Awal masuk kampus masih pemalu, kalo udah lama malah malu-maluin.
***
"Baik hari ini pertama kita bertemu, sudah kenal dengan bapak?" tanya bapak itu. Berdiri menghadap mahasiswanya.
"Belum pak," jawab mahasiwa baru serempak, padahal tidak diberi aba-aba.
"Biar sama-sama enak bagaimana jika kita perkenalan terlebih dahulu," pinta beliau, "siapa yang mau perkenalan dulu."
"Dari bapak dulu pak," sahut Rai yang kini sudah duduk di bangku barisan depan.
Bapak itu mengerti mengenai perkenalan. Mahasiswa baru awal-awal masuk kuliah masih malu kalau disuruh maju ke depan, saking malunya mahasiwa baru kalau menyentuh tanaman putri malu, mahasiswa barunya yang kuncup.
"Nama bapak, Teguh Prasetyo, panggil saja pak Teguh, bapak dosen mata kuliah Listening," terang bapak itu dengan logat khas jawanya. Sudah menjadi ciri khas orang Jawa memberi nama ada embel-embel huruf O, misalnya Suranto, Handoko, Susilo. Nama Suranto tidak mungkin nama orang Barat, kalaupun ada tidak enak saja terdengarnya, misalnya, Richardo Suranto, Cristiano Handoko, Alexis Susilo. Atau dibalik nama orang Barat dipakai di Indonesia, misalnya, Bambang Cristiano, Bowo Ronaldo. Jadi pas masukin bola selebrasinya goyang tiktok dua jari.
"Ada yang belum jelas? Atau ada yang mau ditanyakan?" tanyanya.
Revan mengangkat tangan sedikit ragu. "Bapak punya anak cewek apa enggak?" tanya Revan berharap punya anak cewek cantik terus bisa PDKT-an, bisa untuk memperbaiki keturunan, sepadan dengan tampang pak Teguh yang awet muda. Bapaknya aja gagah begini, kalo anaknya cewek pasti cakep.
Mahasiswa lainnya cekikikan. "Ngapain nanya anak?" timpal Rai. Sebenarnya Revan juga bingung mau bertanya apa. Mau bertanya, pak kenapa harga BBM bersubsidi naik tapi gak bilang-bilang, atau pak kenapa bapak belum bisa memberantas korupsi di Indonesia, atau pak katanya Indonesia sudah merdeka tapi nyatanya masih banyak orang yang meminta-minta. Tapi niatnya ia urungkan.
"Alhamdulillah saya sudah beristri, sudah punya momongan kelas tiga SMA ..., tapi cowok," jawab pak Teguh.
Revan tadi sempat menahan napas mendengar 'punya anak kelas tiga SMA' lalu gue hembuskan ketika kata 'cowok'.
"Yah, cowok. Saya penginnya cewek pak," keluh Revan membuat gelak tawa mahasiswa lainnya.
Perkenalannya sangat singkat. Pak Teguh tidak menambahkan embel-embel lainnya. Seperti menyebutkan nomer sepatu, makanan favorit, minuman favorit, atau janda favorit.
Pak Teguh berasal dari Jakarta, beliau menjadi dosen sudah cukup lama. Beliau memiliki postur tubuh yang tinggi, berkulit putih, rambutnya sudah banyak beruban, wajahnya sedikit keriput, maklum sudah menua. Beliau adalah pribadi yang disiplin, tegas dan berkomitmen.
"Sekarang gantian kalian yang perkenalan, kamu dulu! silakan." Beliau menunjuk gue untuk mengawali perkenalan.
Tanpa berlama-lama Revan langsung maju ke depan. "Baiklah langsung saja tanpa salam. Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh."
"Wassalamualaikum salam warahmatullahi wabarakatuh."
"Izinkan saya yang pemalu ini memperkenalkan diri. Siapa nama saya?" Tanpa angin, tanpa hujan, Revan sekonyong-konyong bertanya seperti itu. Berharap bisa memberikan kesan pertama, yang unik, walau terlihat memalukan. Revan sengaja pura-pura bego karena yang pura-pura pintar sudah banyak dan karena memang ia bego beneran.
KAMU SEDANG MEMBACA
MODAL (Mahasiswa Otak Dangkal)
HumorSebuah kisah tentang mahasiswa ber-otak dangkal dengan dasar ideologi "Tololisme" yang terancam sukses (Red :DO) dengan memegang teguh prinsip ''tidak ada manusia bodoh hanya kurang pintar." Membacanya seakan anda menemukan titik terang. Bahwa hidup...