18: Virus Merah Jambu

1.4K 85 10
                                    


"Ini buat kamu, aku memetiknya di halaman sekolah."

Satu, dua, tiga detik Aqila hanya mengintip dari balik boneka gigi yang di kepalanya ada mahkota. Rasha tersenyum. Menampakkan mulutnya yang masih disumbat kasa. Kasa itu terlihat memerah karena menyerap darah yang berasal dari giginya yang tanggal akibat mendarat tidak mulus di lapangan sepak bola.

"Aku tahu kalau kamu suka bunga, jadi aku memetikannya untukmu."

Aqila memunculkan kepalanya, memberanikan diri untuk meraih tangkai itu. Pelan-pelan tangannya menjulur sampai tangai mawar itu dapat ia raih. Dengan wajah malu dan takut ia mengucapkan terima kasih.

"Terima kasih juga karena Papamu selalu mengobatiku. Kalau besar nanti aku ingin menjadi seperti Papamu, doakan ya." Rasha tersenyum lalu meringis karena merasakan sakit pada gusinya.

"Karena kamu menerima bunga itu, berarti sekarang kita—"

Aqila yang sedang duduk tersentak pelan saat melihat sebuah buku berwarna pink diangsurkan seseorang di depannya. Lamunannya tentang masa kecilnya dengan Rasha lenyap seketika bagai kabut disesap angin kencang.

Aqila mendongak, ia terdiam cukup lama setelah mendapati figur yang mengangsurkan buku itu. Sejenak ia terbayang, wajah Rasha saat mengulurkan bunga untuknya. Tapi paras mereka sangat jauh berbeda. Ketika ia mengintip Rasha diam-diam, anak laki-laki itu tersenyum. Apalagi kalau terang-terangan, senyum Rasha semakin lebar. Dan ia akan berkata, "Mau main sama aku?" sejurus dengan itu Aqila langsung manarik kepalanya untuk bersembunyi atau lari ke dalam rumah.

Sedangkan Dokter Alvino, dilihat dari sisi mana saja, garis wajahnya tetap sama. Kaku. Bahkan lebih kaku daripada kanebo yang dijemur 3 hari 3 malam.

Andai Dokter Dicky tidak berdeham, Aqila lupa kalau sudah menatap Dokter Alvino melebihi batas normal. Anehnya, Dokter Alvino juga menatap Aqila dengan tatapan yang sama. Tapi entah, apa yang ada di pikirannya.

"Ini buku kamu, terbawa saudara saya ketika seminar kegawatdaruratan. Saya minta maaf karena sudah membuka dan membacanya," jelasnya tanpa basa-basi. Aqila mengambil buku itu. "15 menit lagi ada operasi, temui Dokter Nami apakah premedikasi sudah selesai."

"I-iya dokter, terima kasih."

Dokter Alvino berjalan keluar ruangan. Sedangkan Aqila masih bingung dengan apa yang terjadi. Ia lekas membuka buku itu menyusuri halaman demi halaman kemudian memeluknya dengan erat. Merasa malu sendiri. Ia mengentakkan kaki seperti anak-anak dan menggerutu frustasi sebelum akhirnya teringat tugasnya.

***

Selesai operasi Alvino menyempatkan diri untuk menjenguk Bu Yanti. Ia membawa bubur ayam dan sekeranjang buah. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar Bu Yanti sedang membimbing seseorang membaca surat An-Nisa ayat 41. Ia tahu suara itu pasti milik Aqila. Setelah menyempurnakan bacaan hingga ayat 45, terdengar keduanya menutup bacaan mereka. Ya, Alvino masih tak ingin menganggu mereka.

"Alhamdulillah, terima kasih bu sudah meluangkan waktunya mengajari saya membaca Al-Qur'an," kata Aqila berbinar-binar dan tersenyum bahagia. Jujur saja, ia selalu memimpikan suasana seperti ini ia habiskan dengan ibunya. Tapi apakah itu akan terjadi?

"Sama-sama, terima kasih juga Aqila sudah meluangkan waktunya menemani ibu," kata Bu Yanti, matanya berkaca-kaca, Aqila mendekat membiarkan tangan Bu Yanti merengkuhnya.

"Setiap kali melihat ibu saya teringat ibu saya, sehari saja saya tidak melihat ibu rasanya seperti satu minggu."

"Ibumu di mana nak?"

Tomorrow Beside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang