Chanyeol masih marah.
Itulah yang sedari tadi Nana pikirkan. Tiga hari semenjak Chanyeol mengantarkan nya pulang dan sejak itu pula Chanyeol tidak menemuinya lagi. Jangankan menemui, mengangkat telfonnya pun tidak.
Tepukan pada pundaknya membuat Nana tersentak. “Kamu gapapa? Dari tadi saya liatin, kamu ngelamun terus. Kamu sakit?” itu adalah Julian, anak dari pemilik kafe tempat Nana berkerja.
“Eh, aku gapapa kok. Cuma sedikit pusing aja.” kata Nana canggung.
“Bener nih gapapa?” Julian memastikan.
Nana mengangguk mantap, “Iya, bener.”
Selain baik, Julian juga orang yang ramah pada semua karyawan disini. Tak jarang Julian menanyakan keadaan para karyawannya. Termasuk Nana.
Sejak lulus dari sekolahnya, Nana langsung mencari pekerjaan. Dan pada saat itu teman Nana mengenalkan nya pada Julian, itulah penyebab Nana berkerja disini. Julian juga sama seperti Chanyeol, masih sekolah dan kebetulan dikampus yang sama.
“Kalo gapapa, bikinin saya kopi buatan kamu yang enak itu, bisa?” kata Julian sedikit bercanda. Namun perihal kopi buatan Nana yang enak itu Julian tidak bercanda, kopi buatan Nana memang sangat enak.
Nana tersenyum canggung. “Bisa. Kamu tunggu sebentar.”
“Jangankan sebentar, lama sekalipun kalau untuk kamu saya akan menunggu.”
Nana hanya tersenyum menanggapinya dan langsung pergi ke dapur untuk membuat kopi untuk Julian. Entah kenapa Nana dapat merasakan keseriusan dari kata-kata Julian tadi. Tapi mungkin itu hanya perasaannya saja.
“Julian, ini kopinya.” Nana menyodorkan kopi buatannya kepada Julian. Jangan kaget karena Nana tidak memanggil Julian dengan embel-embel 'pak' atau 'mas', karena Julian sendiri yang memintanya untuk memanggilnya seperti itu. Agar terlihat lebih akrab, katanya.
“Kamu mau kemana? Temani saya disini.” Julian mencekal tangan Nana saat gadis itu hendak pergi.
“Aku masih ada pekerjaan didapur.” jawab Nana.
“Udah gapapa. Lagian kafe lagi sepi, pekerjaan hari ini ga terlalu banyak. Yang lain juga lagi pada istirahat.”
“Ta—”
Sebelum Nana menyelesaikan bicaranya, Julian sudah terlebih dahulu menarik tangannya sehingga gadis itu jatuh terduduk di bangku yang ada di depan Julian. “Udah jangan kebanyakan ngomong. Duduk disini temenin saya. Saya tuh gamau duduk sendiri Na, kentara banget kalo saya ini jomblo.”
Nana tertawa kecil mendengar keluhan Julian. “Yang punya pacar aja belum tentu bahagia.” celetuk Nana tanpa sadar.
Dahi Julian berkerut, “Maksudnya?”
Nana terkesiap dan refleks memukul bibirnya yang tidak bisa dikontrol. “Eh, engga. Tadi aku cuma ngelantur aja.”
Julian terkekeh geli. Sebenarnya tadi dia mendengar dengan jelas ucapan Nana, namun dia memilih untuk pura-pura tidak mendengarnya. Julian meniup kopinya sebelum meminumnya perlahan. “Seperti biasa, kopi buatan kamu yang paling enak.” kata Julian bermaksud menggoda Nana.
“Kamu bisa aja. Tapi aku ga yakin kalo kamu masih sendiri, cowok ganteng dan baik kaya kamu pasti banyak yang suka.” kata Nana.
Julian tersenyum manis, secara tidak langsung Nana telah memuji. “Yang suka sama saya emang banyak. Tapi saya ga berminat sama mereka yang suka sama saya. Hati saya udah mentok sama satu cewek.”
“Beruntung banget ya cewek itu, dia bisa mengambil hati cowok baik kaya kamu.” Nana tersenyum.
Cewek beruntung itu kamu.
“Tapi sayangnya dia udah punya pacar, Na. Menurut kamu saya harus gimana? Saya rebut aja kali ya cewek itu dari pacarnya.” Julian tertawa miris, dia adalah tipe laki-laki yang sulit jatuh cinta. Tapi sekalinya jatuh cinta, malah dapat yang sudah mempunyai pacar.
Julian memang belum tau siapa pacar Nana. Namun saat ditanya, Nana dengan malu-malu menjawab kalau dia sudah mempunyai pacar.
“Merebut itu cara yang ga baik. Kalo cewek itu emang jodoh kamu, pasti dia akan jadi milik kamu tanpa harus kamu rebut dia dari pacarnya. Kalo kamu merebut dia dari pacarnya, sama aja kamu maksa dia buat jadi milik kamu. Cewek itu ga suka dipaksa, mereka lebih suka diperjuangkan. Karena hal itu membuat mereka merasa diinginkan dan dihargai.” kata Nana panjang lebar.
Hening.
Julian diam, dia menatap Nana dengan tatapan yang sulit diartikan. Perasaannya terhadap gadis yang ada dihadapannya ini semakin membuncah. Semua kriteria wanita yang Julian inginkan ada pada Nana.
Nana meringis, menyadari ucapannya tadi terlalu panjang. “Omongan aku terlalu panjang ya? Maaf, aku ga bermaksud ngajarin kamu. Aku ngomong gitu berdasarkan pendapat aku sebagai seorang perempuan. Kamu ga marah kan?”
Julian tersenyum kemudian mengacak-acak rambut Nana gemas. “Saya sama sekali ga marah. Saya justru mau berterimakasih karena kamu udah menyadarkan saya untuk tidak melakukan sesuatu yang buruk.”
Nana menghela nafas lega. Dia kira Julian tadi diam karena marah. “Lagian kan cewe yang kamu suka itu baru punya pacar dan bukan suami. Bisa aja kan sewaktu-waktu dia sama pacarnya putus? Kamu jangan dulu menyerah ya. Perjuangkan dia selagi bisa.”
Bukankah sangat lucu, saat Nana menyemangati Julian agar tidak menyerah dan memperjuangkan wanita idamannya padahal wanita tersebut adalah dirinya sendiri. Dunia terkadang selucu ini.
“Saya akan memperjuangkan dia.” Saya pasti akan memperjuangkan kamu Na. Meski saya tau kalau nantinya saya akan sakit hati.
Nana tersenyum dan mereka membicarakan banyak hal. Mereka tidak menyadari kalau dari tadi ada seseorang yang memperhatikan mereka sambil mengepalkan tangannya hingga memutih.
Chanyeol.
Nana akan mendapatkan masalah setelah ini.
-