G: Gaffe

197 18 4
                                    

-Santiago-

___

I'm coming home

I'm coming home

Tell the world I'm coming home

Let the rain wash away all the pain of yesterday

I know my kingdom awaits and they've forgiven my mistakes

I'm coming home, I'm coming home

Tell the world that I'm coming... home

Ngomong-ngomong tentang kembali pulang, Max akhirnya sudah kembali ke Jakarta. Aku diberitahu Clive yang menyempatkan diri menjemputnya. Dia juga mengajakku makan bersama Max, sekalian perpisahan karena dia akan segera melanjutkan studinya di negeri barat daya lautan pasifik itu. Aku senang sebenarnya dengan kedatangan Max. Kalian tahu, aku masih penasaran tentang pikirannya dulu yang sempat kubaca.

Baca pikiran? Aku pembaca pikiran?

Yes, I'm a mind reader. Aku baru menyadarinya setelah aku masuk ke sekolah menengah pertama. Dan memang aku mengetahuinya secara tidak sengaja. Aku kadang bingung dengan suara-suara yang tiba-tiba muncul dipikiranku. Kemudian aku tanya Papaku. Beliau bilang mungkin aku mendapat turunan dari Bibi Shadelle, Kakak Ayahku. Bibi Shadelle orang yang sangat baik, dan aku memang tahu kalau dia seorang pembaca pikiran. Dia mendapat turunan dari Pamannya, dan dia pernah berkata bahwa pasti ada minimal satu orang per generasi yang mendapat anugerah itu. Entah dimana dia sekarang. Terakhir Papa bilang dia ikut Paman Denver—suaminya—ke Filipina, dan sampai sekarang  aku belum pernah menjumpainya lagi.

Kemampuanku ini memang kusembunyikan. Belum ada yang tahu selain aku sendiri, dan Papaku tentu saja. Tetapi dia sudah tidak ada, jadi hanya akulah yang resmi tahu di bumi ini. Tentu saja aku menggunakannya dengan baik. Jangan kalian pikir setiap pembaca pikiran itu berkelakuan negatif.

Aku tidak menggunakannya untuk memeras orang seperti para pembaca pikiran lainnya. Aku tidak menggunakannya untuk mencontek. Aku tidak menggunakannya untuk mengetahui sesuatu yang aku tidak boleh tahu.

Aku sebenarnya pusing dengan talentaku ini. Bagaimana tidak pusing, setiap dekat dengan orang selalu ada suara-suara yang melintas di kepalaku. Aku dulu merasa sangat terganggu. Tetapi lama kelamaan, aku dapat mengontrolnya dan bahkan menikmatinya.

Kembali ke Max, aku sempat tidak sengaja mendengar isi pikirannya. Dulu sewaktu masih di SMA, kami selalu makan berempat di kantin, bersama Clive dan Kyra. Saat itu Clive dan Kyra sedang membeli makanan. Max tampak kurang ceria hari itu. Aku tidak tahu kenapa. Minggu depan ada kamp, harusnya Max senang. Biasanya dia yang paling semangat kalalu ada acara-acara semacam itu.

'Moga-moga aja gue bisa sekelompok dengan Kyra, gue males banget kalau sekelompok sama Jewell.'

Aku kaget, tidak terlalu sih. Jewell memang menyebalkan. Kalau kalian mau tahu orang paling sombong dan suka pamer di sekolah, Jewell-lah orangnya. Kyra? Memang mereka berdua—Kyra dan Max—sudah dekat dari kecil, dan mereka lebih sering berdua daripada dengan kami berempat. Tapi aku tidak menyangka sama sekali. Kukira mereka hanya sahabatan.

'Gue bakalan ngedeketin si Kyra jika memang sekelompok. Ga akan gue biarin mereka ngambil quality time gue ama Kyra, terutama Titi ama Clive. Awas aja. Semoga Kyra bisa sama gue.'

Oke Max sialan banget. Sudah tahu aku sudah punya pacar, masih saja mencurigaiku.

'Gue juga gak doyan sama cewek aneh itu.' Kesalku dalam hati.

Dan, sekarang memang serius. Pasti ada sesuatu pada mereka. Apapun itu, aku harus cepat-cepat mengetahuinya.

Kyra dan Clive kembali, kulihat Max sedikit tersenyum dan sebelum dia berdiri, pikirannya terbaca lagi.

Last Dawn: find, hope, let go (Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang