Nila

168 29 0
                                    




Derap langkah kaki kuda sayup-sayup terdengar dari hutan pinus yang rimbun. Seekor Kuda hitam kelelahan, nampak sesekali melambatkan larinya, tapi si penunggang tak ingin berhenti. Ia terus saja menyabetkan cemeti pada paha si kuda hitam.

Raut wajah tampan si penunggang terlihat resah dengan bibir yang terus menerus menggumamkan kalimat umpatan. Semakin lantang kata cela yang keluar semakin keras pula pukulannya pada hewan yang ia tunggangi.

Si kuda kemudian berhenti. Kaki-kakinya diam di tempat enggan menurut pada sang tuan. Mulut sikuda mulai lahap menyantap rerumputan di dekatnya yang nampak segar dengan embun yang membasahi permukaannya.

"Bodoh!" Si pemilik kuda mengerang frustasi kala mendapati kudanya tak mau bergerak seperti yang diinginkan. Tangisnya pecah seiring matahari yang mulai muncul di ufuk timur. Tangan si pemuda tampan masih saja memukuli bagian belakang kudanya, akan tetapi pukulan itu mulai melambat saat tangisnya makin terdengar kencang.

"Kau juga tak mau menolongku? Sama seperti mereka semua yang pasrah pada kutukan sialan itu?" Rancauan tak jelas yang entah tertuju pada siapa terdengar di heningnya pagi buta penuh embun di sebuah hutan pinus yang dingin.

...

Seorang pemuda bertubuh tinggi berjalan gelisah di depan gerbang istana, tubuh yang hanya berbalut piyama satin itu berjalan tak tentu arah, berjalan dari satu titik ke titik yang lain secara bergantian, terus menerus begitu tanpa kenal lelah. Pemuda itu bahkan menggigiti ujung kuku jari telunjuknya saking merasa resah.

Wajah dengan raut cemas itu baru bisa menghela napas lega setelah dari kejauhan nampak sesosok pemuda yang ia tunggu kedatangannya sedari tadi.

Pemuda itu berlari, menghampiri sosok yang berjalan lesu sembari menarik tali pengikat kudanya.

"Kapan kau akan berhenti melakukan hal bodoh ini?" Tanya si pemuda bertubuh tinggi.

"Anda telah mengetahui jawabannya, Yang Mulia."

"Kuharap kau berhenti sekarang.Tidak ada gunanya melakukan hal yang tak berarti.Kau mencari sesuatu yang tidak ada.Kumohon berhenti percaya pada omong kosong si peramal itu."

"Tidak bisa, Yang Mulai. Saya-"

"Berhenti memanggilku Yang Mulia!"

Sedetik kemudian pemuda yang lebih tinggi sadar ucapannya terlampau kencang setelah melihat raut wajah terkejut dari pemuda di hadapan. Tubuh pemuda yang lebih pendek kemudian direngkuh, masuk pada tubuh kurus yang memeluk sembari mengusap punggungnya, menyalurkan kehangatan.

"Maafkan aku, Jihoon.Aku hanya mengkhawatirkanmu." Nada bicara si pemuda tinggi kemudian melembut, sebuah kecupan juga ia tinggalkan di puncak kepala pemuda yang dipanggil Jihoon sebagai bukti permintaan maafnya yang tulus.

"Aku jauh lebih mengkhawatirkanmu, Lai Kuanlin." Jihoon meraih dua belah pipi pemuda yang lebih tinggi, mengusap pipi yang dingin itu dengan ibu jari. Rasa bersalah hinggap di benaknya kala melihat wajah pucat itu.

"Kau tak perlu melakukan apapun, cukup berada disampingku selamanya."Telapak tangan Jihoon yang ada dipipi Kuanlin diambil dan kemudian dikecup cukup lama.

"Tangan ini sudah bekerja keras. Bukankah aku harus memberikannya hadiah?" Hadiah yang dimaksud adalah kecupan. Kuanlin mengambil kedua tangan Jihoon, kemudian mencium dua punggung tangan itu hingga pipi Jihoon bersemu merah jambu.

"Bibir ini juga telah berkerja keras. Apakah anda berkenan memberinya hadiah juga, Yang Mulai?" Kalimat itu terdengar begitu menggoda bagi Kuanlin. Rona serupa musim semi yang muncul di wajah Jihoon membuat Kuanlin lupa akan rasa kesal dan gelisahnya tadi.

SAILENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang