Memberanikan Diri

1.2K 60 0
                                    

Kata-kata mama selalu menghantui pikiranku, hati berasa gelisah dan tidak menerima untuk mengundur-undur suatu amal baik itu. Selalu pikiran dan qalbu ku berkecamuk, kenapa harus setelah bersuami baru bisa dilaksanakan?

Semenjak itu, aku terus menggali ilmu seputar cadar, terus meyakinkan diri untuk bisa istiqomah, dan tak bosan-bosannya meminta Allah untuk meluluhkan hati kedua orang tua.

Cukup lama aku tidak membuka kembali pembahasan seputar cadar dengan mama, hingga aku tiba di pulau seberang, di tempat aku akan mendapati ilmu yang begitu banyak dan mengarungi nasib perantauan.

Menginjakkan kaki dilingkungan Jakarta semakin menuntut hati untuk segera menggunakan helaian kain itu, tapi apalah daya ku, restu mama masih belum aku dapatkan.

"Ka, kalo di kampus boleh pake cadar ga? " Tanya ku pada salah seorang senior di kampus melalui via chat whatsapp.

"Boleh dek, banyak kok di kampus yang pake cadar. Kamu bercadar ya?" Jawabnya

"Pengen ka, inshaa Allah."

"Oh yaudah gapapa, sok silahkan aja, semangat ya!" Tulisnya.

Aku lega, ternyata di kampus ku tidak ada larangan untuk menggunakan cadar, ini berarti tinggal menunggu ridho orang tua saja sehingga aku bisa menggunakannya dengan aman, damai, dan sentosa.

...........................................................

Pertama daftar ulang ke kampus sebagai seorang Mahasiswa Baru, aku gunakanlah cadar yang semalamnya baru ku beli melalui jasa ojek online.
(fyi : waktu itu aku tinggal di rumah saudara mama, sedangkan mama langsung kembali ke Padang setelah mengantarkan aku ke rumah saudaranya tersebut, jadi mama tidak mengetahui tentang keberanianku pertama kali menggunakan cadar meski tanpa izin beliau).

Pertama bercadar, aku merasakan nyaman dengan sangat. Aku juga merasa aman, karena tidak ada lirikan mata jahat yang tertuju padaku. Aku sejuk, damai didalam hatiku, walau seperti yang kita ketahui, suhu jakarta begitu menyengat.

Ada hal yang aku bingungkan ketika pertama menggunakan cadar di hari itu, membuatku menjadi malas untuk melakukan hal tersebut, yaitu "makan."

Aku kebingungan bagaimana cara menyuapkan makanan tersebut ke mulutku tanpa mengotori kain penutup wajahku. Lebih-lebih waktu itu aku memesan mie ayam dan cappucino oreo (kebayang ga ribetnya?), dan hal yang paling merugikan saat itu adalah "aku tidak dapat menghabiskan mie ayamnya, jadi cuma minum doang."

Tapi, aku benar-benar menikmati tahap per tahap perkembanganku dalam menghadapi helaian kain penutup wajahku ini.

.
.
.
.

*kringkringkring

"Assalamu'alaykum kak."
"Iya, wa'alaykumussalam ma."
"kaka lagi dimana?"
"di rumah tante, mah. Kenapa?"
"kaka bener pake cadar ke kampus tadi?" tanya mama dengan intonasi bicara yang cukup tinggi

Aku kaget, benar-benar kaget, darimana mama tau?

"Iya mah, pengen nyoba."
"kaka ga denger apa yang mama bilang? nanti aja kalo udah punya suami."
"tapi kaka pengennya sekarang, mah."

Mama diam, tak ada respon kata apapun, namun memberikan kode keraguannya terhadap keinginanku.

"nanti kalo wajahnya ditutup, gimana mau ketemu sama jodohnya." Sahut saudara mama yang langsung diiyakan oleh mama

"Jodoh kaka juga gabakal ketuker sama jodoh orang lain mah, kan udah ada ketetapannya." Jelas ku.

Terus saja mama dan saudara-saudaranya memberikan pertimbangan-pertimbangan yang sekiranya karena cadar tersebut dapat menghambat proses kehidupan yang aku jalani.

Aku pun terus menjelaskan pada mama tentang cadar ini, tapi tetap saja mama dengan pertimbangan dan kekhawatirannya.

Hijrahku Butuh Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang