B: Befuddled

311 24 2
                                    

-Kyra-

___

Losing him was blue like I'd never known

Missing him was dark grey all alone

Forgetting him was like trying to know somebody you never met

But loving him was red

Loving him was red

Sedang enak-enaknya menancapkan earphone di telingaku, Max datang dengan muka sangat lesu. Dia menghempaskan bokongnya di bangku sebelahku, mengambil headphone kuning kesayangannya, memakainya, dan langsung mengabaikan dunia.

"Max. MAX! Elo kenapa?" kulepaskan headphone tanpa kabel itu dan menggoncangkan tubuhnya beberapa kali sebelum dia benar-benar menghadapku.

"What's wrong hah?" tanyaku lagi.

"I'm fine, Ra." jawabnya sambil berusaha mengambil kembali headphonenya. Tangannya berhasil kutangkis dan kujauhkan headphone itu dari hadapannya. Dia terlihat sedikit kesal, tetapi kubiarkan.

"How come you're fine?? There's definitely something going on in your mind. Tell me bro" cecarku lagi.

"Ra, please do not interrogate me right now. I'm a bit exhausted. I promise I will tell you later, okay?"

Meskipun biasanya dia memang sering sedikit cemberut ataupun pucat, tetapi kali ini beda. Aku merasakan moodnya sedang sangat jelek. Pasti ada sesuatu yang terjadi padanya. Aku harus menanyainya nanti saat istirahat.

Di sekolah yang memiliki logo AHS berwarna Cerulean Frost dan bertuliskan Atmosphere High School ini, aku mempunyai kubu sendiri. Aku berempat dengan Max, Clive, dan Santiago. Memang kubu kami tidak mempunyai nama, tetapi anggotanya pasti punya nama. Ya iyalah.

Max atau Emaxo adalah cowok diam yang terkesan dingin jika kalian pertama kali melihatnya. Tetapi setelah kalian mengenalnya dan dia sudah merasa nyaman denganmu, jangan harap dia bisa diam, karena ada saja yang ingin dia tanyakan atau sekedar omongkan. Max agak tertutup, dan kemanapun, dia pasti selalu bersama salah satu diantara kami. Nama Emaxo sangatlah unik—dan bagi sebagian orang itu susah diucapkan. Bodoh sekali mereka. Apa susahnya mengucapkan Emaxo? Jadi mereka dan kami memanggilnya dengan Max ataupun Maxie.

Lalu Clive, bocah jenius yang sangat supel. Hampir seluruh anak di sekolah kami dikenalnya. Clive sangat aktif di berbagai kegiatan. Sebenarnya Max juga, tetapi tidak sesering Clive. Beda dengan aku dan Santiago yang mustahil untuk dibilang aktif.

Santiago atau yang biasanya kupanggil Titi sebenarnya baik, tetapi mungkin cara berbicaranya terkadang sarkastik dan sombong—yang menyebabkan dia sedikit....dikucilkan. Dia kupanggil Titi karena dua hal. Yang pertama karena namanya yang terlalu panjang, jadi kuputuskan untuk mengambil nama tengahnya saja. Kedua, bahasa mandarin dari adik laki-laki adalah dìdì—yang dibaca titi, dan itu pas sekali, karena dialah yang termuda dari kami berempat.

Sedangkan aku, satu-satunya cewek di kubuku, tetapi tetap bisa membaur dengan orang lain. Aku tidak peduli dengan anggapan orang lain tentang kumpulanku yang mayoritas cowok, I am who I am.

Begitulah. Dengan keberbedaan kami masing-masing, kami masih bisa berteman bertahun-tahun. Yang terlama adalah Max, sejak bayi! Bayangkan saja melihat perubahan wajah dan tubuhnya setiap hari selama 15 tahun terakhir. Sedangkan Titi dan Clive, mereka baru kekenal saat menduduki pendidikan dasar.

___

Hari ini sangat membosankan. Pelajaran yang kuanggap tidak penting membuatku sangat mengantuk. Guru yang sangat garing, kelas yang sunyi, ditambah lagi Max yang super diam hari ini menambah rasa bosanku. Biasanya tidak pernah terasa sesunyi ini. Sehari-hari Max masih bisa bercanda ataupun sekedar membicarakan orang lain denganku.

Akhirnya jam istirahat tiba. Kami berdua turun dan langsung menuju kantin.

"Now tell me, what's up?" kami duduk berdua di pojok dekat taman. Tempat favoritku karena kita bisa merasakan hawa segar dan angin sepoi-sepoi dari sini.

"I dont know how to tell you but, my doctor told me that.."

" Hey, sorry I'm late." sela Clive yang mengagetkan Max.

"Lo ini, ganggu aja, continue Max" jawabku.

Max agak ragu mengatakannya. " dokter gue kemarin bilang, gue ada kemungkinan terkena GBS"

"Makanan apa tuh?" timpal Clive asal.

"Clive" bentakku yang langsung membuatnya bungkam. Dasar anak jahat, nggak bisa jaga perasaan apa? Max hanya tersenyum lesu mendengarkan.

"No Clive, itu adalah nama penyakit. Guillain–Barré syndrome. Gue bahkan baru kemarin mengetahui penyakit apa itu. Ternyata itu penyakit yang menyerang imunitas."

"But it isn't  dangerous right?" tanyaku khawatir. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk menimpanya. Meskipun aku aku salah satu anak yang menempuh jurusan yang kata sebagian orang itu susah alias ilmu pengetahuan alam atau IPA, aku belum pernah mendengar penyakit itu. Sepertinya itu langka. Semoga saja tidak membahayakan.

"Yea I'm fine. I promise." jawabnya pelan, menambah rasa curigaku.

Aku tidak mengerti mengapa dia tiba-tiba berkata "aku berjanji". Kan aku hanya menanyakan apakah itu bahaya atau tidak? Ah lupakan. Aku tidak melanjutkan bertanya karena bunyi bel yang sangat tidak merdu terdengar di telinga kami tanda istirahat telah selesai.

Dan esoknya, Clive tidak menampakkan batang hidungnya di sekolah ini.

___

Thanks again for keep reading LD!! Maaf agak pendek, still focusing on the ending. I promise the next chapters will be longer than this...Dont forget to vote, and I appreciate advices. So, just write it in the comment section. By the way, PENYAMARANKU TERUNGKAP!!! 2 of my friends already found it and....Im fine.... I'll keep continue it for sure. Next chapter in few days.

Last Dawn: find, hope, let go (Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang