Butet

14 1 0
                                    

Langit masih tampak mendung. Sisa-sisa gerimis juga masih setia mengguyur bumi, menemaniku  mengumpulkan tekad yang seakan runtuh satu-satu saat melangkah. Asa yang kuharap semakin menebal kini malah layaknya selembar kertas, tertiup angin kesana-kemari.

***

Aku menyusuri jalan setapak penuh batu tak beraturan. Rongga-rongga yang menampung air hujan semalam kadang memaksaku untuk sedikit mengangkat rok. Belum lagi tanah liat yang licin membuat otot betisku kaku karena menahan badan agar tak terpeleset. Tentu saja kalau bukan karena tuntutan, aku tak mau melakukan ini semua.

Krk!
Aku membuka pintu kayu yang sudah rapuh dan bolong di sana-sini.

“Pagi Bu”, sapa seorang gadis kecil berumur sekitar sepuluh tahun padaku. Senyumnya mampu mewakili semangatnya walaupun dengan baju yang kumal. Bahkan mungkin seminggu tidak ganti.

Hari ini aku mengenalkan salam sebagai bentuk sapaan. Kurang lebih dua belas anak kecil termasuk gadis kecil asal Medan itu mengikuti dengan antusias. Hanya saja di tengah pelajaran, gadis kecil yang biasa dipanggil Butet itu selalu pergi meninggalkan kelas. Ia hanya mengatakan ia perlu membantu ayahnya. Lama-kelamaan ia pergi tanpa izin karena terlalu sering ia ucapkan.

***

Sudah dua minggu aku menikmati hidup di perasingan. Rasa kangen ngampus, kos dan lainnya mulai menyergap. Hari ini aku sengaja tak memberikan pelajaran banyak, malas sekali rasanya. Menjelang pukul sepuluh aku menutup pelajaran dengan alasan ada urusan. Mereka pergi meninggalkan kelas, kecuali Butet.

“Kau tak pulang, Butet?" tanyaku. Dia tersenyum simpul.

"Butet memang tak pulang, Bu,"

"Lalu?"

"Butet mau main dulu, Bu, hehe.." ujarnya sambil beranjak. Ia mencium tanganku sambil mengucap salam.

Tubuh kecilnya hampir tak kelihatan saat kuputuskan untuk mengikutinya. Entah apa yang membuatku tiba-tiba penasaran dengan kesehariannya saat bolos dari kelas.

Ia berhenti di tepi pantai yang ramai oleh anak sebayanya. Tapi ia tidak ikut bermain seperti mereka. Hanya kadang kakinya memainkan air ombak yang mengejar tepi pantai.

Beberapa saat kemudian sebuah perahu kecil datang. Seorang laki-laki yang kutahu itu adalah ayahnya dengan cakap menurunkan ember-ember berisi ikan lalu mengelus kepala Butet sambil tersenyum. Setelah semuanya selesai, mereka mulai berjalan meninggalkan pantai.
Aku sedikit tertinggal saat mengikuti mereka yang melewati pekarangan. Maklum, ini bukan daerahku. Tidak seperti Butet dan ayahnya yang tanpa alas kaki pun dengan santainya melewati pekarangan.

Sampai di desa, ayahnya berpisah. Kini tinggal Butet yang menjajakan satu kotak ikan hasil tangkapan ayahnya dari rumah ke rumah. Kadang dibeli sedikit oleh tuan rumah, kadang hanya dilihat-lihat dan ah! kadang malah diusir. Tapi tidak pernah tampak wajah kecewanya. Beberapa kali aku ingin keluar dari persembunyian tapi kuurungkan.

Dengan senyumnya yang polos ia menyusuri jalan setapak yang sepi. Ia tak lagi menjajakkan ikan yang mungkin hanya tinggal beberapa ekor. Aku masih mengikutinya dengan decak kagum. Hingga kekhawatiranku mulai muncul saat dua anak laki-laki seumurannya muncul. Tampak mereka mengobrol sampai salah seorang dari dua anak itu mengambil ember ikan Butet dan keduanya berlari. Reflek, aku lari hendak mengejarnya, tapi terhenti ketika kusadari ternyata Butet diam saja.

“Hei, kembalikan ikannya.." ucapku agak keras. Dua anak laki-laki itu hanya menoleh sekilas lalu kembali berlari. Sementara aku masih dibuat kesal, Butet justru tampak heran dengan kehadiranku yang tiba-tiba.

"Tidak apa-apa, Butet, nanti kita cari ikan lagi ya.. "

"Apa yang Ibu lakukan?" tanyanya tanpa menanggapi ucapanku. Aku terdiam.

"Tidak ada. Butet sedang apa?"

“Habis menjual ikan," jawabnya polos.

“Kenapa tidak dikejar?"

"Mereka?" Butet menggeleng, "Tidak apa-apa, Bu, mereka kan tidak bisa mencari ikan sendiri, jadi Butet kasih.."

“Jadi, mereka dikasih?" Butet mengangguk. Aku menekuk alis, heran.

"Hehe, soalnya uang Butet sudah cukup untuk membeli beras. Lagian kata ayah, kalau Butet membagi ikan yang ayah dapat hari ini, ayah akan dapat ikan yang lebih banyak lagi besok."

Aku mengelus dada mendengar ucapannya yang polos. Entah ayahnya yang luar biasa atau anak ini yang ajaib. Yang pasti, saat aku rapuh oleh silau dunia, Tuhan menegurku dengan tangan kecil kumal yang sama sekali tidak kusangka-sangka.

(Kumpulan Cerpen) Arjuna di Dada SriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang