Cewek Idaman (bagian 1)

25 3 4
                                    

Sudah berminggu-minggu sejak anak sekolahan mulai masuk sekolah. Sedangkan bagi anak kuliahan, umumnya hari ini merupakan hari pertama masuk kuliah lagi dengan jadwal baru. Maka dapat dipastikan kosan akan menjadi sepi karena penghuninya sudah mulai beraktivitas seperti biasa.

Sekitar pukul 2 siang, Gilang duduk sendirian di halte dekat kampus, menunggu angkutan umum yang melewati tempat tinggalnya. Biasanya Gilang bawa motor, tapi motornya sedang dipinjam keluarganya di kampung halaman. Ya sudah, beberapa bulan ini ia habiskan berkeliling menggunakan angkutan umum. Syukur-syukur ada temannya yang mau ngasih tebengan.

Siang itu terasa sepi sekali. Gilang yang terpaksa pulang lebih cepat karena dosennya tidak hadir akhirnya mengeluarkan ponsel dan earphone supaya nggak bosan menunggu. Tidak lama kemudian seseorang duduk agak jauh darinya. Sepertinya sama-sama menunggu angkutan umum. Yah, Gilang nggak ambil pusing siapa orang itu. Dia hanya ingin cepat pulang dan tidur.

Hari ini sudah cukup melelahkan. Selain karena dosennya tidak hadir, pagi tadi Gilang terpaksa harus berhadapan dengan makhluk paling mengerikan sedunia di kamarnya. Kecoa terbang. Siapa yang nggak takut kecoa terbang?! Bagi Gilang, kecoa saja sudah mengerikan, apalagi yang terbang. Rasanya mau kabur ke Wakanda saja.

Biasanya kalau ada kecoa, Jefri atau Bintang yang jadi pahlawannya. Mereka nggak begitu takut, cuma agak geli, katanya. Tapi, pagi ini mereka berdua nggak ada. Efek perbedaan jurusan berpengaruh pada perbedaan jadwal. Dua-duanya sudah berangkat dari pukul 7 pagi. Gilang memang sedang sial. Rencananya untuk leha-leha sampai pukul 9 akhirnya harus tergantikan dengan upaya keras mengusir jauh-jauh kecoa dari kamarnya. Nggak usah diceritain detailnya, nanti kalian ilfeel sama Gilang.

Intinya, mood Gilang sudah jelek dari pagi. Lalu ditambah lagi dengan dosennya yang nggak hadir, padahal dia dan teman sekelasnya sudah duduk manis di ruang kelas. Alhasil uangnya terbuang sia-sia karena harus bayar ongkos bolak-balik tapi nggak dapat apa-apa.

Gilang menghela napas jengah. Rasanya hari ini apes sekali. Mana angkutannya nggak muncul-muncul. Kepalanya sudah celingukan mencari tanda-tanda kedatangan angkutan umum. Tapi nihil.

Mata Gilang tiba-tiba tertuju ke setitik benda yang ada di tiang halte. Feeling-nya mengatakan dia akan sial lagi. Karena Gilang sudah takut setengah mati, dia jadi lebih mudah mengidentifikasi keberadaan makhluk-kecil-yang-tidak-mau-ia-sebutkan-namanya di sekitarnya. Bahkan tiang itu berada pada radius 5 meter darinya.

Bulu kuduknya langsung meremang seketika. Merinding. Geli. Takut. Panik. Semuanya jadi satu. Gilang ingin kabur, tapi nggak berani mengalihkan pandangan, takutnya hewan itu tiba-tiba nemplok di punggungnya waktu balik badan. AMIT-AMIT WOI. Batin Gilang, menyanggah bayangannya sendiri. Jadilah dia malah diam mematung, memperhatikan pergerakan si mahluk kecil yang antenanya terlihat bergerak-gerak. Gilang nggak pernah punya pengalaman bagus dengan makhluk itu. Siapa juga yang punya.

Hampir 5 menit Gilang tidak merubah posisinya. Awalnya dia mulai yakin makhluk itu tidak akan bergerak dan dia bisa kabur. Tapi tragedi terjadi di dua detik selanjutnya. Seakan bisa membaca pikiran kalut Gilang, makhluk itu tiba-tiba terbang lurus ke arah Gilang. Tepat ke depan muka. Dalam bayangan Gilang, makhluk kecil itu pasti sedang tertawa setan.

Dalam sekejap Gilang langsung melompat jauh ke belakang sampai jatuh terduduk di lantai. Mukanya pucat pasi. Kecoa itu mendarat dua meter di depannya. Kalau nggak loncat, mungkin kecoa itu sudah mendarat di wajah Gilang.

Baru saja dia mau berteriak sambil bangkit untuk berlari (masa bodoh dengan image-nya), makhluk kecil itu sudah terhempas jauh ke tengah jalan dan kemudian hilang dari pandangannya. Kepalanya langsung terangkat memandang orang yang sudah menendang kecoa itu tepat pada waktunya. Pupil mata Gilang membesar. Orang yang barusan menyelamatkannya itu seorang perempuan. Cewek. Wanita. Betina.

Mata gadis itu melirik Gilang lewat sudut matanya, lantas mendecak. “Badan doang gede. Giliran ketemu kecoa terbang ciut.” Kemudian ia mengambil tasnya dan pergi dari halte tersebut. Mungkin malas juga lihat cowok ganteng tapi keder habis-habisan sama kecoa.

Tapi Gilang malah memperhatikan gadis itu sampai hilang dari pandangannya. Dia belum bisa bangkit dari kekagetannya, tapi batinnya berteriak keras, ANJIR KETEMU JUGA CEWEK IDAMAN GUA!

*

Beberapa hari setelahnya, Gilang kembali ke halte di jam yang sama. Hari-hari sebelumnya dia sempat datang beberapa kali dengan waktu yang sama, tapi meski sudah menunggu hampir dua jam, gadis yang ‘menyelamatkannya’ itu nggak ada. Padahal Gilang sudah membawa hadiah kecil-kecilan untuk ucapan terima kasih. Sekalian ingin mengajak gadis itu kenalan. Siapa tahu mereka bisa berteman. Siapa tahu juga bisa lebih dari teman. Yang penting usaha.

Matanya terus-terusan bergantian memandang layar ponsel dan sekitarnya. Kondisi halte kali ini cukup ramai. Bahkan tempat duduknya sudah penuh semua. Untung Gilang sempat dapat tempat duduk di paling ujung. Tapi kalau ramai begini dia juga merasa aman. Biasanya kecoa takut tempat ramai.

Sambil membayangkan apa yang akan ia katakan nanti, Gilang berusaha menahan cengiran karena dialog di kepalanya terdengar menggelikan. Ia pun melirik kantung plastik kecil di tangannya. Hadiah kecil-kecilan untuk si pahlawan. Cia.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, Gilang melihat gadis yang kemarin-kemarin menjadi pahlawannya itu sedang berjalan ke arah halte dengan ekspresi kecewa. Sepertinya dia kecewa karena tempat duduknya penuh. Cengiran di mulut Gilang semakin lebar, lantas ia berseru memanggil si gadis.

“Neng!” tangannya melambai, meminta gadis itu mendekat.

Dahi si gadis berkerut dalam. Kepalanya sempat celingukan mencari orang lain yang dipanggil oleh Gilang. Setelah memastikan memang dirinya yang dipanggil, gadis itu pun mendekat ragu-ragu. Setelah berada lebih dekat beberapa meter, barulah ia mengenali Gilang yang tampangnya memang agak sulit untuk dilupakan. Nggak mau munafik, tampangnya emang ganteng banget.

“Lo cowok yang takut kecoa waktu itu kan? Ngapain manggil-manggil?” Tanyanya dengan judes.

“Set, galak amat Neng. Sini sini, duduk sini.” Gilang berdiri dan langsung mendorong tubuh gadis itu untuk duduk dengan agak buru-buru. Takutnya ada yang nyalip tempat duduknya. Ia abaikan tatapan sirik orang-orang yang kepingin duduk juga.

Gilang menaruh kantung plastik di atas pangkuan si gadis. “Ini cemilan, biar nggak bosen nunggu. Anggep aja ucapan makasih buat yang waktu itu. Hati-hati di jalan nanti ya Neng.”

Belum sempat membuka mulut, Gilang sudah ngacir duluan lalu hilang di belokan. Si gadis mengerjap bingung sambil berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Semuanya terjadi begitu cepat.

Si gadis, dengan ragu-ragu, mengintip isi kantung plastik. Ternyata isinya makanan. Cilor, masih agak hangat pula. Memilih untuk membuang kebingungannya, dia pun memakan cilor tersebut. Lumayan buat ganjel, belom sempet makan siang sih.

Di tempat lain, Gilang yang sedang berjalan pulang (sambil menunggu angkutan umum lewat), tidak berhenti cengar-cengir kesenengan. Dia merasa sangat keren dan ganteng abis. Gila, gua gentle banget barusan! Batinnya berseru kegirangan. Tatapan heran dari orang pun tak ia pedulikan. Yang penting langkah pertamanya berjalan lancar. Petrus sihombing jakandor, Gil!

*

Bintang dan Jefri bertukar pandang, heran melihat Gilang cengengesan sambil main sama kucingnya. Dia memang suka cengengesan sih, tapi kali ini tawanya terdengar berbeda. Jefri mengedikkan kepalanya, menyuruh Bintang menginterogasi Gilang.

Bintang pun bergeser mendekati Gilang lalu menyenggol bahunya. “Gil, lu kenapa deh?”

“Hah? Gua kenapa emang?”

“Sadar gak lu dari tadi cengengesan kayak orang kesurupan?”

Bukannya menjawab atau apa, Gilang malah tertawa. Jefri menatap ngeri, Bintang bergerak mundur. “Gil?” panggil Bintang ragu-ragu.

“Kagak woi kagak! Gua kagak kesurupan elah kampret emang lu berdua.”

“Ya anjir gua nggak mau sekosan sama orang kesurupan. Mana udah malem.” Seru Jefri.

“Iye ntar gua kalo kesurupan gua pindah!” balas Gilang seenaknya. “Gua gini tuh ada alasannya.” Kemudian, dengan antusias ia menceritakan kejadian kecoa sampai pemberian cilok di halte tadi siang. Tak lupa ia menyelipkan tawa-tawa kecil di sela-sela ceritanya karena merasa terlalu excited.

Setelah ceritanya selesai, Bintang yang pertama kali memberi respons. “Tapi gua heran. Biasanya cewek-cewek nggak ada yang galak deh sama lu. Mereka pasrah-pasrah aja lu mau ngapain juga. Kok ini galak banget, terus pake ngatain.”

Jefri menyahut, “Ya paling dia ilfeel ngeliat si Agil badan gede tampang cowok abis tapi keder sama kecoa HAHAHAHAHA.”

Sama seperti tadi, bukannya marah atau apa, Gilang malah ikut tertawa. Ngakak banget malah.  “HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA.”

“…”

“…”

“… Kenapa gua ketawa ya.”

Detik berikutnya Bintang sudah menggeplak kepala Gilang. Biar eling.

Gang Meme 11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang