Bisa melihatnya dari jauh saja sudah membuatku bahagia. Mungkin dia tidak tahu jika aku memperhatikannya, menjaganya, mengkhawatirkannya di sini. Dia tidak melihatku. Dia hanya melihat yang lain.
Aku sadar jika diriku memang bukanlah yang terbaik untuknya. Aku tidak memiliki apa yang dimiliki oleh orang yang disukainya. Aku hanya memiliki perasaan ini, yang dia sendiri tidak tahu jika perasaan ini untuknya.
Sesuatu yang bisa kulakukan selama di rumahnya hanyalah bermain dengan adik-adiknya. Sambil sesekali memantau pintu kamarnya yang sering dalam keadaan tertutup.
Aku selalu bertanya-tanya, "Kira-kira apa yang dilakukannya di kamar?"
Jika aku sedang waras, biasanya yang terlintas di kepalaku adalah, "Ah ... mungkin dia sedang baca buku dengan telinga tersumpal earphone sambil tiduran di ranjang." Atau, "Bisa jadi dia sedang mengerjakan tugas-tugas sekolah."
Tapi saat aku sedang tidak rasional, jawaban yang selalu terlintas di kepalaku terkadang membuat diriku sulit untuk tidak tersenyum. "Dia pasti sedang duduk bersandar pada pintunya, mencoba mendengar suaraku dengan menempelkan telinganya, mengumpat saat dia tidak bisa mendengar suaraku, lalu dia berteriak heboh di balik bantal setelah mendengar suaraku yang menyebut namanya."
Biarkan lelaki manis sepertiku untuk berfantasi, pemirsa. Jika kalian berada di posisiku, kalian pasti juga akan berpikiran seperti itu tentang orang yang kalian sukai. Biar kutebak, kalian pasti selalu mengaku sebagai istri dari biasmu 'kan?
Sayangnya aku tidak bisa membanggakan diri sebagai suami dari Jarim karena dia bukan idol. Justru lebih baik dia tidak jadi idol karena aku benci jika dia harus pamer paha dan perut di depan orang banyak. Mengakulah, kalian juga tidak ingin 'kan jika bias kalian berpacaran dengan idol lain?
Ya, aku juga paling tidak suka melihat Jarim dekat-dekat dengan pria lain. Terutama Park Jihoon. Anak itu, euh! Dia itu banyak alasan sekali kalau datang ke sini. Kerja kelompoklah, bosanlah, ingin mengajak ngobrollah, padahal intinya hanya ingin bertemu dengan Jarim. Coba aku. Aku bahkan tidak perlu membuat banyak alasan untuk datang kemari. Tapi aku tak pernah bisa duduk berduaan dengannya seperti yang curut cilik itu lakukan.
Di sekolah pun aku tidak punya banyak akses untuk mendekati Jarim. Kami bersekolah di SMP yang sama, termasuk curut cilik itu. Mereka seangkatan, sekelas bahkan. Tidak denganku yang menjadi senior mereka.
Terkadang aku menyesal telah dilahirkan setahun lebih awal dari Jarim.
Aku tahu dengan pasti di mana kelasnya, apa saja jadwal pelajarannya, kapan dia ikut ekstrakulikuler, kapan dia pergi ke perpustakaan, ke kantin bahkan ke toilet aku juga tahu. Kalian bisa beri aku julukan penguntit atau stalker, terserahlah apa pun itu tapi aku tidak akan peduli.
Aku melakukan ini karena kata hatiku.
Jarim selalu yeppeo dengan rambut bob-nya yang tidak pernah berantakan meskipun hari berangin. Aku bersyukur dia tidak satu bangku dengan curut sialan itu. Ke mana pun dia pergi dia selalu bersama satu temannya, kudengar namanya Park Siyeon. Temannya memang sangat cantik, tapi aku lebih menyukai wajah natural dan lesung pipi Jarim saat dia tersenyum.
Hanya hatiku yang tahu jika aku memendam rasa padanya. Aku tidak memberitahu Namjoon hyung, atau Jimin hyung, atau Taehyung hyung, atau Misuk, atau siapa pun itu. Bahkan buku saja tidak kuperkenankan untuk mengetahuinya. Aku selalu menuliskan namanya di udara, air dan bintang. Hanya mereka yang tahu. Karena aku percaya jika mereka tidak akan memberitahukannya pada siapa pun.
Ada yang bilang, jika kau jatuh cinta maka kau harus mengungkapkannya pada orang tersebut.
Tapi aku tidak ingin melakukannya. Ini belum saatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangtan House [hiatus]
Fanficin this house we're together [Start] 24 Maret 2017 12/08/17 Rank 872 dalam Cerita Pendek