14: Cantilever Bridge

1.5K 93 15
                                    


"Aku ingin belajar ketulusan dari cantilever bridge yang terus berjuang untuk bertahan meski kutahu kamu tidak."

***

Kamila tidak ada di mana-mana. Lenyap tanpa ada berita. Hukum satu hilang semua salah pun berlaku. Dokter Meli mendumel itu hal biasa, tapi hilangnya Kamila benar-benar tidak biasa. Ada apa dengannya? Mau cari masalah dengan Dokter Meli kah? Padahal anak itu paling semangat menyelesaikan requirements.

Setelah berpencar dan berkeliling, akhirnya Aqila jua yang beruntung. Figur seorang perempuan dengan rambut hitam terurai indah melingkupi jas putih, sedang duduk termenung di tengah-tengah taman rumah sakit. Cukup dengan kilasan mata Aqila dapat mengenalinya. Kamila Anandita Prasetya. Satu-satunya putri dari Keluarga Prasetya. Salah satu keluarga yang masuk dalam jajaran keluarga terkaya dengan aset kekayaan triliunan rupiah. Ayahnya seorang pengusaha sukses dengan cabang perusahaan yang telah menyebar ke seluruh penjuru Nusantara. Ibunya seorang dokter kecantikan di Jakarta. Kedua kakak laki-lakinya adalah seorang CEO di perusahaan besar nan ternama. Adik laki-lakinya sedang menempuh pendidikan di luar negeri.

Meski begitu, Kamila diajarkan untuk hidup mandiri dan tidak menghambur-hamburkan uang. Uang bulanannya dipotong agar Kamila belajar memanage keuangan dengan baik. Sebab harta adalah ujian. Tak pandai memanfaatkan maka sang empulah yang dimanfaatkan syetan. Itulah yang sering dinasehatkan sang ayah.

Jika diperhatikan dengan jeli, bahu Kamila terlihat gemetar. Kadang-kadang tangannya bergerak menyeka wajah. Aqila mempercepat langkah, samar-samar terdengar sesegukan. Kian dekat terdengar isakan. Ketika tepat berada di belakangnya, Aqila sadar ternyata suara itu adalah tangisan. Sangat pilu dan menyesakkan.

"Mil?" sapa Aqila dengan penuh kecemasan. Lantas, sahabatnya itu menoleh dan sontak memeluknya.

"La." Tangisnya yang tadi pelan kembali menyeruak seketika. Seolah telah mendapatkan waduk kering yang siap diguyur air mata.

Aqila mengelus-elus pundaknya, menenangkan. Ia benar-benar bingung. Tidak biasanya Kamila menangis seperti ini bahkan jika mendapat amukan dari Dokter Meli atau Profesor Andra. Atau uang jajannya dikorting atau mengerjakan tugas yang tidak berperikekoasan. Setidaknya beberapa hal itulah yang biasanya sangat sensitif untuk Kamila. Yang jelas Kamila tidak pernah menangis sehebat itu sepanjang ingatan Aqila. Selama kurang lebih 7 tahun mengikat tali persahabatan.

"Nyebut Mil, nyebut, istighfar. Ada apa Mil? Kenapa? Jangan buat aku takut."

Kamila melafazkan istighfar dengan terbata-bata. Setelah tiga kali diulang, ia mulai bisa meredam tangisnya.

"Dokter Romi, La..." ucapnya terbata karena disela segukan dalam.

"Pelan-pelan aja ceritanya," ujar Aqila semakin cemas. Tak tega melihat sahabatnya itu begitu tersiksa dengan tangisnya sendiri. Demi mengeluarkan suara Kamila bahkan lupa mengambil napas.

"Dokter Romi, La..." ulangnya. Kini tangannya bergerak memukul-mukul dada. Mungkin agar lajur napasnya lancar. Pun tangan Aqila tak reda mengelus-elus pundaknya. Biasanya Kamila merasa nyaman apabila diperlakukan seperti itu. Apabila sedang menangis, tangisnya mereda. Apabila gundah, gundahnya berkurang. Tapi sepertinya kali ini tidak berpengaruh sedikit pun.

Aqila tidak ingin mendesak Kamila. "Nggak apa-apa, Mil, nanti aja ceritanya."

"Dokter Romi nikah sama Dokter Nami, La," ujarnya susah payah. Sepertinya kalimat itu tadi yang mencekik tenggorokannya.

Aqila terkesiap. Ternyata berita itu yang telah membinasakan semangat Kamila dalam sekejap. Cepat-cepat Aqila memeluk Kamila. Memberinya sedikit kekuatan.

Tomorrow Beside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang