Prologue

54 1 0
                                    

Gugusan kepulauan yang terbentang dari mata belati di barat (Sumatera) hingga burung cenderawasih di timur (daratan Papua) diselimuti gelombang biru mulai dari lautan harta (samudera Pasifik) juga arus ramah (samudera Hindia). Orang putih biasa menyebutnya 'Nusantara' yang dalam bahasa sanskerta sendiri diambil dari dua kata, 'nusa' yang berarti pulau dan 'antara' yang berarti diantara. Nama yang benar spesifik menunjukkan sebuah tempat yang juga dulu dikenal sebagai Atlantis, sebuah benua maha kaya yang menurut Plato dalam dialog sastra Timaeus telah tenggelam akibat kemajuan peradabannya sendiri. Para bangsa yang menghuni tempat itu disebut sebagai Pribumi. Nama itu pemberian para kaum kolonialis yang pernah singgah dengan senyuman menyeringai dari balik telapak tangan kasarnya. Bangsa yang hidup dari harta rampasan para Viking di lautan eropa yang terkenal penuh misteri. Tak tahu pasti para pribumi terhadap pola pikir para orang putih. Mengarungi raksasa gelombang (samudera) menjajah raksasa daratan (benua) demi mendapatkan secarik rempah-rempah. Toh, bagi pribumi sendiri tak masalah menjalin kerjasama selama tangan masih terbuka lebar. Dengan awal yang berbuah manis. Menghasilkan sari-sari tebu menjadi gula-gula yang manis lagi sedap dirasa. Lama merasa nikmat kini berubah menjadi penyakit diabetes yang bahkan menghabiskan setiap jengkal anggota tubuh. Mulai takabur dan pada kesempatannya muncul perspektif liar dalam benak. Awal dari perlawanan yang hanya akan jadi bahan skripsi mahasiswa S1 program studi sejarah maupun antropologi di setiap perguruan tinggi. Sebatas masa lalu yang hanya jadi kenangan. Mendekat pada masa reformasi dipimpin Ir. Soekarno "The Father of Change". Katanya dalam pidatonya yang menggemakan seluruh telingan pribumi di negeri ini, "JAS MERAH, JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN SEJARAH" dan kini hanya jadi bahan studi di sekolah-sekolah.

Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang telah banyak memakan perjuangan. Mulai dari zaman klasiknya hingga zaman milenialnya. Sedikit demi sedikit pembangunan yang melibatkan banyak pihak baik dari dalam dan luar negeri. Teknologi dan ilmu pengetahuan yang turut disangkutpautkan dalam pertumbuhannya dan dalam seribu tahun setelah tahun yang penuh guncangan diakibatkan pergantian kekuasaan. Indonesia kini menjadi sebuah negara maju yang kaya akan teknologi. Tak ada yang berarti, setiap pelosok negeri dihiasi ilmu pengetahuan yang membuatnya tak kalah saing dari Uni Emirat Arab−sayangnya. Kemacetan yang menjadi momok terberat kini s'lalu jadi dongeng pengantar tidur di telinga anak-anak bangsa. Ilmuwan-ilmuwan yang memang sejak dulu terlahir lemah kinipun tak memiliki peran yang begitu besar di mata publik. Entah kapan negeri ini akan berubah.

Tak penting di mata seorang remaja sekolah menengah atas yang tengah jatuh hati. Di usianya yang bahkan baru menginjak 17 tahun aka ABG sebagai ciri pubertas yang mulai tiba dan tak akan pernah pergi. Rasa ingin tahu yang tak akan bisa terbendung bahkan oleh pasal-pasal maupun ketetapan-ketetapan menciptakan maklumat tersendiri yang berbunyi "bahwa setiap remaja berhak merasakan jatuh cinta".

Ketetapan yang hanya akan berlaku untuk manusia normal yang terlahir sebagai penghuni planet yang disebut sebagai 'Bumi'. Seorang anak yang terlahir dari seorang raja yang terlahir serba sempurna bersama seorang ratu dari kalangan kelas bawah. Anak laki-laki yang berusaha menemukan arti hidup, arti cintanya. Melampaui batas-batas limit dan integral maupun trigonometri demi hidupnya yang terkekang bermacam ketidakpastian akibat masa lalunya yang kelam dan saat ia menemukan jawaban dari setiap cerita yang dikisahkan di setiap lagu ia tak pernah ingin berhenti, tapi menyelesaikannya.

***

Dunia itu lebih mirip seperti sebuah kertas. Sebuah kertas putih polos dengan banyak lipatan di setiap penjurunya. Sementara insan-insan yang yang hidup di dalamnya yang akan menggerakkan pena sontak mulai menulis bait demi bait kisah hidupnya masing-masing. Berbagai macam goresan dan coretan yang muncul menandakan kemajemukan yang semakin menyesakkan. Ya, menyesakkan. Bila para insan normal berkata, itu adalah hal biasa. Namun, dunia bukan hal yang dapat disimpulkan sesederhana itu. Dari sekian banyak goresan dan coretan itu, ada saja satu atau dua bentuk yang tak seharusnya ada bahkan tak diinginkan. Kemudian muncul pertanyaan. Bagaimana mereka muncul? Atau bagaimana mereka dilahirkan? Yang sebenarnya tak satupun yang dapat dimengerti setiap insan yang bahkan entah mengapa mereka dapat tercipta di dunia yang penuh itu. Mengetahui mengapa dapat terjadi seperti itu adalah hal yang dirasa tidak perlu. Toh, bila dirasa penting itupun hanya akan dilakukan oleh para elite global yang memainkan dunia yang sebegitu rumit ini.

Zikri, siswa biasa di salah satu instansi pendidikan terfavorit di daerahnya. Insan dengan kehidupan sempurna yang layak jadi bahan super panas perbincangan di kalangan siswi. Hidupnya yang seakan tak pernah diperuntukkan memikul beban hidup membuatnya menjadi seorang insan yang tampak begitu mudah diajak bercengkrama. Siapa yang tak menginginkan pria ideal sepertinya. Toh, bila ada mungkin ia hanya sesosok manusia salju yang bahkan tak dapat mengubah ekspresinya sendiri. Tapi pada kenyataannya itu benar-benar terjadi. Seorang gadis polos berkaca mata yang lebih tertarik dengan ilmu pengetahuan daripada mencari arti kehidupan, Alana. Satu-satunya gadis yang mampu membuat Zikri jatuh hati hingga rela memberikan seluruh yang dimiliki dalam hidupnya hanya demi sekadar mendapatkan tatapan polos wajah bundar Alana. Zikri memang pria yang lain dari yang lainnya. Yang menjadi tujuannya bukan sifat kemanusiaan normal yang haus akan perhatian. Tapi, sikap tak peduli dan konsisten terhadap tujuan yang tengah diemban. Setidaknya ini lebih baik daripada harus mendengarkan ocehan kaum GE−Globe Earth−dan FE−Flat Earth−yang masih saja berseteru memperdebatkan bentuk bumi yang bahkan tak pernah selesai semenjak masa klasik puluhan tahun yang telah berlalu. Kisahnya lebih sederhana. Hanya sebuah kisah remaja elit lagi unik yang dibumbui dengan bermacam rasa. Ini akan sangat menyenangkan bila dilanjutkan.

***

"Hey," Rey menepuk bahu Zikri yang tampak tengah melamun dengan mulut setengah menganga.

Zikri beralih menatap Rey yang masih asik dengan smartphone di tangannya. Jari-jarinya bergerak leluasa bak belut listrik yang tengah berenang melintasi arus sungai Amazon di pedalaman dengan sesekali mengalihkan pandangan ke jalanan granit yang sedari tadi di injaknya dan kadang memasang wajah frustasi plus senyum kecewa melihat hasil yang didapatkannya tak sesuai ekspektasi. Begitu kecewanya dimatikan smartphone yang s'lalu menemaninya kala bosan ke dalam saku kanan celananya. Duduk di sebelah Zikri yang memangku gitar tanpa memberi perlakuan khusus.

"Kenapa sih ngelamun terus?" Rey menepuk bahu Zikri.

"Kagak ada, rempong sih lu."

"Apa kata lu aja lah." Rey mengalah.

"Menurut lu, gua salah gak?"

"Salah apaan?"

"Eh, maaf salah ngomong." Sontak memainkan sebuah lagu klasik milik penyanyi Rinto Harahap, Ayah.

"Dimana akan kucari, aku menagis seorang diri, hatiku s'lalu ingin bertemu, untukmu aku bernyanyi−"

"Untuk ayah tercinta−" Rey menerobos.

"Tunggu, lu salah lagu Zik, seharusnya bukan buat ayah 'kan, tapi buat Alana." Rey menepuk bahu Zikri membuatnya tersedak bahkan hampir terjatuh.

"Ah, diem lu, belum selesai udah protes, ambil nih, gua males main gitar lagi." Diberikan gitarnya itu kemudian pergi tanpa sepatah katapun.

"Haduh, salah ngomong lagi, tunggu gua Zik." Sontak berdiri dan mengejar Zikri.

***

Paper & ScissorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang