Kisah 7 - Da Vinci

11 1 0
                                    

Berangsur mentari di ufuk timur mulai menampakkan eksistensinya hingga sepenggalah. Satu per satu dari mereka mulai memenuhi ruangan kelas. Zikri dan Rey yang tadinya tengah asyik memainkan smartphonenya kini sudah duduk dengan santainya di bangkunya yang kebetulan berada di belakang Yofa−gadis dengan wajah bulat yang biasanya s'lalu menggandeng Ziah−yang tengah asyik berbincang santai dengan Ziah. Zikri duduk di sebelah Fadil berseberangan dengan Lisa yang dihalau dua bangku milik Ziah dan Yofa. Bersandar di dekat jendela agar senantiasa memandangi ruang kelas X IS B yang nampak jelas. Alana yang duduk di baris kedua deretan pertama jadi tampak begitu jelas.

Lisa memandang ke arah Fadil yang tengah asyik memainkan i-phonenya. Matanya sesekali berdalih namun akhirnya tak dapat berpaling. Senyuman kecil dari bibirnya tak pernah sirna. Tubuhnya yang mungil menjadikannya begitu istimewa di antara teman-temannya. Wajahnya yang kadang memerah bila tengah marah. Tapi, akan sangat sulit bila sudah terlanjur marah. Bila wajahnya sudah memerah seperti tomat−muka tomat Kushina julukannya−maka tak ada lagi yang dapat membuatnya tenang. Bukan dalam artian akan mebuat masalah yang berarti. Tapi, coba bayangkan bagaiamana kalau burung pipit dengan suara indahnya tiba-tiba diam di tengah nyanyiannya, hening bukan. Itulah yang terjadi.

"Eh Lisa, jangan ngelamun terus dong. Fadil gak bakal kemana-mana kok." Ujar Elsi di sebelahnya memecahkan kesyahduan. Tersenyum mengejek.

"Ih, gak gitu juga ya El. Cuma kadang aja dia itu suka bikin aku kangen." Jawabnya.

"Iya deh." Elsi berpaling.

Lisa kembali memandangi Fadil. Entah ada angin atau memang hati mereka saling terhubung, Fadil meletakkan i-phonenya sontak turut menatap Lisa dan turut tersenyum.

"Kamu kenapa?" Tanyanya.

Lisa tersenyum kemudian berdalih.

"Mmm, gak ada kok. Cuma pengen liatin kamu aja." Katanya.

"Kalau mau liatin aku jangan sekarang ya. Malu diliatin temen sekelas." Katanya.

Situasinya tengah tepat sasaran dengan ujarnya. Teman sekelas mereka tengah diam memandangi keromantisan yang diciptakan, kecuali Rey yang sudah berlipat tangan memejamkan matanya di mejanya. Fauzan di sebelahnya memukul kepalanya yang oval tepat membuatnya bangun.

"Eh, maaf bu, saya ketiduran." Katanya.

"Eh, elu mimpi ya. Bu Muis belum datang." Katanya sedikit tertawa.

Pecah keheningan seisi lokal. Lisa dan Fadil yang tadi asyik berpandang-pandangan kini tertawa dan lupa poin utama dari yang sudah dilakukannya tadi. Semuanya terfokus pada Rey yang tertunduk memasang muka malu khasnya.

"Rey-rey, suka banget sih dibego-begoin." Ejek Zikri.

"Kagak usah komen lu, geb." Tukasnya.

Pukul 8.10 dan belum ada tanda-tanda kedatangan Bu Muis, guru Seni Budaya. Fadil yang mulai geram bangkit dari tempanya berlabuh sontak berjalan perlahan menuju muka pintu yang terbuka lebar di hadapannya. Salsa yang duduk di bangku paling depan menyapanya.

"Eh, gak usah di jemput. Mending kita ngegambar lagi aja. Jarang-jarang 'kan lokal kayak kita gini dapat jam kosong." Ujarnya.

"Ya gak bisa gitu dong. Kita kan udah bayar mahal-mahal buat sekolah di sini. Masa mau disia-siain gitu aja." Belanya.

"Iya, seperti kamu yang menyia-nyiakan aku." Ujar Erwi.

"Lah bocah ngapa yak." Tukas Olivia.

"Ih iya, bener kata Mak Eros tuh Fadil. Biarin aja Bu Muis tu, ntar juga datang sendiri. Mending kita nyanyi sekarang." Cetus Meylan.

Paper & ScissorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang