Rizal sangat mengenal baik Pak Jufri sekeluarga. Sejak ia mengenal para sahabat Apak yang sering berkunjung ke rumah, Pak Jufri inilah yang paling akrab dan sering mengobrol dengan Apak di rumah. Bukan cuma dirinya, pak Jufri sering membawa istri dan ketiga anaknya ke rumah untuk bersilaturrahim. Ibunya—sebelum meninggal—bahkan bersahabat akrab dengan istri Pak Jufri. Mereka sering melakukan aktivitas bersama.
Rahma, anak pertama Pak Jufri adalah teman sekelasnya di SD. Sejak kelas satu hingga kelas enam. Seperti halnya orang tua mereka, Rizal dan Rahma sangat akrab dan dekat. Mereka selalu berangkat dan pulang sekolah bersama, mengerjakan tugas sekolah bersama, bahkan bermain bersama. Tapi itu dulu. Setelah Rizal masuk pesantren, ia mulai paham tentang batas-batas berinteraksi dengan perempuan non muhrim. Karena itu ia mulai menjaga jarak dari Rahma. Rahma pun mulai malu jika bertemu dengan Rizal. Mereka hanya sekedar basa-basi jika bertemu di jalan. Perlahan, persahabatan itu tak lagi bernama.
Rizal dan Rahma menghabiskan masa kecilnya di sebuah desa kecil di daerah Bukittinggi. Balingka. Daerah yang diapit oleh Gunung Singgalang dan Gunung Berapi. Ia punya kenangan manis tentang tempat yang sangat eksotis itu. Bersama mereka menjelajahi setiap lekuk kampung tempatnya tinggal dengan amat bahagia. Berdua mereka menikmati keindahan panorama pegunungan yang sejuk dan menyejukkan mata yang memandangnya.
Tapi keindahan desa itu mendadak tak terlihat menarik lagi bagi Rizal ketika ibunya meninggal dunia. Ia tak lagi kerasan tinggal di sana. Kematian ibunya serta perselisihan dengan Apak dan keluarga besarnya membuat ia terpaksa membuang jauh-jauh semua keindahan itu. Rizal memilih untuk terus menjauh dari desanya selama bertahun-tahun. Pulang hanya setahun sekali dalam liburan Idul Fitri dan lebih memilih berpetualang menjelajahi pulau Jawa dalam liburannya yang lain. Hingga akhirnya ia mendapat kesempatan ke Mesir untuk melanjutkan kuliahnya, membuatnya tambah jauh dari kampung halaman. Dan, ia terus bertahan untuk mengambil jarak dari tempat kelahirannya itu.
Rizal bukan tak tahu jika yang dilakukannya itu melukai hati Apak. Apalagi sebagai anak lelaki tertua dalam keluarga, ia diharapkan untuk selalu ada mendampingi ayahnya. Tapi, kenangan buruk itu terlalu kuat tertanam di dada. Setiap melihat rumahnya, kampungnya, dan semua yang berhubungan dengan masa kecilnya seakan mengingatkan Rizal pada luka lamanya. Ingat pada ketidakberdayaannya, pada ketidakmampuannya merubah situasi yang ada, pada kesedihannya yang tak bisa diungkapkan pada siapapun hingga ia dewasa.
Dan, melihat sosok Pak Jufri membuat kenangan itu sedikit muncul. Sahabat ayahnya yang dulu pernah memberinya sedikit harapan untuk merubah keadaan dengan perhatian-perhatiannya. Tapi, pada akhirnya Pak Jufri tetap mendukung ayahnya untuk melupakan ibunya yang baru enam bulan meninggalkan dunia.
"Kamu tambah besar sekarang, Zal." Pak Jufri kembali menepuk-nepuk bahu Rizal sambil tertawa.
"Bagaimana kuliahmu sekarang? Katanya satu tahun lagi selesai?" Apak bertanya sambil mengajak Rizal dan Pak Jufri duduk di tempatnya tadi duduk.
"Insya Allah, Pak. Doakan tahun ini si Zal bisa menyelesaikan kuliah."
"Insya Allah. Apak selalu doakan."
"Lalu, bagaimana rencanamu setelah itu?"
"Mungkin si Zal akan lanjut ke S-2?"
"Kuliah lagi? Di Mesir juga?"
"Insya Allah. Rencananya begitu."
"Kamu gak mau menikah?" Apak menatap Rizal sambil senyum-senyum penuh harap. Pak Jufri yang sedari tadi mengikuti obrolan mereka juga sepertinya tak sabar menunggu jawaban dari Rizal.
Rizal menghela nafas pendek. Melihat tatapan Apak yang sangat berharap jawaban positif darinya, mengurungkan niatnya untuk menjawab 'tidak'.
"Pastilah si Zal mau menikah. Setiap umat Rasulullah disunnahkan menyempurnakan imannya lewat pernikahan."
"Tapi kalau kamu kuliah terus, kapan menikahnya? Umurmu bertambah tua nantinya."
"Insya Allah kalau ketemu jodoh yang cocok, si Zal akan menikah meskipun sedang kuliah. Apak doakan saja."
"Cari jodoh jangan jauh-jauh, Zal. Di kampung banyak perempuan cantik yang shalihah. Rahma contohnya," Apak tertawa sumringah sambil melihat ke arah Pak Jufri. Yang dilihat hanya tersenyum senang.
Rizal tidak menanggapi kata-kata Apak. Ia kemudian mengalihkan obrolan dengan menanyakan kabar adik-adiknya. Apak bercerita tentang Eva yang akan memulai kuliah di Jakarta tahun ini, Khairan yang sekarang duduk di kelas 2 SMU, Ikhsan di kelas 2 SMP, dan adik bungsunya Yanti yang tahun ini akan lulus sekolah dasar. Apak tidak sedikit pun bercerita tentang istrinya. Apak tahu kalau hal itu masih menganggu Rizal, sampai sekarang.
Sesekali Pak Jufri ikut nimbrung dengan menceritakan tentang kondisi kampungnya yang mulai ditinggalkan anak muda karena banyak dari mereka yang merantau. Baik merantau karena menuntut ilmu ataupun mencari pekerjaan di kota lain. Kota terasa sepi hanya dengan orang-orang tua yang ada di dalamnya.
"Kembalilah ke kampung kalau kau lulus, Zal." Pak Jufri menatap Rizal. "Bangunlah desa kita. Hidupkan lagi surau dengan kegiatan-kegiatan keagamaan kalau kau pulang."
Rizal tersenyum. Sebuah harapan yang sulit dilaksanakan oleh dirinya. "Saya gak bisa janji, Pak Jufri. Sekarang keinginan saya fokus sekolah terus sampai dapat gelar Doktor, insya Allah. Saya sendiri belum tau kapan bisa pulang ke kampung."
"Insya Allah, Bapak selalu mendoakan kesuksesanmu. Tapi tetap jangan lupa untuk membangun kampung halamanmu." Lagi, Pak Jufri menepuk-nepuk bahu Rizal.
Obrolan mereka terputus dengan suara azan yang mengalun indah dari setiap sudut masjid. Serentak mereka berdiri dan bersiap-siap bergabung dengan jutaan umat yang hadir di Masjidil Haram untuk melaksanakan shalat Maghrib berjamaah.
***
Apak berjalan bersama rombongan kampungnya menuju hotel tempatnya tinggal selama di Mekkah. Di sepanjang jalan, berderet orang berjualan aneka makanan khas Arab yang mengundang selera. Beberapa dari mereka berhenti untuk membeli Kebab atau Martabak yang dijual oleh orang berparas Pakistan atau India, tapi bisa berbahasa Indonesia. Suasananya sangat ramai dan semarak oleh berbagai aktivitas dari banyak orang yang ada.
Pak Jufri berjalan di samping Apak sambil asyik mengobrol dengan Pak Syahril, teman lainnya yang berada dalam satu kloter. Tapi Apak tidak berminat bergabung dengan obrolan itu. Pikirannya masih tertumpu pada Rizal, anak sulungnya yang baru saja ditemui di masjid tadi.
Anak itu tidak berubah. Rizal seperti masih menjaga jarak dengan dirinya. Meskipun begitu, sikapnya sudah mulai melunak dan tidak keras kepala seperti ketika masih di tahun-tahun awal kematian ibu kandungnya.
Apak menghela nafas panjang. Mengingat saat-saat sulit ketika ia harus kehilangan istri pertamanya yang pendaharan usai melahirkan anak keenamnya. Saat-saat itu sangat berat baginya. Kehilangan salah satu 'kaki dan tangannya' dengan tiba-tiba membuatnya limbung dan syok. Ia bingung harus mengurus anak-anaknya yang masih kecil-kecil, sedangkan usaha dagangnya juga membutuhkan kehadirannya.
Terbayang di bulan-bulan awal kedukaan, anak-anaknya harus diasuh bergantian oleh ibu dan adik-adik perempuannya. Sedangkan mereka pun punya keluarga yang harus diurus. Belum lagi ditambah kekerasan hati Rizal dan adik-adiknya. Rizal menolak untuk kembali ke pondok. Ia memilih bersekolah di dekat rumahnya. Dua anak lelaki lainnya yang sering bertengkar dan membuatnya pusing. Anak bungsunya yang masih 2 tahun terkadang rewel dan sering menangis, entah lapar, sakit, atau lelah. Belum lagi urusan makan mereka yang tak jelas, kadang beli kadang pesan pada adik-adiknya. Semua terasa kacau di mata Apak. Maka ketika ibunya menyodorkan seorang perempuan dari kampung untuk dinikahinya, ia tidak bisa berpikir jernih. Tepatnya ia dipaksa untuk tidak bisa menolak karena pilihan yang ada saat itu hanya satu. Menikah lagi untuk menyelamatkan anak dan keluarganya.
Tapi ternyata niat baik Apak mendapat pertentangan keras dari anak-anaknya. Mereka menolak keras ketika tahu ayahnya akan menikah lagi, terutama Rizal. Ia memimpin protes terhadap neneknya yang berusaha meyakinkan mereka. Ia juga marah pada tante-tantenya dan menunjukkan sikap yang membangkang. Puncaknya ketika Rizal bersikap kurang sopan pada neneknya, Apak marah dalam kebingungan dan keputusasaan. Ia menampar Rizal di depan keluarga besarnya. Tamparan yang cukup keras, tidak hanya membuat merah pipi Rizal, tapi juga membuat luka yang cukup dalam bagi seorang anak yang baru tumbuh besar.
Apak mendesah pelan, 'Ah, sudah sepuluh tahun lebih berlalu, tapi sepertinya ia masih belum melupakan hal itu. Meski sikapnya terlihat biasa, tapi aku masih melihat luka itu di matanya.'
KAMU SEDANG MEMBACA
ADA CINTA DI HAJAR ASWAD
SpiritualIni tentang Rizal, mahasiswa Al-Azhar Mesir yang ingin menikah di usianya ke-25, tapi belum memiliki calon yang akan dinikahinya. Ini juga tentang Aini, mahasiswi akhir Sastra Perancis yang ingin menjaga diri dan hatinya dari godaan cinta yang tak h...