"Maaf. Maafkan aku," suara Rose terdengar nyaring. "Aku pembunuh, Jake."
Jake menarik napas dalam. Setelah mendengar pengakuan Rose, otaknya seakan-akan kebas. Tidak bisa berpikir jernih. Rose, wanita muda paling baik yang pernah ditemuinya ternyata pernah membunuh. Bahkan, orang yang ia bunuh adalah bibinya sendiri.
"Oh, Roseku yang malang," gumam Jake pelan, nyaris tak terdengar. Pria itu membayangkan ketakutan Rose akan sang bibi. Penderitaan gadis kecil itu ketika ia memohon-mohon demi makanan. Dan kebebasannya yang dibatasi hingga berjalan keluar rumah saja rasanya mewah.
Jake sama sekali tidak menyalahkan Rose. Jake tahu. Rose membunuh sang bibi secara tak sengaja. Rose kecil pasti tidak tahu kalau menutup pintu geser saat itu akan menyebabkan bibinya terjatuh dari tangga hingga berdarah dan tewas. Rose bahkan tak tahu kalau perbuatannya dapat menghilangkan nyawa seseorang.
Ya, ini semua ketidaksengajaan.
Walau pun Rose kesal dengan sang bibi yang selalu mabuk-mabukan; Takut pada wanita tua yang memukulnya jika keluar rumah; hingga mengendap-endap demi makanan, Rose masih terlalu kecil untuk memiliki perasaan semacam 'sang bibi juga harus merasakan penderitaanku'. Perasaan dendam yang harus dilunasi oleh sang bibi.
Jake tahu, Rose tidak pernah merencanakan pembunuhan. Rose sama sekali tak ada niat untuk membunuh. Bibinya hanya sedang tidak beruntung hari itu. Lagipula, bukankah semua orang akan mati?
Rose tidak bersalah.
Jake meyakinkan dirinya kalau Rose benar-benar tak bersalah. Pembunuhan tak sengaja yang pernah membunuh bibinya sama sekali bukan hal besar bagi Jake. Pria itu tetap mencintai Rose. Apapun yang terjadi. Karena Jake tahu, Rose bukanlah orang yang buruk.
...
Jake menimang-nimang kaset kedua setelah rekaman pertama tadi berakhir dengan kejutan. Sesuatu yang tak pernah Jake duga sama sekali. Sekarang, di tangan kanannya, sebuah benda persegi yang berisi tulisan angka dua tengah menanti.
Kejutan apa lagi yang akan disiapkan Rose?
Jake sama sekali tak tahu.
Berbekal rasa penasaran, Jake mulai mendengarkan kaset kedua. Pria dengan surai auburn acak-acakan itu tanpa sadar menahan napas sejenak, menantikan suara Rose denagn ceritanya yang sama sekali tak bisa dipercaya.
"Halo Jake." sapa Rose ringan. Entah ke mana perginya atmosfer tegang sebelumnya. Jake sama sekali tak tahu. Pengakuan pembunuhan Rose di akhir rekaman terdengar seperti mimpi, hingga Jake tanpa sadar mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya dan berharap bangun.
Sayangnya, semua ini nyata.
"Aku ingin mengakui semuanya, Honey. Aku tidak pernah mengatakan ini pada siapa pun. Tetapi, kau berbeda Jake. Aku benar-benar percaya padamu." Jake menelan ludah. Mengetahui Rose yang begitu memercayainya membuat Jake mau tersentuh.
"Ceritanya akan sedikit kupercepat, Jake. Setelah kematian bibiku, orang dari dinas sosial datang mengujungiku bersama sheriff. Aku tak tahu pasti apa saja yang mereka lakukan, tapi yang paling jelas adalah mereka memindahkan jasad bibiku. Kuharap ia mendapat pemakaman yang layak.
Selanjutnya, mereka menawariku untuk tinggal di panti asuhan yang tentu saja berada di luar Neverville. Mereka memberiku pilihan Jake. Harusnya, kuterima saja." Kekehan Rose membuat alis Jake mengernyit. "Tetapi aku menolaknya Jake. Tidak mau berada di tempat penuh anak-anak yang membuatku merasa kalau aku tidak pernah punya keluarga, begitu pikirku. Aku bilang kalau aku ingin tinggal di Neverville. Setelah seminggu, aku kembali ke rumah bibiku dan melupakan semuanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Neverville #ODOCTheWWG
Mistero / ThrillerApakah membunuh itu salah? Roseanne Lang tak pernah merasa bersalah setelah membunuh seseorang. Setidaknya, sebelum kekasihnya muncul dan membuat Rose lupa kalau ia bukan bagian dari orang 'baik'. Rose mulai kehabisan waktu. Pengakuan dimulai sement...