Home

431 65 10
                                    

"Neng Lanaaaa!! Ya Alloh.. kirain gak pulang" Bi Asih setengah berteriak.

"Asiiiih kunaon sih maneh gegerowokan wae.. tos wengi iyeu teeeh!!!" Kata Mamah dari lantai atas.

"Iyeu Bu. Aya tamu."

"Siapa ih? Udah hampir tengah malam begini?"

"Yaaa kalau gak boleh bertamu sih Lana balik lagi aja deh!! Hehehe" ledekku.

"Astaghfirullohaladziiiim... Neeeng!!! Durhaka maneh ih ka kolot, uih teu bebeja!!!"

"Tuh, salah lagiii.. Pulang salah.. Gak pulang salah!!"

"Ya ngomong makanyaa kan Mamah bisa jemput, masakin apaan gitu.. Kamu mah ih!!"

Hehehe.. Itulah yang membuat aku gak mau bilang-bilang kalau mau pulang, Mamah pasti repot nyiapin ini itu. Ya namanya seorang Ibu pasti begitu ya, biarpun anaknya udah gede juga pasti tetap heboh repot ngurusin anak.

"Maaaah... Mamaaaah.. Iyeu aya watsap dari Si Rian, nanyain Lana udah Landing apa belum, emang Si Lana uih kitu?" Suara Papah di kamar terdengar sampai ke bawah.

"Enggak, Pah..  Besok baru pulangnya!" Teriakku.

"Astaghfirulloooooh!!!"

Kemudian terdengar suara langkah Papa yang berisik itu.

"Lanaaaa!!! Kamu ya!!" Papah menjitak kepalaku pelan lalu memelukku erat sekali.

"Hehehe. Lana kan udah besar Pah.. Bisa pulang sendiri.. Yang penting sekarang Lana udah sampai.. Hehehe."

"Haduh.. Udah-udah.. Kangen-kangenannya pas sahur aja.. Kasihan ini anak Mamah biar istirahat dulu."

Akhirnya aku terpaksa menyudahi sesi kangen-kangenan kami, ya sudah lewat tengah malam waktu Jakarta sedangkan kami harus bangun lagi untuk sahur nanti. Kasihan mereka pasti sudah mengantuk berat.

Kembali lagi ke kamarku.. Kamar yang lama tak ku tempati tapi tak juga berubah sejak ku tinggali. Kamar ini menjadi saksi malam-malam penuh tangis saat aku berpisah dengan Rian, keputusan yang aku sesali saat itu karena tiba-tiba saja aku mendengar dia menikah dengan Nanda. Tangisku pecah di sudut kamar ini saat A Dennis memberi tahu kabar itu.

A Dennis tak bisa mengatakan Rian salah, seluruh keluargaku pun tidak. Karena kenyataannya aku yang menolak untuk segera menikah dan Rian menikah setelah aku memutuskan berpisah dengannya, dan mereka tahu persis bahwa Rian tidak pernah menjalin hubungan dengan Nanda di belakangku.

"Kan Neng yang gak mau menikah, Rian kan sudah bilang kalau dia harus menikah sebelum dia melanjutkan sekolah lagi. Menurut Aa ya Rian gak salah, Neng juga gak salah. Makanya keputusan kan sudah Neng ambil, Neng harus rela kalau Rian akhirnya memutuskan menerima perjodohan itu."

Itu kata-kata A Dennis yang membuatku akhirnya sadar bahwa ini semua bukan salah Rian dan memang aku halus merelakan Rian dimiliki orang lain. Maka saat Papah akhirnya menawariku kuliah lagi, aku langsung menjawab iya tanpa pikir panjang. Dan ternyata malah berujung kembali bertemu Rian, sehingga kisah kami seolah dimulai kembali, atau memang sebenarnya tak pernah berakhir? Entahlah...

Aku mengedarkan pandangan mataku ke sekeliling kamar dan memandang ada satu tambahan foto di kamar ini. Foto keberangkatanku ke Wellington. Hampir seluruh keluargaku dan ditambah Teh Ina, calon istri A Dennis, ada di situ. Di foto itu, aku bahkan seolah sudah tak ada jiwa lagi, kosong. Tapi benar kata Teh Tika kalau waktu akan menyembuhkan lukaku. Ya, memang sembuh, tapi kini seolah terbuka lebar lagi.

Perlahan air mataku mulai menetes lagi... Memori itu kembali lagi menyiksaku..

🍁🍁🍁🍁

WellyLoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang