibadah haji dulu yaa. Atau gak, umrah dulu laaah." Lily mengedipkan matanya, membuat Aini tertawa melihat kelakuan sahabatnya itu.

Lily selalu sependapat dengan pendapat Aini dalam banyak hal. Itulah mengapa mereka bisa cepat menjadi akrab sejak pertama kali bertemu di acara ospek mahasiswa baru jurusan bahasa Perancis Universitas Indonesia.

Selanjutnya Aini dan Lily bergegas menuruni tangga masjid dan menuju parkiran mobil. Tak lama kemudian mobil Krista biru yang dikemudikan Aini sudah meluncur dengan perlahan menuju arah Barat kampus. Mereka melanjutkan aktivitas hari itu ke perpustakaan fakultas Ilmu Budaya untuk mencari bahan-bahan referensi penyusunan skripsi mereka di jurusan Linguistik Perancis.

***

Aini menatap deretan tulisan dalam layar komputernya. Pikirannya sibuk mencerna dan memahami kalimat-kalimat yang ditulisnya. Sepertinya ia sedang berpikir keras dalam menyusun kalimat untuk analisa skripsinya yang meneliti tentang penerjemahan Participe Passé dalam Novel 'L'Étranger' karya Albert Camus. Lama berpikir, akhirnya ia memilih mematikan komputernya.

'Ah, lanjut besok saja. Pikiranku sudah buntu.' Batinnya menyerah.

Aini kemudian melihat jam dinding di atas meja belajarnya. Jam 10.20 malam. Sudah waktunya ia beristirahat. Sebanyak apapun tugas kuliah yang harus diselesaikan, ia selalu membatasi jam malamnya paling lambat jam 11.00. Setelah itu, ia akan memaksakan dirinya naik ke tempat tidur meskipun belum mengantuk. Kali ini ia pun harus mengalah meninggalkan setumpuk berkas yang belum juga selesai disusun menjadi sebuah skripsi.

Menurut buku-buku kesehatan yang banyak dibaca Aini, waktu terbaik untuk sel-sel tubuh beregenerasi memperbaiki jaringannya yang rusak adalah waktu istirahat malam. Jika memaksakan diri untuk terus terjaga sepanjang malam, berarti ia tidak membiarkan tubuh untuk melakukan tugasnya itu dengan baik. Lalu, bagaimana tubuhnya bisa sehat dan bugar?

Kesehatan adalah rejeki Allah yang sangat berharga. Sudah sepatutnya Aini merawat dan menjaga rejeki itu dengan tidak mendzalimi tubuhnya sebagai bentuk rasa syukur. Apalagi beberapa minggu lagi Aini akan berangkat ke Mekkah, bergabung dengan jutaan umat Islam di sana untuk melaksanakan Haji. Ia harus berikhtiar mempersiapkan fisiknya agar tetap sehat, kuat, dan bugar, selain pastinya ia juga menata imannya untuk siap dan kuat menjalankan ibadah itu.

Aini sangat berterima kasih pada kedua orang tuanya yang mau menyisihkan uangnya untuk ibadah haji keempat anaknya. Mereka bukan keluarga yang kaya raya. Bapaknya seorang pelaut dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Tapi bagi orang tuanya, mereka tak pernah merasa kehilangan uang jika itu dikeluarkan untuk sebuah ibadah.

Aini merebahkan tubuhnya di kasur. Tiba-tiba ia teringat kertas kecil yang diberikan Azzam, temannya dalam organisasi dakwah di kampus, yang dititipkannya lewat Lily. Segera ia mencari kertas itu di dalam tas dan membukanya.

Aini, Lily bilang kamu berangkat haji akhir bulan ini? Insya Allah selalu dilancarkan proses ibadahnya oleh Allah, sejak berangkat hingga tiba kembali ke tanah air. Titip doa yang terbaik untukku ya.

Sahabatmu, Azzam.

Rangkaian kalimat itu ditulis dengan tulisan tangan yang rapi. Ada perasaan tak enak setiap kali mengingat sosok Azzam. Pemuda yang sejak setahun ini dekat dengan dirinya. Jabatannya sebagai Bendahara di organisasi dakwah kampus yang diketuai oleh Azzam membuat mereka dekat. Kedekatan itu membuat hatinya sedikit bergetar. Ia menikmati saat-saat kebersamaannya dengan pemuda idola para gadis di Fakultas MIPA.

Gadis mana yang tidak menyukai sosok lelaki tampan dengan tubuh atletis, hapal al-Qur'an 15 Juz, pintar, dan jago ceramah? Akhlaknya santun, tutur katanya pun sopan dan baik. Meskipun Azzam lebih muda satu tahun di bawah Aini, tapi pembawaannya dewasa dan bijaksana.

Azzam tampaknya juga menyukai keberadaan Aini di dekatnya. Meskipun mereka selalu menjaga sikap dan tidak pernah mengarahkan hubungan mereka dengan berpacaran, tapi bahasa tubuh Azzam dan Aini memperlihatkan kalau keduanya menyimpan rasa dan asa pada kedekatan mereka. Gosip yang berkembang di sekitar mereka juga mengatakan kalau mereka berdua saling menyukai. Tidak sedikit yang menggoda mereka sebagai sepasang kekasih. Tapi karena komitmen mereka untuk tidak berpacaran sebelum menikah, Azzam dan Aini tidak pernah menampakkan perasaan mereka secara langsung satu sama lain.

Lambat laun, hubungan seperti itu mengusik hati nurani Aini. Ia merasa berdosa telah mengotori hatinya dengan kesia-siaan. Membiarkan iblis melenakannya dengan kebahagiaan dan kebanggaan palsu karena seorang pemuda tampan dan pintar. Dengan lihainya, iblis membisiki hati dan jiwa Aini bahwa apa yang telah dilakukannya bukanlah sebuah perbuatan dosa. Toh, mereka tidak berpegangan tangan atau berpelukan layaknya pasangan yang berpacaran. Hanya hati mereka yang saling berangkulan. 'Pacaran Islami', begitu istilah kerennya.

Kini, ada dua kubu yang saling tarik menarik dalam jiwa Aini. Kubu yang menyuruhnya untuk melanjutkan kedekatannya dengan Azzam, serta kubu yang menyuruhnya untuk menjauh dari sosok pemuda yang membuatnya berdesir jika berdekatan.

Alin meletakkan kertas itu di atas bantal. Matanya terpejam, mencoba menghilangkan sosok pemuda itu di kepalanya.

ADA CINTA DI HAJAR ASWADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang