thirteenth

1.1K 211 27
                                    

Bima menghela nafas, dia kembali melirik ke arah Dewa, dari matanya dia bisa melihat Dewa mengangguk meyakinkannya, dan mulai bercerita tentang kenangan dia dengan Abang Ben.

Bima mendengarkannya dengan seksama, "Jaket ama Topi ini hadiah ulang tahun Dewa, sebelum dia divonis sakit kanker lagi, Dok".

Jantung Ben seolah berhenti berdetak mendengarnya, jawabannya benar, dia yang membelikan jaket dari brand fashion ternama America, Supreme.

Ben tidak mengangguk, dia melekatkan pandangannya pada Bima yang terdiam seolah mendengarkan seseorang berbicara.

Bima juga sesekali mengangguk sebelum kembali berbicara, "Dia pake ini waktu lari ke Singapore buat nonton festival Band Sama Lalice, disana dia kambuh, makanya dokter langsung bawa dia pulang"

Perih, entah mengingat kenangan-kenangan ditahun-tahun terakhir Dewa.

Bima terus mengingatkannya tentang kenangan tentang Dewa, tidak peduli dengan genangan air mata yang membendung di ujung matanya, mulai membentuk sungai kecil disisi hidung bangirnya.

"Cukup", Bima terdiam ketika mendengar intrupsi Ben, dia kemudian mendengar isakan dan melihat dokter itu mengusap air mata dipipinya pelan.

Ben bangkit, dia sudah tidak tahan mendengar semua ini, dia menyalahkan dirinya lagi, semua salahnya.

Salahnya membiarkan Dewa pergi, salahnya tidak bisa merelakan Dewa, hingga Dewa tersesat lagi di dunia ini.

Ben mengunci kamarnya, dia menenggelamkan wajahnya didalam bantal, dan dia mulai menangis dengan keras. Dia menyembunyikan jeritan hatinya di ceruk terdalam bantal, dia terjatuh kali ini, dan dia terjatuh terlalu dalam.
🍁🍁🍁

Bima menunduk, dia merasakan aura dingin mendekat, dia berbalik ke arah kanan, dimana Dewa tersenyum dan mencoba mengusap pundaknya, menciptakan aura dingin yang sangat kentara.

Bima menghela nafas dalam, "Maaf, kalau gue nyakitin abang lo".

Lalice menunduk, "Gak papa, gue ama Abang Dewa ngerti kok, kalau lo udah berusaha".

Bima tersenyum, dia sebenarnya berniat mengatakannya pada Dewa, tapi sepertinya Lalice fikir dia bicara padanya.

Dewa mengangguk, setuju denhan apa yang dikatakan oleh Lalice. "Thanks, Bim".

"Abang, Aku tau abang disini. Aku cuman mau bilang, aku kangen abang. Daddy dan Mommy juga, kita semua kangen Abang" Lalice menjatuhkan airmatanya ketika mengatakannya, dia menatap sebelah kanan Bima, dia yakin abangnya ada disana, mendengarkannya.

Bima menengok ke arah kanan, tempat Dewa duduk dan tengah tersenyum ketika mendengar pengakuan Lalice.

"Abang lo bilang, dia juga kangen lo! Dia seneng, lo udah jadian ama Raka".

Pipi Lalice seketika memerah, "Abang tau kalau aku pacaran ama dia?".

"Jelas abang tahu, lo bahkan udah sering nginep dirumah Raka, nemenin tanteu Rina" Bima mendengus mendengarkan Dewa yang menaikkan nada bicaranya.

"Abang lo tahu, lo nginep di rumah tanteu Rina, Ibunya Raka, kan?".

Lalice menunduk, yang dikatakan Bima benar, "Abang stalker" Ujarnya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya karena malu.

Bima dan Dewa mendengus bersama ketika melihat ekspresi malu Lalice.

"Adek gue, Bim" Tunjuknya pada Bima.

Entah apa yang dirasakan Bima, dia merasa cemburu akan perhatian Dewa pada Lalice.

'Andai lo abang gue, Wa' ujarnya dalam hatinya terdalam.

DeartháirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang