Episode Enam

332 11 1
                                    

Madinah, April 1997

Kota Madinah—sebagaimana kota Mekkah—menjadi kota istimewa diantara kota-kota lainnya yang ada di negara Saudi Arabia karena kedudukannya sebagai tanah haram. Pengharaman ini dikatakan langsung oleh Rasulullah dalam sebuah kesempatan di hadapan para sahabat beliau.

"Ibrahim telah mengharamkan Mekkah, maka ia pun menjadikan Mekkah sebagai tanah haram. Dan aku menjadikan Madinah sebagai tanah haram, yaitu wilayah yang berada antara dua jalan sempit diantara dua gunung. Tidak boleh ada pertumpahan darah, tidak boleh membawa senjata untuk berperang, dan tidak boleh memukul pohon-pohonnya dengan keras (hingga berguguran daun-daunnya) kecuali untuk makanan ternak."

Ketika Rasulullah tiba dari perjalanan hijrahnya di Mekkah ke Madinah, beliau mendirikan masjid Nabawi di tempat untanya berhenti. Kala itu, masjid itu hanya memiliki luas 1060 meter dengan bentuk seperti bujur sangkar. Seiring dengan berganti kepemimpian—mulai dari masa Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Khalifah Bani Umayyah Al-Walid bin Abdil Malik, Khalifah Al-Mahdi Al-Abbasi, Sultan Al-Mamluki Al-Asyraf Qaytabai, Sultan Ottoman Abdul Majid, Raja Abdul Aziz Al-Saud, hingga Raja Salman bin Abdul Aziz Al-Saud—masjid Nabawi terus diperluas dan dimodernkan sesuai perkembangan jaman.

Buat Aini, mengunjungi masjid Nabawi seperti sedang menyaksikan perjalanan Sang Baginda Rasulullah di Madinah. Masjid ini menjadi saksi perjuangan dakwah beliau bersama para sahabat dan umatnya. Di dalam masjid terdapat peninggalan rumah beliau. Dan di rumah itulah tempat terakhir kalinya beliau menghembuskan nafas terakhirnya, meninggalkan umat yang amat sangat dicintainya.

Beberapa jamaah Ar-Rahman ingin tetap tinggal di masjid hingga waktu dhuha, dilanjutkan dengan pergi mengunjungi Raudhah. Tapi Ibu Syarif menganjurkan untuk kembali ke kamar pemondokan untuk beristirahat dahulu karena semalaman sudah menempuh perjalanan kurang lebih tujuh jam dari Jeddah dengan bis.

"Kasian buat mereka yang sudah berumur. Capek dan butuh istirahat. Insya Allah kita masih punya waktu delapan hari ke depan untuk mengunjungi Raudhah dan tempat-tempat bersejarah lainnya di Madinah!"

Dalam hati Aini membenarkan kata-kata Bu Syarif. Akhirnya para jamaah sepakat untuk mengikuti saran Bu Syarif dan pulang kembali ke pemondokan mereka yang terlihat dari pelataran masjid.

"Aini, nanti kita ke Mall yang disana ya?" Dewi menyenggol lengan Aini, menunjuk gedung besar yang ada di sebelah kanan depan pelataran masjid. Gedung itu dipenuhi dengan toko-toko bermerk dan kuliner Barat yang sering ditemuinya di Indonesia. Sepertinya gedung itu salah satu pusat perbelanjaan atau Mall kota Madinah.

"Ah, Kak Dewi mah gak bisa ngeliat Mall nih!" Aini tersenyum sambil matanya melihat gedung yang dimaksud kakaknya. Dewi memang terkenal hobi belanja dan berwisata kuliner. Ibu sudah mewanti-wanti dirinya agar terus mengingatkan kakaknya untuk tidak boros selama di Mekkah dan Madinah.

"Kalau kamu gak mau, biar aku minta anter sama Doni aja, hehehe ..."

"Inget kata ibu, jangan boros disini. Kita disini buat ibadah, bukan buat shopping-shopping."

"Yaah, shopping dikit gak apa-apalah! Apalagi kalau wiskul, hmm ... kapan lagi nyobain makanan khas Arab."

"Nanti aja kalau mau belanja. Pas mau pulang, atau nanti di Mekkah juga bisa. Biar bawaan barang kita gak terlalu banyak."

"Di Mekkah urusan nanti. Sekarang, kita nikmati dulu yang ada di Madinah. Kapan lagi."

Dewi terus saja ngeyel mempertahankan keinginannya. Aini tidak melanjutkan pembicaraan mereka. Dewi sudah bekerja dan memiliki uang sendiri. Jadi, akan sulit melarang keinginan kakaknya untuk membeli sesuatu dengan uang yang dihasilkannya sendiri.

ADA CINTA DI HAJAR ASWADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang