Jika tidak bisa melanjutkan cerita, maka hentikan saja di saat bahagia. Bukan berhenti di tengah-tengah lalu kau jual di tukang loak. Tapi lakon memang tidak akan pernah bisa menandingi sang Dalang.
Awalnya, kurasa aku lebih suka duduk manis di samping ranjang opa sambil mendengarkan cerita beliau waktu muda, tapi kemudian aku menikmati malam-malam di dunia wayang.
"Bukankah Arjuna tidak pernah menyakiti?"
"Hanya karena ia tidak tahu apakah perempuan-perempuannya tersakiti atau tidak.."
Aku menunduk, mau tidak mau mengiyakan kata-katanya. Dari awal dia memang tidak salah. Api tanpa angin takkan jadi besar, tapi tetap saja api yang salah. Baiklah kalau dia ingin menjadi Arjuna, maka aku akan menjadi Dewi Larasati.
***
Langit masih secerah biasanya. Panas yang menyengat kulit tidak sedikitpun menyaingi hatiku. Aku jadi ingat film india Jab Tak Hai Jaan. Tapi ini tentang ceritaku yang biasa-biasa saja. Kata Sherlock Holmes, orang yang sulit ditebak itu justru tampak biasa-biasa saja alias bukan dengan sederet ciri-ciri. Orang nyentrik sangat identik dengan orang seni, orang perlente identik dengan orang kantoran, dan lain-lain.
Maka saat pertama kali bertemu dengannya di rumah sakit pun, aku tak mampu menyimpulkan apapun karena ia orang yang tampak biasa-biasa saja. Aku hanya yakin dia laki-laki baik. Semuanya berawal dari kelupaanku membawa dompet saat menawar obat di apotek.
Tampangku yang panik menarik perhatian banyak orang, salah satunya dia yang dengan rela aku cueki setengah mati. Setelah dua kali berusaha menyapaku, aku menoleh dengan enggan. Tampak seorang laki-laki paro baya dengan kaos putih dan celana kain. Wajahnya biasa-biasa saja, hanya lebih bersih dari kebanyakan laki-laki.
"Ya?" jawabku.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Aku menghela nafas berat. "Saya kehilangan dompet dan saya sedang menebus obat.." jawabku tanpa meminta bantuaannya. Gengsiku gede sekali untuk sekedar meminta bantuan pada orang lain, apalagi orang tak dikenal.
"Saya bawa uang lebih kalau anda mau meminjam.." tawarnya. Aku mengerutkan alis sambil menimbang-nimbang gengsiku yang mulai luntur. Beberapa saat terdiam aku kemudian mengangguk.
"Saya berjanji akan mengembalikan secepatnya setelah kembali ke kamar.." ucapku. Dia tersenyum lalu mengambil dompetnya. Aku mengalihkan pandangan ke arah kasir, merasa pamali melihat privasi orang lain.
Aku pergi setelah mencatatkan alamat kamar opa di secarik kertas yang disodorkannya. Dia masih menunggu panggilan dengan sabar. Aku tak menoleh lagi, pikiranku telah kembali pada dompet yang setelah kuingat-ingat, tertinggal di tasku yang satu.
Satu dua hari aku menunggu orang itu mengunjungi kamar rawat opa namun belum nongol juga. Malam hari ketiga aku bertemu dengannya di taman depan rumah sakit. Aku baru saja digantikan ibu dan Om Bontot begitu aku memanggilnya- menunggui opa. Bingung tanpa kerjaan aku memutuskan mencari angin di taman karena penunggu pasien hanya dibatasi dua orang saja.
Aku melihatnya duduk termenung di salah satu bangku di bawah pohon beringin yang sama sekali tidak seram. Mungkin karena banyak lampu neon menyala terang atau meski tidak banyak, halaman rumah sakit ini lumayan ramai oleh para penjenguk. Dia tidak menyadari kehadiranku.
"Permisi.." sapaku, "Boleh duduk di sini?"
Dia menoleh. Tampangnya sangat kacau, meski begitu ia langsung tersenyum sambil mengangguk sopan.
"Saya menunggu anda dari dua hari yang lalu.." aku mengawali percakapan.
“Saya juga.." jawabnya. Aku tersenyum tapi terhenti tiba-tiba, bukankah dia tidak memberikan alamatnya padaku? Dia tersenyum lagi seperti mengerti aku baru menyadari kalimatnya. Aku tersenyum lebar, merasa terhibur di tengah penatnya kesibukan rumah sakit. Aku mengambil sejumlah uang dari dompet dan memberikan kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Kumpulan Cerpen) Arjuna di Dada Sri
Short Story"Jika tidak bisa melanjutkan cerita, maka hentikan saja di saat bahagia. Bukan berhenti di tengah-tengah lalu kau jual di tukang loak. Tapi lakon memang tidak akan pernah bisa menandingi sang Dalang."