Episode Sembilan

317 11 1
                                    

Apak baru saja menyelesaikan shalat Dhuha di lantai dua Masjidil Haram. Di sampingnya duduk seorang lelaki dengan sebagian rambut yang sudah memutih sedang duduk mengaji. Di sekelilingnya, banyak orang dari berbagai negara hilir mudik dengan aktifitasnya masing-masing.

Apak dan kloter rombongan dari Balingka Bukittinggi baru tiba dini hari tadi, dilanjutkan dengan thawaf qudum. Setelahnya, ketua rombongan memberi waktu untuk mereka beristirahat dan baru akan kembali ke Masjidil Haram sebelum Ashar mengingat banyaknya orang tua dalam rombongan. Tapi Apak terlalu bersemangat untuk terus melihat Ka'bah. Tempat yang selalu diceritakan ustadz kampungnya ketika Apak kecil mengaji di Surau. Sejak itu, ia bertekad akan mengunjungi rumah Allah itu sebelum ajalnya menjemput. Dan, kini Allah mengabulkan impian dan harapannya itu.

Apak mengajak Pak Jufri, sahabatnya yang juga ikut dalam rombongan untuk pergi ke Masjidil Haram. Karena mereka sudah bersahabat sejak kecil, mendapat cerita dari ustadz yang sama, mereka pun memiliki impian yang tidak berbeda. Kini dari tempat mereka bersujud, berdiri bangunan segiempat hitam berbentuk kubus bernama Ka'bah, persis seperti yang diceritakan ustadz di surau mereka dahulu. Sementara itu, kiswah keemasan yang menutupi Ka'bah terlihat cantik berkilat-kilat terkena matahari pagi yang mulai menampakkan dirinya di ufuk timur.

Pak Jufri menghentikan bacaan Qur'annya ketika melihat Apak mendekat, kemudian bertanya, "Bagaimana Sahar, kapan si Zal kesini?"

"Saya tidak tau. Telepon terakhir kami, saya sudah mengabarkan kalau kloter kita berangkat dua minggu sebelum hari raya. Semoga dia mencari kita di sini."

"Insya Allah. Semoga saja."

Suasana di sekitarnya kini mulai penuh dan padat. Apak kemudian duduk di sebelah Pak Jufri dan mulai membuka al-Qur'an. Beberapa orang dari Pakistan, India, Arab, bahkan Indonesia melewati mereka dari arah depan atau belakang tanpa mengucapkan permisi. Membuat Apak tak bisa memulai membaca kitab suci itu. Dalam kondisi Masjidil Haram yang mulai padat seperti ini, Apak mencoba memaklumi hal-hal seperti itu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara perempuan dari arah belakang.

"Maaf Pak, permisi mau lewat." Seorang ibu dan gadis muda dengan atribut merah putih di mukena membungkukan badannya, meminta ijin untuk melewati Apak dan pak Jufri.

"Maaf mengganggu ya, Pak." Suara gadis itu terdengar sambil menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

"Iya, silakan."

Apak menoleh sekilas sambil memberi jalan. Seorang gadis muda berusia 20 tahunan dan seorang ibu berusia 30-an berjalan bergandengan menuju ke bagian depan. Sepertinya mereka baru datang dari eskalator dan ingin melakukan Sa'i. 'Ternyata masih ada yang sopan seperti ibu dan anak itu,' pikir Apak sambil memandang mereka sejenak. Kemudian ia melanjutkan niatnya untuk membaca al-Qur'an.

Lagi, niatnya untuk membaca al-Qur'an kembali terganggu dengan lalu lalangnya orang-orang yang ada. Pak Jufri pun menghentikan bacaannya karena terganggu karena hal itu. Akhirnya Apak mengurungkan niatnya dan berdiri.

"Mau kemana?" tanya Pak Jufri melihat Apak melangkah ke depan.

"Saya mau ke balkon depan itu dulu. Mau lihat orang yang thawaf. Mau mengaji terganggu terus."

Pak Jufri hanya menganggukkan kepalanya dan kembali menghadapkan wajahnya pada al-Qur'an yang dipegang.

Apak terus melangkah diantara kerumunan orang-orang yang ada di sekitarnya hingga langkahnya terhenti di depan besi pembatas yang ada di lantai dua. Dari tempatnya berdiri, Apak menyaksikan pemadangan yang luar biasa. Di bawah sana, tampak Ka'bah yang berdiri dengan gagahnya dikelilingi ribuan orang berbaju putih.

"Labbaik allâhumma labbaik. Labbaik lâ syarîkalakalabbaik. Innalhamda wa ni'mata laka wal mulk. Lâ syarîkalak."

Pekikan talbiyah terdengar seperti koor doa yang diucapkan ribuan orang yang ada. Mereka seakan sedang berkomunikasi pada Rabb-nya, melaporkan kalau mereka sedang memenuhi panggilanNya dengan segenap hati. Bahwa semua harapan, kebaikan, dan amalan yang mereka lakukan di hadapan Ka'bah hanya untukNya. Tidak ada sekutu bagiNya.

ADA CINTA DI HAJAR ASWADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang