Jimin gila.
Berminggu – minggu ini dihabiskan dengan bekerja dan mencari keberadaan si mungil. Ia merindukan baby nya, dan sangat merasa bersalah atas apa yang ternyata Yoongi rasakan selama ini.
Dia merasa gagal menjadi seseorang yang mendeklarasikan cinta tak berujung.
Bagaimana bisa pandangan sedih Yoongi luput dari pengamatannya selama ini. Jimin sudah menyalahkan dirinya berhari – hari, menyiksa dirinya baik secara fisik maupun psikis. Ia babak belur dengan kantung mata menggelap, janggutnya tumbuh berantakan tak diperdulikan.
Jimin sedang dalam mode haus darah, entah sudah berapa saingan bisnis yang ia hancurkan karena mencari masalah di waktu tidak tepat.
Sekarang pengusaha tampan itu sedang di kantor, masih menyelesaikan pekerjaan yang tak begitu mendesak. Di depannya, di atas meja ek besar ada map bertumpuk tinggi, berisikan file – file penyelidikan tentang keberadaan Yoongi.
Sebenarnya sebagian besar tidak berguna, tapi Jimin tidak sampai hati membuang sederet informasi yang sudah ia ketahui itu. Seolah – olah dengan mengenyahkan arsip tersebut, ia menyerah menemukan belahan jiwanya.
Sepuluh hari pertama sejak kepergian sang carrier Jimin mencarinya ke seluruh penjuru Inggris, bergerak seperti zombie tanpa makan dan minim tidur. Dia tidak sanggup berdiam diri, merasa sakit setiap kali menyadari Yoongi nya berpikir seperti itu tentang mereka. Betapa tak hentinya Jimin memaki dirinya sendiri.
Kalau saja tidak diseret Namjoon dan Hoseok mungkin dia masih mengentayangi jalan – jalan London yang gelap dan dingin, memanggil nama baby nya.
Namjoon dan Hoseok membantunya menyelidiki dimanakah Yoongi berada, memberinya janji bahwa mereka akan mengerahkan segenap kemampuan demi anak itu.
Sekarang sekembalinya di Seoul, Jimin memastikan dia menerima laporan setiap hari tentang penyelidikan mereka. Sudah sebulan berselang dan anak buahnya sendiri, Namjoon maupun Hoseok tak mampu menemukan titik terang.
Yoongi seperti tertelan bumi, tak diketahui, tak mampu ditelusuri.
.
.
.
Tepat pukul 3 dini hari Jimin melangkah masuk ke mansionnya, dengan langkah lunglai dan pandangan muram ia menapaki lorong gelap dan dingin menuju kamar.
"Tuan, saya sudah siapkan air hangat untuk mandi dan nampan sandwich di dekat tempat tidur anda," Sejin, butler setianya sudah sigap menggiring Jimin dibelakang langkah sang pengusaha, entah dari mana datangnya.
Jimin hanya menggumamkan ucapan terimakasih, lalu melangkah masuk ke kamar.
Kamar Yoongi.
Kamar yang kini ia pakai sejak sang carrier ia kirim dengan tangannya sendiri ke Inggris tempo hari. Kamar yang masih menyisakan ingatan tentang baby nya yang mempesona, kamar yang membuatnya di satu sisi tenang di sisi lain terluka karena kenangan yang terlampau terang.
Kadang ia seperti masih bisa mencium aroma Yoongi yang khas, tertinggal di ranjang empuknya, menempel di wallpaper kamarnya, memberi ilusi bahwa Jimin bisa saja memeluk si mungil sejangkauan tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Your Arms [BTS] [JIMINxYOONGI] [MxB] [21+]
FanfictionPark Jimin, yang baru pulang berpesta tanpa sengaja hampir menabrak seorang bocah tengah malam buta. Dia menemukan bocah tersebut terluka dan tanpa pikir panjang menolongnya, mengobati anak itu....... Tapi seorang Park Jimin, lajang berusia 27 tahun...