eight

2.2K 269 174
                                    

Bahagianya Bima mendapat ijin untuk balik ke Jakarta. Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat dengan Dewa. Yaa, Americano Coffee double shot, kini si setan tengil itu sudah duduk disamping Bima. Dia akan menemaninya sepanjang perjalanan Bogor-Jakarta. Mereka berangkat setelah Subuh. Bima hanya mampir ke minimarket di sebelah apartemennya untuk membeli roti untuk sarapan dan susu kemasan kotak rasa coklat dan sebotol air mineral.

“Hish, kek bocah aja minum susu”, Dewa memulai aksi mengejek Bima.

“Bodo, daripada perut kosong diisi kopi, bisa perih nih perut”, Bima mengelak.

“Lahhh itu roti buat apaan? Kan buat isiin itu perut!” Dewa tak ingin mengalah dengan apa yang dia sampaikan.

“Hmm, sesuka lo ae laahhh! Perut gua ini, lo mah kan enak gak usah makan”.

“Jadi hantu deh looo sini nemenin gue biar ga usah mikirin itu perut”.

Bima lebih memilih diam tak meneruskan perdebatan soal perut dan isinya itu. Dia lebih fokus pada kendaraan yang berada di kanan dan kirinya. Seharusnya dia langsung saja berangkat setelah mendapat ijin dari Ben, jika tak ingin berdesakan dengan kendaraan-kendaraan yang berjubel untuk mengantar anak sekolah.

***

Perjalanan Bogor-Jakarta bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam tanpa macet. Sialnya begitu keluar dari area Bogor mobilnya dihadang macet yang tidak dia ketahui penyebabnya. Antrian kendaraan mengular begitu panjang, dan tak terlihat apa yang terjadi didepan sana. Bima mendengus kesal, Dewa apalagi dia sudah tak tahan berlama-lama di dalam mobil.

“Pak, pak, ini macetnya kenapa yaa? Kok sampai panjang begini antriannya?” Bima melongokkan kepalanya ke samping kanan ketika ada bapak-bapak tengah baya menuntun motornya yang kehabisan bensin.

“Itu mas, di depan ada bus penumpang yang terbakar. Kasihan mas, banyak korbannya. Pintunya macet ga bisa dibuka,”

“Hmm, masih jauh pak tempat kejadiannya?” Bima penasaran

“Ohh, itu setelah tikungan depan sudah terlihat mas, maaf mas, saya permisi dulu kehabisan bensin ini.”

“Ahh, yaa. Terimakasih pak.” Si bapak berlalu setelah Bima mengucapkan terimakasih.

Kendaraan yang padat itu perlahan terurai setelah petugas dari kepolisian Lakalantas dan DLLAJ turun tangan dan memberlakukan membuka tutup sisa lajur jalan yang bisa dilewati. Dari jarak 200 meter Dewa melihat Bima duduk tak tenang di balik kemudinya. Bima gelisah, sesekali menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan dengingan dan suara-suara yang masuk ditelinganya. Dia tak bisa tenang.

Jarak antara bangkai bus yang terbakar dengan mobilnya semakin dekat, sialnya saat dua mobil didepannya melaju, mobilnya justru dihadang oleh petugas karena dari kejauhan petugas Lakalantas sudah memberi aba-aba membuka jalur disana.

“Shit,” Bima mengumpat sambil memukul kemudinya. Keringat sudah mulai bercucuran. Bima mulai mendengar jeritan-jeritan dari arah bangkai bus yang terbakar. Dadanya naik turun tak beraturan. Ingin sekali kakinya itu menginjak pedal gas kuat-kuat dan pergi begitu saja. Bukan ingin mengabaikan, hanya saja jeritan itu mengganggunya, dan membuat konsentrasinya buyar.

Berkali-kali Bima mengerjapkan mata dan memejamkan matanya lebih kuat, untuk menghalau dan mengabaikan bayangan yang keluar masuk dari bangkai bus itu. Serombongan orang dengan kulit gosong, baju tak beraturan yang hangus di berbagai sisinya, bahkan  dia dikagetkan oleh sesosok yang berdiri  tiba-tiba di depan  mobilnya. Dan sedikit melirik ke arahnya.

“Bim, Bimaa,, nafas Bim, Bimaa!” suara Dewa menyadarkannya seketika.

“Astagfirullah, Astagfirullah, Astagfirullah,” Bima tersentak dan beristighfar berkali-kali untuk menghilangkan sesak dan paniknya.

DeartháirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang