Di suatu hotel di Jakarta. Di dalam kamar yang bernomor 1234. Netherlands menaruh syal yang selalu ia pakai di sebuah kursi dan membuka kancing kemeja biru tua yang ia pakai hari itu. Netherlands meneguk segelas air putih dan kemudian langsung berbaring di kasurnya.
Dan sekali lagi, malam ini ia hanya memikirkan satu orang saja. Seorang wanita yang ia 'jajah' selama 3,5 abad. Seorang wanita yang ia sakiti selama itu dan sekaligus wanita yang ia cintai dari dulu sampai sekarang.
"Indonesia..."
Itu namanya. Seorang 'negara' yang sangat cantik, ramah dan akan sedikit kasar bila sesuatu membuatnya marah. Ah, seharusnya kata sedikit itu dihapus saja ya?
"Indonesia..."
Netherlands memanggil namanya lagi. Entah apakah ia memanggil namanya terus menerus supaya Indonesia tiba-tiba muncul di kamarnya ataupun hanya sekedar memanggil namanya itu saja dan mengingat masa lalunya yang ia sangat ingin lupakan dan sekaligus sangat berharga baginya.
Netherlands awalnya datang ke Indonesia hanya untuk memdapatkan rempah-rempah. Ia sebenarnya tidak tau sejak kapan mulai terjadinya permusuhan antara dia dan Indonesia. Seilir waktu berjalan Netherlands akhirnya menyadari keserakahannya terhadap rempah-rempah yang dimiliki oleh Indonesia.
Tapi apa boleh buat, Netherlands saat itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali mengikuti perintah atasannya yang lebih berkuasa. Netherlands terus menerus melakukan apa yang disuruh oleh atasannya*. Walaupun ada perintah yang sangat ia benci sekalipun. Seperti mengkhianati Indonesia yang dari awal sangat mempercayainya.
'Indonesia terlalu mempercayai orang lain begitu mudah,' pikir Netherlands.
Indonesia benar-benar mempercayainya. Tapi dia yang mengkhianatinya. Semua itu berawal saat Indonesia atau yang saat itu disebut dengan Indie, tidak boleh keluar lagi dari rumahnya. Indie yang mendengar hal itu langsung melakukan apa yang biasanya orang lain lakukan tentunya. Yaitu pergi keluar rumah dan melanggar aturan tersebut**.
Tapi yang dilihat Indie bukanlah sesuatu yang dijanjikan Netherlands dahulu, yaitu ia akan membuat warganya hidup dengan aman dan makmur. Sebaliknya yang dilihat Indie adalah warga yang yang sedang sengsara.
Netherlands yang kebetulan melihat Indie, langsung membawa Indie yang diam membeku pulang kembali ke rumah. Namun saat sampai di rumah Indie langsung pergi ke kamarnya, mengunci pintunya dan tidak keluar dari kamarnya. Hal itu tentunya membuat Netherlands sangat khawatir.
4 hari kemudian, Indie keluar dari kamarnya. Matanya merah seperti habis menangis. Dan sejak saat itulah Indie berubah. Ia tidak lagi tertawa dan bermain bersama Netherlands seperti dulu lagi, tersenyum pun jarang.
Mengingat hal itu Netherlands bangun dari kasur dan duduk bersender dinding menghisap pipa rokoknya dan melihat ke arah luar jendela. Netherlands ingin sekali menyalahkan semua ini pada atasannya, tapi sebenarnya ia juga salah karena hanya diam dan menuruti perintah mereka tanpa perlawanan sedikit pun.
Netherlands juga sebenarnya takut untuk melakukan Uni dengan Indonesia. Kalau hal yang sama terjadi lagi, apa yang akan terjadi di antara mereka? Apakah akan ada perang perang lagi? Apakah akan ada darah yang berceceran lagi? Apakah akan ada air mata yang terjatuh lagi?
Sebagian diri Netherlands ingin Indonesia menerima Uni itu dan sebagiannya lagi ingin Indonesia menolaknya. Jadi, apapun keputusannya Netherlands akan menurutinya.
Ah, tapi entah kenapa ada setetes air yang keluar dari mata Netherlands...
Keesokan Paginya...
Salah satu ruangan di Istana Merdeka sekarang ini sangat tegang hanya karena ada 3 orang yang duduk diam di sana. Orang yang pertama adalah orang yang 'kelihatan' paling tua di antara yang lainnya (padahal dia yang paling muda XD), orang yang kedua adalah wanita cantik yang memakai kebaya coklat muda dengan rambut panjang yang diurai ke samping kirinya dan orang yang terakhir adalah bule bermata hijau dengan rambut pirang yang entah kenapa betah banget pakai syal walaupun udara di Indonesia ini sangat panas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uni Indonesia-Netherlands (Hetalia Fanfiction)
FanfictionTerima atau tolak. Itu adalah pilihan yang dipunya Indonesia saat Netherlands datang ke negaranya menanyakan tentang sebuah surat yang berasal dari Ratunya. "...Kenapa kau tidak menolak ku saja, Nesia?" "Itu karena ak-" "Indon!" "Ate!" "Kak Nesia!"...