bagian empat

3.3K 305 2
                                    

Ada rasa sakit yang diderita oleh Sasuke, sakit yang teramat dalam yang tak pernah bisa terobati. Mungkin menjadi orang yang dibenci oleh kekasihmu sendiri adalah hal yang tidak pernah terpikirkan dalam benakmu. Apalagi kau sebenarnya memiliki ikatan yang melebihi siapapun. Keita, adalah simpul dari ikatan itu. Namun, Kei, tidak pernah mengingatnya sebagai sosok ayah. Mata anak kecil itu terlanjur memandangnya sebagai pembunuh papanya. Inilah yang membuat semua serba sulit.

Neji dengan sempurna menjalankan perannya sebagai dinding penghalang untuknya masuk. Seperti sebuah perumpamaan, mencintainya itu menyakitkan tapi membencinya lebih menyakitkan lagi. Ia tak pernah bermaksud membenci Kei, tapi anak dihadapannya kini menatapnya dengan tatapan yang intimidatif.

"Kau, membenciku?!" Sasuke mengulang pertanyaannya, ada luapan rasa getir disana. Keita memincingkan mata, lalu menyeringai. "Papaku takkan mati dengan kesedihan jika kau tidak merebut kebahagiannya."

Dahi Sasuke berkerut, tatapan matanya bertanya, dan Kei cukup cerdas untuk menerjemahkannya. "Kau, merebut kasih sayang semua orang." Sasuke merasakan hatinya sakit.

"Aku menemukan ini di kamar Papaku." Lelaki raven itu menerima selembar foto. Hanya selembar yang bisa menjadikan dunianya menggelap. Foto itu hanya sebuah foto keluarga biasa, hanya coretan kecil dibawahnya yang membuat siapapun terenyuh. Tapi Sasuke lebih mengenal kakaknya, orang itu ahli mempengaruhi orang lain.

'Wahai harapan, ijinkan aku bahagia.'

***

Sasuke PoV

Di dunia ini, yang kusukai tidak banyak, dari sekian itu hanya tersisa tomat, Kau, dah keheningan. Tapi keheningan yang sekarang ini sama sekali, aku tidak menyukainya. Kita duduk berhadapan, kau hanya beberapa jengkal dari pelukanku, tapi mengapa? Rasanya kau berada di dunia yang berbeda. Keheningan ini, bukan diam yang mampu menenangkan lagi. Hanya ada rasa gundah,

"Hinata.." suaraku terdengar dingin dan putus asa, bahkan di telingaku sendiri.

Ia mendongak, matanya memandang lurus ke arah obsidianku. Sedetik mata abu-abunya membuatku melayang. Aku masih berharap, ada cinta disana, untukku. Tapi ketika ia berkedip, harapanku sirna. Aku melihat kemarahan dan rasa sakit disana.

"Mama.. aku ngantuk," Kei merajuk, lalu mengucek matanya. Wajahnya terlihat manyun. Wajahx stoic, dan imut bersamaan. Benci aku mengakui, dia terlihat sangat Uchiha.

Aku mengintip arlojiku. Hampir setengah sepuluh. Aku berjongkok. "Naik ke punggungku.."

Ia mengernyit, "Tidak mau!"

"Mama sedang capek, Kau tidak akan menyusahkan dia kan?" mengucapkan kalimat sepanjang ini membuatku aneh sendiri. " Naiklah Kei, ayah akan mengendongmu.." 

entah mengapa mengatakannya terasa benar, terasa hangat.

Benar kata Itachi, 'Wahai harapan, ijinkan aku bahagia'

***

(Several minutes ago)

Bertemu dengan Hinata adalah salah satu hal yang paling ingin kulakukan beberapa tahun belakangan ini. Bukannya aku tak berani. Namun penjagaan ketat Neji, dan barikade keluarga Hyuuga menjadikan dia tak bisa kusentuh. Dia seolah menjadi sosok yang terlalu sulit untuk digapai. Devil and Angel. Iblis dan malaikat, salahkan bila bersama?!

Hanya sebuah telepon yang disuarakan anak itu bisa langsung membuat dia mendatangiku. Tch! Kenapa hal ini tak pernah terpikir olehku?

"Kei-chan.." suaranya masih lembut. Kulihat dia mengulurkan tangan dan langsung meraih bocah abu-abu itu. Menyembunyikan anak itu di belakang tubuhnya yang masih berisi seperti yang kuingat. Tch! Dia pikir aku ini virus atau apa? 

"Lama tidak jumpa hinata..."

Dia menggigit bibir, uuggghh.. terlihat sexy jika sedang gelisah. Aku menyingkirkan otak jahanamku, dan memilih larut dalam kesedihan yang ditawarkan oleh matanya yang kelabu.

" Seharusnya ada tiga Uchiha di sini.."

"Cukup, Sasuke. Semua sudah berakhir.." suaranya lirih,

" Bagaimana ku mengakhirinya jika semua belum dimulai Hinata..?" Aku tidak ingin dia 'pergi' lagi.

Dia memalingkan muka, aku tahu ia menahan tangis. Ia menarik nafas berat, " Ayo Kei-chan, kita pulang.." 

Ia berusaha menghindariku. Tapi tanganku lebih cepat, aku meraih lengannya. Menariknya kasar dan memeluknya erat,

" Tempatmu di sini. Di pelukanku.." pelukanku mengerat.

Bolehkah aku meminta untuk waktu berhenti?!

Ia mulai berontak hingga pelukanku terlepas. Lalu sebuah tamparan mendarat tepat di pipiku. Menyisakan rasa nyeri di sudut bibirku. Tch! Rupanya ia sudah mahir menggunakan tangannya. Sial!

"Bagaimana mungkin kau berani menemuiku setelah membunuh suamiku?!" suaranya serak bercampur dengan isakan yang tertahan. Disaat begini ia justru tidak gagap. Inikah efek kebencian bagimu?!

"Aku tidak membunuhnya, ia mati karena kecelakaan. Ia mati bersama kekasihnya.."

Ia berusaha menamparku lagi, sayangnya cengkeramanku berhasil menghentikan kebiasaan barunya itu.

"Bagaimana kau menjelekkan dia di depan anaknya?! Kemana kesopananmu,Sasuke..?!"

Aku tersenyum sinis, anak Itachi dia bilang?

"Rupanya kau berbakat mengatakan kebohongan Hinata.. Kau, tidak boleh mengajarkan kebohongan pada anak kecil.."

" Mama.. apa maksud paman ini?" Ia memandang wajahku dan wajah Hinata bergantian.

Aku menyeringai, " Nak, kau adalah putraku.."

Aku tahu bukan hanya mereka yang shock atas perkataanku barusan. Sumpah! Aku sendiri juga merasa terkejut. Dia membuatku merasa menjadi bajingan. Anak itu, seolah sebuah pengingat tentang seberapa besar kesalahanku pada wanita yang kukasihi.

Kami terdiam cukup lama, sampai..

"Mama aku lapar.."

Dan kami terdampar di sebuah restoran keluarga yang tidak pernah terpikirkan untuk kudatangi. Seolah aku melihat bayanganku sendiri di cermin. Seharusnya inilah yang terjadi, ia, aku dan anak kami. Kombinasi yang pas, dari sudut manapun. Seharusnya.. ya seharusnya..

Yang terjadi hanyalah sebuah kecanggungan yang menyesakkan. Inilah hukuman untukku yang telah berani mencintai malaikat sepertimu.

Entah reflek darimana aku menyingkirkan puding almon dengan madu yang disajikan untuk makanan pembuka, justru meminta semangkok sup asparagus.

Anak itu menatapku heran,

"Aku alergi madu. Aku tahu kau juga sama.." Aku menyorongkan sup asparagus yang baru saja datang, mengabaikan segala hal yang mungkin mereka pikirkan.

"Makanlah sebelum dingin.." Aku mengucapkan kata yang bahkan dulu kuhindari. Aku bisa berkomunikasi dengan anak kecil? Gila! Kurasa aku reflek menjadi tua dan kebapakan.

Hinata memandangku tak percaya. Begitu pula bocah itu. Mungkin untuk menjadi dekat dengan mereka, aku hanya perlu untuk mengatakan yang kupikirkan.

Aku melengkungkan senyum tulus yang entah bagaimana datangnya. Senyum yang dibalas oleh bocah kecil yang pernah ingin kusingkirkan. Anak yang sekarang ingin kulindungi.

Ya, kali ini aku akan mengizinkan intuisiku menuntunku..

***

Another SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang