Kageyama Tobio tidak pernah tahu seperti apa kerajaan tempat kelahirannya dulu, Karasuno. Karasuno dibumihanguskan oleh penduduknya sendiri saat ia baru bisa melihat dunia.
Dia memang tidak menemui Karasuno dalam masa kejayaannya. Tapi dia masih menginjakkan kaki di daratan yang sama di mana Karasuno berdiri, Tanah Palapa.
Daratan yang tidak memiliki ujung,—setidaknya begitu bagi orang yang tidak pernah mengelana—walau sebenarnya di luar sana masih ada daratan lain, yang dipisahkan oleh samudra. Orang yang berhasil melintasi samudra itu pastilah memiliki sembilan nyawa.
Sampai beberapa tahun sebelum Kageyama lahir, kehidupan Tanah Palapa masih teratur. Dengan tiga kerajaan yang berkuasa di wilayahnya masing-masing. Tiga kerajaan itu tak lain adalah Shiratorizawa, Aoba Johsai, dan Karasuno.
Ketegangan mulai terjadi ketika raja yang memimpin Shiratorizawa kala itu meminta dua kerajaan lain tunduk di bawah pemerintahannya.
Raja Aoba Johsai dan Karasuno tidak akan diturunkan, mereka masih memimpin kerjaan masing-masing. Tapi setiap keputusan yang dibuat harus dengan persetujuan raja Shiratorizawa, dan tambahan upeti yang harus dibayar setiap tahun kepada Shiratorizawa.
Semua orang memang tahu kalau Shiratorizawa lah yang paling kuat di antara ketiganya. Shiratorizawa memiliki wilayah paling luas, memiliki tentara dengan jumlah paling banyak dan kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh.
Jangan lupakan penataan wilayah yang diatur sedemikian rupa. Ekonomi di sana yang paling maju. Hampir tidak ada pengangguran.
Tapi permintaan raja Shiratorizawa itu tidak serta merta disetujui oleh dua kerajaan lain.
Aoba Johsai bahkan sudah menyiapkan bala tentara yang besar untuk menggempur Shiratorizawa sebagai bentuk penolakan atas permintaan yang dianggap semena-mena. Terlalu serakah.
Keadaan di Karasuno tidak berbeda jauh, mereka menyiapkan pasukan dalam jumlah besar. Tapi bukan untuk menyerang melainkan bertahan. Puluhan tahun berteman dengan kedua raja yang lain membuat raja Karasuno sedikit banyak memahami jalan pikiran keduanya.
Jika Aoba Johsai dan Shiratorizawa benar-benar berperang, Karasuno juga akan terkena dampaknya.
Raja Karasuno sudah mencoba mendamaikan kedua belah pihak yang tengah berseteru. Dan keduanya menolak dengan alasan mempertahankan kekuasaan.
Shiratorizawa harus diberi pelajaran agar rajanya tidak lagi semena-mena. Rakus sekali dia masih menginginkan milik kita. Aku melawan agar milikku tidak direbut, terserah kalau Kau mau diam. Tapi Aku tidak mau membantu kalau Kau akhirnya jatuh di tangan raja busuk itu.
Kalau Aoba Johsai menyerang, Kami akan menyerang balik. sebelum mereka menghancurkan Kami, Mereka duluan yang akan Kami Hancurkan.
Peperangan akhirnya tetap terjadi. Seluruh wilayah perbatasan Karasuno diamankan oleh tentara. Masyarakat sipil diungsikan ke wilayah paling tengah kerajaan, yang paling aman.
Peperangan berakhir dengan kemenangan Shiratorizawa. Separuh pasukan Aoba Johsai menyerah dan memilih tunduk di bawah kepemimpinan raja Shiratorizawa. Separuhnya lagi dijadikan tawanan. Sedangkan raja Aoba Johsai dan sang pewaris tidak diketahui keberadaannya, ada kabar yang menyatakan bahwa mereka mati dalam perang, dan jasadnya sudah dihilangkan.
Karasuno mau tidak mau menyetujui permintaan Shiratorizawa, tunduk di bawah kekuasaannya. Sebagian dana untuk pembangunan dialihkan untuk membayar upeti.
Tapi rupanya raja Shiratorizawa masih belum puas, dia menginginkan menjadi penguasa tunggal di Tanah Palapa.
Karasuno yang tahu kalau mereka tidak bisa melawan, memutuskan hal yang (harusnya) tidak mungkin dilakukan oleh Karasuno.
Karasuno jelas akan mengalami kerugian besar jika memutuskan untuk melawan. Tapi menyerah tanpa perlawanan membuat Shiratorizawa mendapat banyak keuntungan.
Mereka bisa menikmati hasil jerih payah Karasuno tanpa harus membayar.
Jadi, raja Karasuno memutuskan untuk membumihanguskan kerajaannya sendiri atas persetujuan penasihat raja dan sebagian besar rakyat.
Dengan begitu, Karasuno tidak perlu kehilangan banyak nyawa karena peperangan dan Shiratorizawa tidak akan mendapatkan keuntungan apa pun dari negeri yang hancur.
Setelah itu penduduknya menyebar ke sebagian wilayah di Palapa, untuk menyamar menjadi penduduk Shiratorizawa dan sebagian lain menuju hutan belantara yang belum terjamah. Hidup sebagai bayangan dan membaur dengan kegelapan.
Sebagian kecilnya berkelana, berharap mereka benar-benar memiliki sembilan nyawa untuk bisa menyebrangi samudra. Ke daratan yang terbentang jauh di sana. Yang mereka dengar dari dongeng sebelum tidur waktu kecil dulu.
Ahem, aslinya ide buat cerita ini udah lama. Dan kalo anda sadar, saya ngambil dari peristiwa Bandung Lautan Api untuk bagian ini. Dan nama Palapa itu, diambil dari Sumpah Palapa.
Sebenernya belum yakin buat mulai ngetik ini karena, yah, saya belum dapet alurnya sampai selesai. Takut mandeg di tengah jalan. Lagian ide buat one-shot udah numpuk di draft.
Tapi karena ide ini yang lagi agak jalan, jadi saya nekat bikin ini duluan. Mungkin judulnya akan saya ganti kalau ada yang ngasih saran.
Semoga ini nggak terlalu mengecewakan, sekian terimakasih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kitagawa Daichi
Fiksyen PeminatKageyama Tobio tidak pernah mengenal orangtua kandungnya, dan lahir di masa peperangan memaksanya untuk bisa melindungi diri. (Haikyuu milik Haruichi Furudate sensei Saya hanya meminjam karakternya)