E: Ebbtide

213 20 9
                                    

-Kyra-

___

I come to you now when I need you,

But why do I wait to come see you,

I always try to do this on my own

But I was wrong cause only with you can I move on.

Can I move on.

Move on? Seriously? Aku masih belum bisa. Kalian tahu betapa sedihnya aku ketika om Reeve berkata bahwa Max lumpuh. Entah sementara ataupun pernanen, tetap saja itu mengerikan. Max itu temanku, sahabatku, adikku. Max sempat mengirimkan pesan pada ku, Clive, dan Santiago. Mereka sama kagetnya denganku.

Begini isi pesannya.

'Hey guys, thanks kalian udah jauh-jauh dateng kesini cuma buat jenguk, thanks banget udah care sama gue. As you know, gue lumpuh. Gue emang udah sembuh, tapi efek GBS itu masih ada. Sialan banget kan ? Papi nyuruh gue terapi jalan disini, sekaligus kalau tiba-tiba penyakit gue kambuh lagi. Jadi terpaksa, mungkin gue bakal menghabiskan kelas duabelas gue disini. I'm so sorry guys, what else could I do? This is the best way that I can take. I hope you guys can appreciate it. I know it is hard, even for me, but please understand, alright? Thankyou so much, I love you guys.'

Malam itu aku tidak bisa tidur. Max berkata akan tinggal disana? Dengan kata lain kita akan jarang bertemu? Atau bahkan mungkin tidak bisa bertemu lagi?

Tiba-tiba ketukan pintu mengagetkanku. Aku hampir saja mengumpat. Siapa sih yang mengetuk kamarku malam-malam? Ayah dan Ibu biasanya sudah tidur. Kakak pasti masih keluyuran entah kemana. Kuangkat badanku dan melangkah gontai ke arah pintu, kubuka pintu, dan kalian tidak akan percaya siapa yang kutemui.

Laki-laki berpakaian full putih. Bukan hanya atasannya, celana, topi, dan sepatunya juga putih. Head to toe white deh pokoknya. Termasuk gigi dan tulangnya.

"MAXXX!!!" teriakku histeris. Bagaimana bisa dia disini. Bukankah dia masih di Singapura? Oh, kenapa banyak perban di kaki dan tangannya? Dan apa itu yang dipakainya? Itukah kruk?

Aku segera mendekati dan baru akan memeluknya, tetapi anehnya, dia menghindariku.

"Max, lo kenapa? I miss you, Max." Kataku agak emosi setelah pelukanku ditolak. Aku langsung menyesali kata-kataku. Spontan. Tanpa berpikir. I miss you. Mengapa aku berkata demikian? Oke aku memang merindukan Max, tetapi yang lain juga merindukannya bukan? Kenapa aku tidak menggunakan kata-kata yang lebih netral seperti 'we miss you' atau 'where have you been'? Menggunakan kata 'I miss you' dapat menimbulkan penafsiran-penafsiran miring darinya.

"Ra, I'll meet you soon. I just wanna say goodbye."

Lalu sedetik kemudian, sosok Max mulai menghilang, dan semakin menghilang.

"Maxie, don't leave me. Max!" Dan sosok Max akhirnya menghilang. Aku berlutut dan tak terasa air mataku keluar.

"Why Max? Kenapa lo gak ngasi gue kesempatan buat nanya? Elo udah ngilang bulan lalu, and I don't wanna lose you again." lirihku, berharap Max masih dapat mendengarnya.

Kuseka air mataku dengam cepat setelah sadar bahwa ini di depan kamar orangtuaku. Bagaimana jika mereka tiba-tiba keluar dan menemukan anak bungsunya ini menangis sendirian, di tengah malam.

Aku putuskan untuk kebawah sebentar untuk mengambil minum. Aku berdiri dan mulai melangkah. Sampai ditangga, aku merasa sedikit pusing. Entah kenapa aku melewatkan satu anak tangga yang mengakibatkan terpelesetnya seorang Kyra. Aku jatuh terguling-guling hingga lantai dasar. Entah berapa lama sampai aku benar-benar berhenti. Aku spontan berteriak sekencang-kencangnya.

Last Dawn: find, hope, let go (Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang