RATRI - 10

59 16 3
                                    

Selamat membaca!


"Aku sudah membuat keputusan,"

Laki-laki paruh baya bertubuh tegap itu menopang tubuhnya diatas meja. Rahangnya mengeras, tapi ia tetap tenang. Di hadapannya berdiri seorang wanita berparas ayu, wajahnya muram, bekas air mata menggenang di bawah matanya.

"Aku putuskan untuk berpisah." Sambung laki-laki itu, Haris.

"Mas! Aku sudah bilang aku nggak mau pisah!" Tangis wanita dihadapannya pecah lagi.

Haris menatap mata Finda, hatinya terasa pilu, melihat wanita yang sudah dinafkahinya lahir batin menangis dihadapannya. Ia sangat mencintai Finda, namun keputusannya untuk berpisah dengan Finda harus ia lakukan, demi nama baik anaknya.

"Aku sangat mencintai kamu, Finda. Tapi aku tahu, kamu nggak akan mungkin meninggalkan dia," Haris menghela nafas panjang lalu menundukkan pandangannya.

"Aku akan urus penceraian kita." Haris berlalu meninggalkan ruang tamu dan hendak pergi keluar rumah.

Cklek.

Dadanya sesak melihat bidadari kecilnya berdiri di depan pintu rumah.

Putri. Tatapannya menunjukkan betapa terluka ia mendengar semua keputusan orangtuanya.

"Papa harap Putri ngerti ini. Papa ta--"

"Putri paham, Pa. Putri masuk dulu."

Gadis cantik berseragam putih abu-abu itu sedikit berlari meninggalkan kedua orangtuanya.

Putri mengunci kamarnya dan melempar tasnya ke sembarang arah. Hatinya berusaha menguatkan diri untuk tidak menangis, namun genangan air di pelupuk matanya tak dapat di tahan, sedikit demi sedikit buliran bening itu mengalir melewati pipinya.

"Ayo kontrol dirimu, Putri. Kontrol!" Ucapnya lirih.

Berkali-kali diusapnya air mata bodoh itu. Tapi salahkah jika Putri lemah?

Putri memaksa dirinya agar tetap terlihat tegar. Pikirannya kacau, hatinya terasa berantakan, sangat pilu untuk dikisahkan.

Kaki Putri membawa tubuh yang letih ini ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya lalu menatap dirinya dipantulan cermin.

"Yes, i can!"

***

Eksekutif muda berjas abu-abu masih fokus pada berkas-berkas yang menumpuk di samping laptopnya. Tangannya masih memegang pulpen, padahal hari sudah pukul 21.55.

Pintu ruangan eksekutif muda ini diketuk seseorang.

"Cik Irsan, esok ada meeting nak jumpa klien pukul 07.30," Sekretaris cantik itu memberi tahu Irsan, eksekutif muda yang masih sibuk dengan pekerjaannya itu.

"Oke." Sahut Irsan singkat.

"Ada apa- apa lagi ke tak? Bila tak ada saya balik dulu, Cik."

Irsan menggeleng, "Tak ada apa-apa. Saya nak esok kau siapkan keperluan meeting."

"Baik, Cik Irsan. Kalau macam tu saya balik dulu." Sekretaris bernama Selia itu undur diri.

Malam semakin larut, Irsan memutuskan untuk pulang ke rumahnya.

Setibanya di rumah, Irsan langsung membersihkan diri dan bersiap untuk tidur.

1 pesan belum terbaca.

From: Papa
Ada masalah penting yang ingin papa bicarakan, jika kamu tidak ada schedule apapun, tolong pulang ke Indonesia.

RATRI [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang