19: Manifestasi Penyakit Cinta

1.3K 85 6
                                    

"Tadi gue sama Vino makan siang bareng koas," ungkap Dicky.

"Siapa Ky?"

"Inggrid sama Aqila,"jawab Dicky, Romi seketika menegakkan tubuhnya dari sandaran sofa.

"Kok bisa Ky?" Romi dan Dicky mulai ngerumpi. Kebetulan ruang SMF sedang sepi, hanya ada mereka bertiga. Alvino sedang menyandarkan tubuhnya di sofa dengan mata terpejam. Tidak terusik dengan kegaduhan dua sahabatnya.

"Penuh soalnya, gue suruh aja makan di meja gue sama Vino."

"Emang mereka nggak segan makan sama kalian? Apalagi si Aqila itu orangnya pemalu."

"Inggrid biasa aja sih. Yang lucu itu, si Aqila tersedak sampai wajahnya merah kayak tomat."

Romi tidak bisa menahan gelak tawanya. "Gimana caranya Ky bisa tersedak sampai segitunya?"

"Kesedak cabai rawit," jawab Dicky sambil melirik Alvino yang tertidur damai di sebelahnya. Melihat Alvino tidak terganggu, ia melanjutkan perbincangan dengan serius, "Jujur aja, gue salut sama dia, walaupun putri seorang Dekan dia nggak pernah menunjukkannya. Beda banget sama zaman kita, di mana putra-putri supervisor mendapat pengecualian dan diistimewakan."

"Iya, malah Profesor Ibrahim pernah pesan sama gue buat membimbingnya dengan keras. Kalau salah marahin aja katanya agar Aqila berpikir 10 kali untuk mengulanginya. Ternyata anaknya emang agak teledor, tapi nggak enak juga gue marahin terus. Dia udah dewasa, pasti sudah bisa berpikir dengan matang," timpal Romi merangkai beberapa keping ingatannya.

"Orangnya juga gigih buat nyelesaiin requirements, di antara teman kelompoknya Aqila adalah anak yang paling rajin. Ringga aja kalah Ky. Cengeng juga tu cowok, gue pernah liat dia nangis abis di panggil Dokter Meli."

Dicky terkekeh pelan. "Kayak lu nggak pernah nangis aja, Rom," ejeknya. "Tapi anaknya emang rada cengeng sih, bingung juga gue padahal badan jauh lebih besar dia daripada gue."

Romi tergelak. "Sejauh ini gue belom nemu korelasi antara ukuran tubuh sama cengengnya seseorang."

"Bangkai, ingat bangkai," desis Alvino masih dengan mata terpejam. Kalau tidak diingatkan perbincangan Dicky dan Romi bisa merambat kemana-mana. Mendengar Alvino beraksioma, Dicky dan Romi langsung mendengus.

"Ohya, kita makan di mana malam ini?" Dicky mengganti topik pembicaraan. Setiap weekend mereka bertiga memang terbiasa makan di luar.

"Ada restoran baru di dekat komplek rumah gue, katanya sih enak. Mau ke sana?" ujar Romi setelah menyesap tehnya.

"Boleh Rom," sahut Dicky setelah mengecek ponselnya dan memasukannya ke kantung celana. "Lo gimana, Vin?"

"Hm," jawabnya sambil menangguk dengan mata terpejam. Romi dan Dicky masih berbincang sambil menunggu Nami—istri Romi—selesai dengan tugasnya. Dering ponsel Alvino menginterupsi.

"Vin, Ummi sakit," kalimat yang ucapkan Alvero itu membuat kantuk Alvino lenyap seketika. Ia bangkit, mengambil tas dan jaket yang ada di mejanya. Romi dan Dicky hanya menatap bingung. Alvino itu memang susah ditebak.

"Maaf gue nggak bisa ikut, wassalamu'alaikum," katanya sebelum hilang ditelan pintu. "Wa'alaikumussalam," kata Romi dan Dicky bersamaan dengan nada datar karena bingung. Romi menatap Dicky penuh tanya, yang ditatap hanya mengedikkan bahu sebagai jawabannya.

Alvino memacu mobilnya lebih cepat. Kegiatan sepenting apapun jika ibunya memintanya untuk pulang, Alvino akan meninggalkan segala aktivitasnya kecuali ia di tengah operasi. Setelah ayahnya meninggal, ibunya harus bekerja keras untuk membesarkan ketiga putra kembarnya. Demi menyekolahkan ketiga anaknya, Ummi Khadijah menjual rumahnya yang penuh kenangan dengan sang suami. Meskipun mereka bertiga memberikan harta sebanyak gunung, jasa dan pengorbanan ibu tidak akan terbayar.

Tomorrow Beside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang