Rumah luas bercat putih itu terlihat ramai dengan kumpulan orang yang berkumpul memenuhi halaman depannya. Di depan pintu masuk, terlihat Aini, Dewi kakak perempuannya, Doni kakak lelakinya, dan Arfan adik lelakinya sedang berdiri berderetan, menghadap sekumpulan orang yang juga berdiri sambil mengangkat tangan. Di sebelah kanan mereka nampak sepasang orang tua berusia 50 tahun. Mereka itulah ibu dan Bapak Rasyid, orang tua dari keempat anak itu. Di sebelah kiri mereka, terlihat Ustadz Sofyan yang sedang memimpin doa untuk melepas kepergian mereka ke tanah suci.
"Ya Allah, sesungguhnya kami mohon kepadaMu kebaikan dan ketakwaan di dalam perjalanan bakal-bakal haji kami ini. Dan semoga ia merupakan amalan yang Dikau ridhai. Ya Allah, permudahkanlah urusan dan beban di dalam perjalanan mereka ini dan jadikanlah ia seumpama perjalanan yang dekat. Kami mohon kepadaMu agar menjadikan perjalanan mereka, perjalanan yang penuh dengan segala kebaikan, tanpa ada satu pun keburukan yang terdahulu dan yang akan datang. Sesungguhnya Dikau Maha Kuasa atas tiap sesuatu dan hanya Dikau yang layak memperkenankan doa dengan rahasia firmanMu yang haq."
"Ya Allah, jadikanlah haji mereka haji yang mabrur dan amal yang diterima oleh Allah, dan dosa-dosa mereka diampunkan, dan amal kebaikan mereka diterima, serta pekerjaan yang tidak akan menghancurkan atau merugikan. Ya Allah, jauhkanlah mereka dari segala bala bencana, wabah penyakit, dan jauhkanlah mereka dari perasaan was-was dengan kurniaMu dan kemuliaanMu, wahai Dzat yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan. Ya Allah, selamatkanlah dan peliharalah mereka dan apa saja yang bersama mereka, dan sampaikanlah niat mereka dan apa saja yang bersama mereka."
Semua yang hadir serempak mengaminkan untaian doa Ustadz Sofyan yang begitu khusyu'. Suasana terasa syahdu, seakan terhipnotis pada doa-doa kebaikan yang mengiringi kepergian empat orang anak muda itu ke Baitullah. Sedetik setelah Ustadz Sofyan menyelesaikan doanya, terdengar isakan yang cukup keras. Ternyata Dewi, kakak perempuan Aini sedang menangis tersedu-sedu dengan wajah sedih.
"Udah, gak usah nangis gitu ah!" Ibu mengelus-elus punggung Dewi, anak gadis pertamanya yang berusia 29 tahun. Dengan usia yang hampir kepala tiga seperti itu, Dewi belum berkeinginan menikah. Ia masih menikmati kesendiriannya.
Dewi tidak berkata apa-apa, hanya menyeka air mata yang membasahi sebagian wajahnya dengan tisu. Tak lama kemudian Dewi kembali tenang'dan bersiap-siap bergabung bersama Aini, Doni, dan Arham yang sudah duluan masuk ke mobil. Mereka akan diantarkan ke Yayasan Ar-Rahman, tempat dimana nama-nama mereka tercatat sebagai jamaah haji. Ibu memang mendaftarkan keempat anaknya itu ke Yayasan milik sahabatnya itu, sekaligus menitipkan mereka padanya
Ada sekitar 68 orang yang ikut berangkat haji dengan Yayasan Ar-Rahman. Mereka semua berkumpul di yayasan yang terletak di Jalan Nusantara Depok. Selanjutnya, ke-68 jamaah itu akan diantar ke Asrama Haji Pondok Gede untuk mempersiapkan perlengkapan dan kesiapan administrasi mereka, sekaligus menunggu keberangkatan menuju Mekkah satu hari kemudian. Kebetulan kelompok terbang mereka termasuk yang pemberangkatan awal. Jadi Aini dan lainnya akan ke Madinah terlebih dahulu baru kemudian ke Mekkah.
Rombongan Aini mulai meninggalkan Komplek Casablanca, salah satu perumahan di kota Depok yang sudah dihuni Aini dan keluarganya selama 20 tahun. Mereka menuju Yayasan Ar-Rahman dan selanjutnya akan konvoi menuju Pondok Gede. Sesampainya di sana, barulah mereka akan berpisah. Ketika perpisahan itu tiba, kembali Dewi menangis tersedu-sedu dan harus ditenangkan oleh ibu.
Aini bukannya tidak sedih harus berpisah selama 40 hari ke depan dengan orang tuanya. Tapi membayangkan perjalanan ibadah haji yang akan dilalui membuatnya lebih excited. Membayangkan akan melihat kota Mekkah dan Madinah dengan semua sejarah yang dimilikinya, membuatnya sangat bahagia. Ia sangat bersyukur bisa menunaikan rukun Islam kelima ini dengan usia muda dan tubuh yang sehat. Mungkin, tidak banyak yang memiliki kesempatan seperti dirinya.
Sejak Aini mendapat kabar dari orang tuanya kalau ia akan didaftarkan untuk berangkat haji, dirinya langsung banyak membaca buku-buku yang berhubungan dengan Mekkah, Madinah, dan sirah nabawiyah. Ia ingin meresapi setiap rangkaian haji yang dilakukan seperti yang ada dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, merenungi kisah-kisah yang pernah terjadi di jaman Rasulullah dulu pada tempat-tempat yang akan dikunjunginya nanti. Dengan kata lain, Aini ingin ibadah haji itu menjadi napak tilasnya mengenang sejarah para nabi Allah.
***
Aini, Dewi, Doni, Arfan dan rombongan 123 orang kloter 35 dari Embarkasi Jakarta asal Depok sudah ada di dalam bis yang terparkir di pelataran Bandara Internasional King Abdul Aziz Jeddah. Pemeriksaan di pos imigrasi bandara tadi cukup menguras waktu dan tenaga mereka karena mereka tiba pukul 9.30 malam. Prosesnya sendiri berjalan lambat. Mereka harus mengantri ke beberapa pos untuk pemeriksaan pasport, barang bawaan, sampai pemeriksaan fisik mereka oleh askar perempuan saudi. Tapi karena semua jamaah berada dalam niat yang tinggi untuk haji, semua hal itu dilalui dengan ikhlas karena dianggap sebagai bagian dari ibadah.
Tujuan mereka selanjutnya adalah Madinah untuk melaksanakan ibadah Arbain, yaitu shalat berjamaah selama empat puluh waktu berturut-turut di Masjid Nabawi. Itu berarti mereka akan berada di Madinah selama 9 hari 8 malam. Begitu yang dikatakan Bapak dan Ibu Syarif, ketua Yayasan Ar-Rahman yang menjadi ketua kelompok rombongan mereka.
Aini dan rombongan tiba di pemondokan haji Madinah ketika shubuh. Tanpa banyak kata, Pak Syarif mengumpulkan rombongannya, membagikan kunci kamar—setiap kamar diisi tujuh orang sesuai jenis kelamin, dan menyuruh mereka hanya menaruh koper bawaan dan berwudhu untuk selanjutnya berangkat langsung ke Masjid Nabawi menunaikan shalat shubuh berjamaah. Tanpa ada kesempatan melihat-lihat suasana pemondokan, Aini dengan cepat melaksanakan apa yang dikatakan Pak Syarif. Ia kebagian sekamar dengan Dewi kakaknya dan lima orang ibu-ibu yang seusia ibunya. Sedangkan Doni dan Arfan kebagian di kamar lain dengan para bapak.
"Ayo Kak Dewi, jangan lelet gitu. Nanti ditinggal rombongan loh!" Aini mengingatkan kakaknya yang masih sempat-sempatnya berkaca dan memperbaiki riasan bedak di wajahnya. Kakaknya memang terkenal lambat dan santai. Ia sering menjadi penyebab keterlambatan jika keluarganya memiliki rencana keluar bersama.
Dewi meletakkan kaca kecil dan bedak yang dipegangnya, mengambil mukena dalam tas tangan, dan bergegas mengikuti Aini dan para ibu teman sekamarnya yang sudah duluan keluar kamar menuju lift. Kamar mereka ada di lantai tiga. Sekilas, kondisi pemondokan yang Aini tempati cukup bersih dan nyaman. Ia menyukainya. Dan ternyata, lokasinya juga sangat dekat dengan Masjid Nabawi. Beberapa langkah keluar dari pemondokan, Aini sudah berada di pelataran masjid yang luas, bertepatan dengan terbukanya payung-payung raksasa yang memenuhi seluruh pelatarannya. Indah dan menimbulkan decak kagum yang melihatnya.
Dahulu di jaman Rasulullah—menurut buku Sejarah Masjid Nabawi yang dibaca Aini—hanya bagian depan masjid saja yang memiliki atap. Sedangkan bagian belakang masjid dibiarkan terbuka tanpa atap seperti tanah lapang yang terbuka. Ketika kiblat dipindahkan ke Ka'bah, maka bagian masjid yang mengarah ke kiblat diberi atap sehingga tersisa pelataran masjid yang terbuka di tengah.
Seiring dengan perluasan masjid Nabawi, pelataran terbuka itu mengalami perluasan dua bagian dengan marmer putih di lantai untuk mencegah panas matahari. Di pelataran masjid diletakkan dua belas payung raksasa yang bisa terbuka dan tertutup secara otomatis di pelataran itu untuk melindungi jamaah yang shalat dari terik matahari dan hujan.
Dalam keremangan shubuh dan keriuhan orang-orang yang bersiap-siap shalat shubuh, Alin terus berjalan mengikuti rombongannya yang dipimpin Ibu Syarif ke bagian timur masjid, tempat shalat perempuan yang terpisah dengan laki-laki. Sambil terus berdzikir mengumandangkan kebesaranNya, Aini menuju salah satu pintu dari banyak pintu yang ada di masjid dan masuk ke dalamnya.
Ketika kakinya mulai memasuki dalam masjid, Aini terkesima dan takjub pada keindahan dan kemegahan interior dan relief masjid. Ia sudah membaca tentang keindahan arsitektur bagian dalam masjid Nabawi yang terkenal indah dan modern, lengkap dengan kubah hijaunya yang bisa buka tutup dengan sendirinya. Tapi tetap saja ia tak bisa menyembunyikan keterpesonaannya melihat langsung keindahan dalam masjid. Dengan pilar-pilar raksasa yang menopangnya, Masjid yang sudah mengalami renovasi beberapa kali itu terlihat megah dan indah. Belum lagi deretan air zamzam yang tertata rapi di sepanjang shaf masjid, siap dinikmati oleh para jamaah yang datang.
Ketika Ibu Syarif berhenti dan memberi aba-aba pada rombongan Aini untuk bergabung dalam barisan shaf, yang pertama Alin lakukan adalah sujud syukur. Dengan berlinang air mata ia tak henti-hentinya mengucap syukur atas segala nikmatNya karena diberi kesempatan untuk menginjakkan kaki di tempat yang menjadi saksi bisu kehidupan Rasulullah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADA CINTA DI HAJAR ASWAD
EspiritualIni tentang Rizal, mahasiswa Al-Azhar Mesir yang ingin menikah di usianya ke-25, tapi belum memiliki calon yang akan dinikahinya. Ini juga tentang Aini, mahasiswi akhir Sastra Perancis yang ingin menjaga diri dan hatinya dari godaan cinta yang tak h...