6. Label Halal

476 27 4
                                    

Namaku Hana, seorang tenaga pengajar di Sekolah Dasar Islam Terpadu di kotaku, Jakarta. Seperti biasa, menjelang pukul 09.00 WIB, murid-murid mulai merapikan buku yang dilihatnya dan duduk rapi untuk mengakhiri kelas. Sembari duduk mereka membawa bekal atau makanan ringan yang telah disiapkan oleh orang tua masing-masing.

Kelas pun ditutup, kemudian bersama-sama membaca doa sebelum makan setelah mendapatkan instruksi dari anak yang mendapat tugas untuk menjadi pemimpin hari ini.

Sebagian anak-anak itu keluar kelas untuk jajan di kantin sekolah, mengobrol, ke perpustakaan, bahkan ada juga yang masih tinggal di kelas untuk menghabiskan bekalnya.

Aku tersenyum mendapati sahabatku, Rain--yang datang untuk mengajakku makan. Meski berstatus guru, kami juga membawa bekal sendiri dari rumah. Dia guru Bahasa Arab dan aku sendiri guru Sejarah. Kami bersahabat sejak masuk sekolah Tsanawiyah. Karena sama-sama menyukai anime, komik dan drama Asia, kami pun menjadi dekat hingga sekarang. Kesamaan sifat kami adalah kami suka berhalusinasi jika sudah menonton anime.

"Ih, itu kan nggak halal," celetuk salah seorang anak pada minuman yang dibawa oleh salah seorang temannya, dan kata-katanya sanggup membuatku menoleh pada anak yang badannya cukup besar. Namanya Gilang.

Aku melirik sekilas dan kembali melanjutkan aktifitasku. Aku lapar sekali, dan tidak terlalu peduli soal percakapan anak-anak tadi.

"Iya, itu kan nggak ada halalnya." Yang lain pun mulai menimpali. Kebetulan beberapa waktu lalu ada orang yang membagikan minuman tersebut secara gratis di luar gerbang sekolah.

Karena tidak mendapat respon dari kami, murid di sampingku mengadu dengan suara lirih, "Bu guru, minuman yang dibawa Affa itu nggak halal, 'kan?"

Kulihat Rain menghentikan makan dan tersenyum padanya. Sementara anak yang membawa minuman mulai tampak ragu.

"Semuanya coba dengarkan sebentar, ya," ujarnya memulai.

Anak-anak itu mulai menatap sahabatku. Aku ikut menghentikan makanku. Gadis penyuka anime Card Captor Sakura ini memang punya jiwa yang luar biasa untuk menghadapi pertanyaan anak-anak. Berbeda denganku yang cenderung tak peduli. Mereka adalah Gilang si ketua kelas, Ryan, Ratna, Sohwa, Affa, lalu si kembar Salwa dan Salma.

"Ibu guru mau tanya, dari mana kalian tahu itu tidak halal?" tanya Rain dengan senyum.

"Nggak ada label halal MUI-nya," jawab mereka.

"Memangnya semua makanan yang tidak ada label MUI-nya nggak boleh dimakan?"

" Iya, kalo nggak ada label halalnya nggak boleh dimakan," sahut Ryan.

" Hmm ... gitu ya. Hari ini Ratna bawa apa?" tanya Rain pada anak perempuan yang duduk di sampingku.

"Bolu," jawab Ratna singkat.

"Ratna sudah periksa bolu itu ada label halalnya?"

Anak perempuan itu tersenyum sambil menggeleng.

"Kok, Ratna makan?"

Ratna hanya tersenyum tak bisa menjawab.

Lalu Rain menoleh pada anak lelaki yang sedang makan lemper sembari berkata, "Coba lihat, lemper punya Gilang ada label halalnya, nggak?" Ia terus bertanya sabar.

Mereka yang melihat lemper di bekal Gilang itu menggeleng.

"Kalian yakin itu halal?"

Mereka mengangguk.

"Kalian tahu makanan sushi, nggak?"

Sebagian mengangguk dan sebagian menggeleng.

"Sushi halal nggak?"

"Enggak!" jawab Fajar yakin dan cepat. Aku dan Rain tertawa kecil.

"Kenapa? Sushi, kan, sama kayak lemper? sama-sama dari nasi."

Lagi. Mereka tak bisa menjawab.

"Sushi itu pembuatannya ada yang beberapa dicampur arak sehingga tidak boleh kita makan. Ada juga yang tidak, dan ini boleh kita makan. Akan tetapi, siapa yang bisa menjamin bahwa lempernya Gilang tidak dicampur arak seperti sushi?"

Mereka hanya tersenyum.

"Hikmahnya apa? Tidak semua makanan yang tidak ada label halalnya itu haram. Sesuatu yang haram itu adalah yang jelas kita ketahui bahwa bahan dasarnya dari babi, atau mengandung arak. Akan tetapi, bahan-bahan itu kita ketahui sesudah kita bertanya. Memangnya kalian sudah tanya atau mengecek yang buat makanan atau minuman tersebut? Pasti belum, kan?"

Mereka terdiam.

"Jadi, kalau kita tidak tahu, tidak boleh sembarangan bicara, ya? Makanan yang orang tua kalian pilihkan insya Allah baik, dan mereka juga berhati-hati dalam memilihkan makanan untuk kalian. Jadi percaya saja. Insya Allah, itu boleh dimakan. Kalau kalian ragu, tinggalkan, tapi jangan bicara di depan seperti tadi. Kasihan teman kalian, kan?" jelasnya panjang lebar.

Entah kenapa hatiku bergetar mendengar penuturannya. Dia yang menyukai Park Bo Geum mendadak berubah seperti ini. Walaupun dia suka berhalusinasi, tapi dia jauh lebih dewasa dibanding aku, meski usiaku setahun lebih tua darinya.

Mereka tersenyum dan mulai melanjutkan makan bekalnya. Sementara anak yang membawa minuman tadi berhenti dan meletakkan minumannya.

"Loh, Affa kok diam? Itu dihabiskan, kalau tidak nanti semutnya datang. Insya Allah tidak apa2," ujarku ikut bicara pada anak lelaki yang sedari tadi tampak ragu-ragu.

Bocah itu menatap kami bergantian lalu minumannya.

Ada satu hal yang aku sadari, mengajarkan halal dan haram memang baik bagi anak-anak. Akan Tetapi, memilah dan mengajarkan mereka cara menyampaikan pendapatnya itu tentu lebih baik. Apalagi untuk sesuatu yang tidak kita ketahui dengan pasti, mengajarkan mereka untuk berhati-hati dalam berbicara juga sebuah kebaikan. Bukankah sebuah kabar itu selalu mengandung dua hal, kebenaran dan kebohongan? Bagaimana kita memutuskan sebuah kabar itu dusta dan tidak hanya berdasarkan prasangka. Larena itu telitilah, galilah, seledikilah, baru jika sudah yakin kita bisa berbicara. Jika tidak tahu, maka diam adalah sebaik-baik hal yang bisa kita lakukan.

Lalu dia terus berkata, "Kamu tahu nggak Han, meskipun ada label halal pun belum tentu makanan itu baik untuk tubuh kita. Bukankah makanan itu selain halal juga harus thoyyib? jika memang kita tidak mau anak-anak kita kelak memakan makanan yang kita anggap tidak halal, sementara kita tidak tahu dengan pasti status kehalalan makanan tersebut, maka kita bisa menggunakan syarat makanan yang kedua untuk menjauhkan mereka dari makanan tersebut."

Aku mengangguk. Kami memandang anak-anak tadi yang kini sibuk dengan aktifitasnya.

"Anak-anak itu hanyalah anak-anak. Mereka akan mengikuti arahan orang tuanya. Karena itulah sebagai orang dewasa kita harus bijak dalam mengajarkan dan memilih kata-kata untuk anak-anak kita kelak."

Aku tersenyum sambil berkata, "Seperti pepatah 'diam adalah emas, tapi bicara di waktu yang tepat adalah berlian."

"Wah, dapet dari mana kata-kata itu? Tumbenan kata-katamu bijaksana,"

"Park Bo Gum," jawabku asal tapi langsung mendapat cubitan kecil di lenganku. Aku meringis.

"Awas kalo berani naksir Park Bo Geum, nanti Kassy aku goda!"

Aku balas mencubitnya. "Nggak boleh, Kassy nggak punya sertifikat halal dari MUI, jadi jangan digoda!"

Bel berbunyi, padahal kami belum sempat menghabiskan makan, tapi kami harus kembali ke kelas masing-masing untuk kembali mengajar.

🍵
🍵
🍵
🍵
🍵

Tamat

Pembaca yang baik hati tolong tkan tanda bintang [🌟] usai membacanya, ya 😊

Menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka.

Ren Hikaru

Note :
Cerita ini repost dari event yang diadakan Bang Patrick Kellan dalam event Antologi Moral Code 13/02/2019

Klik, please
👇

[END] ✅ Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang