fourteenth

1.8K 244 67
                                    

Dewa tersenyum ramah untuk pertama kalinya dihadapan Bima, dia tersenyum dengan sangat lebar.

"Bim, makasih lo udah jadi prajurit gue".

Bima mengerutkan keningnya dalam, dia tidak mengerti untuk apa ucapan termakasih itu, "Lo bilang apa sih? Jangan ganggu gue dulu, deh. Gue lagi nyiapin baju buat ke kondangan".

Dewa tersenyum tipis, "Makasih, Gue sayang lo".

Bima menghentikan geraknya, dia berbalik dan menatap mata coklat Dewa, mencoba merekam senyum merekah diwajah hantu satu itu, "Gue,," Dia kehabisan kata-katanya sendiri.

Sedangkan Dewa, dia tidak berhenti tersenyum. "Bim, apapun yang terjadi nanti, gue mau lu tau, gue sayang ama lo, lo adek yang baik buat gue".

Airmata bima jatuh, dia ingin menangis sekarang, karena perkataan Dewa, "Lo bakal nemuin abang lo setelah ini, Sayangin dia, seperti gue sayang sama abang gue, jaga dia dan jangan tinggalin selangkahpun dari sisi dia".

Bima tidak memiliki niat menjawab, dia hanya sanggup mendengarkan, bahkan dia terlalu malas mengerti apa yang Dewa katakan.

"Gue pamit, makasih untuk keikhlasan lo, untuk pertolongan lo, dan untuk semua yang udah lo kasih ke gue, gue pamit Bim".

Bima ingin melarang, tapi bukankah dia sudah mengikhlaskan?.

Bima mengangguk sebagai jawaban iya, bahkan setelahnya dia tidak bisa bergerak lagi, dia hanya menikmati sensasi dingin ketika Dewa merengkuh tubuhnya.

"Makasih banyak, sekali lagi makasih. Gue sayang lo, Dek".

Bima menangis, dia terisak keras. Dia ingin merengkuh tubuh sedingin es ini, tubuh tak kasat mata ini, tapi dia tak sanggup.

"Bahagia ya! Bye".

Dan Dewa benar-benar menghilang, bersamaan dengan tubuh Bima yang tertarik ke lantai, dia terisak keras, satu ruang dalam hatinya mendadak kosong.

Dia kesakitan dalam hatinya, dia merasa bahwa tuhan membawa kebahagiaannya.

Dia mulai mengingat wajah putih pucat yang berjalan dibelakang dokter Ben, sosok yang memainkan pulpen dimejanya, yang datang secara tiba-tiba dan kini menghilang secara tiba-tiba.

Tepat dihari pernikahan Ben, tepat dimana Dokter itu tersenyum lebar, Bima harus menangis keras karena temannya, sahabatnya, abangnya pergi meninggalkannya.

Nyatanya, Bima tidak bisa langsung mengikhlaskan Dewa. Dia terus menyebut nama itu, memintanya untuk kembali.

Tapi dia tahu, dia tidak boleh egois.
🍁🍁🍁

Ibu Dewa menjemputnya, mengatakan bahwa putra Ibunya itu hari ini menikah, "Ibu mau kamu ketemu ama abang kamu" Ujarnya sambil tersenyum.

Bima tidak menyahut, dia terpaksa membatalkan datang ke acara pernikahan Dokter Ben.

Bima tidak fokus, bahkan sampai Ibunya menyeretnya ke dalam sebuah hotel bintang lima, dia baru sadar satu hal ketika melihat prewedding terpasang dipintu aula.

Bima menjatuhkan airmatanya lagi kali ini, udara seolah menolak masuk ke paru-parunya, dia sesak dengan apa yang dia lihat.

"Dokter Ben, abangnya Bima?".

Ibunya mengangguk canggung, "Maaf nak, ibu baru bilang. Ibu fikir, Abang kamu akan menolak kamu kalau dia tahu kamu adiknya, apalagi kamu mahasiswa yang dia bimbing, Ibu gak mau itu mempengaruhi nilai kamu".

Bima menatap ibunya tidak percaya, dia benar-benar tidak percaya, "ABANG DEWA ABANG AKU, DAN AKU BARU AJA DITINGGALKAN DIA, TANPA TAHU DIA ABANG AKU, BU!"

DeartháirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang