"Tian Shi, apakah Alwin bukan anak baik?"
Dong Sicheng as Alwin
Sebuah rumah kecil di pinggiran kota, dengan dinding tipis yang saling berhimpit dengan puluhan rumah lainnya dan jalan kecil yang kumuh. Sebuah memori masa kecil, dimana si bocah lelaki berlarian di sela-sela gang yang nyaris selalu becek. Bersama bocah-bocah lainnya, berlarian entah mengejar anak ayam di tanah atau layang-layang di udara, manapun yang terlihat berlari lebih kencang saja. Khas anak kecil yang menyukai tantangan.
Seusai pulang sekolah, rutinitas mengejar layangan atau anak ayam (kadang dikejar balik oleh si induk ayam) menjadi sesuatu yang tidak boleh absen di kehidupan sang bocah lelaki. Mau panas, apalagi hujan, mereka selalu bermain. Saat hujan, terkadang ia sengaja tidak pulang agar bisa hujan-hujanan dengan teman-temannya dan pulang kemudian sorenya dengan keadaan basah kuyup dan omelan sang Emak. Biar saja, toh kupingnya sudah kebal.
Sang bocah tidak peduli ia dimarahi seperti apapun oleh wanita yang ia panggil Emak itu. Tidak ada yang memarahi ia lagi selain Emak, dan kadang kakak perempuannya. Bapak entah kemana, sang bocah tidak pernah tahu. Kalau berani tanya, Emaknya akan memarahinya lagi, kadang langsung menyabet dengan sapu lidi. Entahlah apakah itu ekspresi benci ataukah rindu.
Sang bocah tidak pernah keberatan dengan ekspresi Emaknya yang manapun. Toh ia tetap sayang sama Emaknya. Meskipun terkadang ia jengah dengan teriakan Emaknya di tengah malam yang membuat si bocah kecil itu terbangun, mendengarkan adu suara antara Emak dan kakak perempuannya, yang entah mengapa seiring dengan usianya justru pulang semakin larut—entah buat apa. Si bocah tidak terlalu peduli meskipun cukup penasaran.
Udah, tidur. Besok sekolah.
Si bocah lelaki yang keling dan suka lari-lari di gang sempit itu telah menjelma menjadi pemuda dewasa. Sedang kuliah di salah satu universitas negeri terbaik di Indonesia. Biar jawabannya bisa sinkron dengan Si Doel, idola generasi baby boomers sejuta umat, ia mengambil jurusan Teknik Sipil ("Biar bisa jadi tukang insinyur!").
Namanya, Alwin.
Dan kebetulan juga, sang empunya nama sedang berlari-lari di kawasan kosan siang hari bolong itu. Siapapun yang melihatnya begitu tergopoh-gopoh mungkin akan menyangka bahwa si pemuda jangkung berkulit cerah itu sedang kebakaran jenggot—padahal boro-boro jenggot, kumis saja tidak punya.
Padahal siang itu cukup terik, para mahasiswa yang sedang tidak di kampus kebanyakan memilih berteduh di kosan masing-masing atau di warung-warung makan di sekitar kawasan kosan itu. Singkatnya, jalanan cukup sepi siang itu, sehingga huru-hara solo karir Alwin tidak banyak yang menyaksikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fragmen [NCT 2018]
NouvellesIni, tentang delapan belas rasa yang kelak menjadi asa. Ah, ataukah jelaga? Benar bahwa melodi adalah perajut rasa-- --tetapi lantas ia menjelma cerita. [Fragmen adalah tentang mereka yang ingin menemukan cinta. Bahkan pun cinta yang rusak, menjeda...