Gendam

20 1 0
                                    

Vie melihat-lihat koran yang ada di sampingnya sambil sesekali menengok ke pintu. Teman yang ditunggunya belum juga keluar dari kos-kosan. Ia membaca headline yang terpampang di koran, 3 ATM dan Rp. 20 Juta Raib di Tangan Tukang Gendam. Vie memperhatikan foto tersangka yang terpampang di samping berita utama. Wajahnya tidak terlalu jelas karena tertutup sebagian rambutnya yang terurai panjang. Tapi sepertinya ia pernah melihatnya...

***

Vie mempercepat langkahnya keluar dari bank. Langit  begitu mendung, ia harus sampai di halte sebelum hujan turun.  Ia sedikit terkejut saat seseorang di depan pintu masuk hampir bertabrakan dengannya, tapi kemudian langsung berbalik tanpa berucap apapun. Vie memperhatikannya sejenak, sepertinya ia yang tadi berada di gerbang kampus. Kenapa bisa ada di sini?

Di halte, gerimis mulai turun.

"Maaf," ucap seorang perempuan saat  kubangan air yang terinjak olehnya mengotori bawahan Vie.

"Oh, gak papa," jawab Vie sambil tersenyum simpul. Perempuan tadi sibuk menepuk-nepuk bajunya yang agak basah. Bibirnya tampak pucat, mungkin kedinginan.

"Aku Migy," ucanya tiba-tiba sambil menyodorkan tangan. Vie menerimanya.

"Aku Vie. Mbak karyawan?" tanya Vie mengakrabi.

"Panggil aku Migy aja, biar lebih akrab," sela Migy.

"Oh, ya, kayaknya aku pernah lihat kamu, di mana ya?" Vie mencoba mengingat.

“Emm..." jawabnya terpotong saat sebuah bus berhenti tepat di depan mereka.

Mereka langsung masuk dan duduk bersebelahan dengan Vie di samping jendela. Beberapa kali angin memaksa Vie untuk mendekap buku kalkulusnya lebih erat. Dingin.

"Kamu pindah sini aja gih.." pinta Migy tiba-tiba, "Pucat banget.." tambahnya. Ia kemudian melepas jaketnya dan memberikannya pada Vie.

Vie mulai terkesan dengan kepedulian Migy. Percakapan terus mengalir, menggambarkan keakraban yang cepat tercipta di antara mereka. Hingga seorang kondektur mendatangi mereka. Vie menyodorkan dua ribuan sedangkan Migy masih mencari-cari sesuatu di dalam tasnya, tapi sepertinya tak ketemu juga. Lama-lama ia tampak panik.

"Oh, Tuhan..." keluh Migy masih dengan kepanikannya.

"Ada apa, Mig?" tanya Vie khawatir.

"Dompetku, Vie.." ucapnya sambil terus mengobrak-abrik isi tasnya.

"Hey,.. cepetan dong!! kalau gak punya duit gak usah naik!!" gertak kondektur. Beberapa penumpang memperhatikan mereka sambil berbisik-bisik.

"Sebentar, Bang.." ucap Migy. "Ya, Tuhan... Aku baru saja gajian kemarin. Mau gimana aku kalau uang itu benar-benar hilang..." Vie benar-benar iba dengan keadaan Migy.

"Kalau gak bisa bayar, turun aja di sini!" bentak si kondektur lagi. Vie melirik kesal pada kondektur itu, begitu juga penumpang yang lain. Benar-benar tak mengerti keadaan Migy.

"Berapa?!!" tanya Vie sinis.

"Turun di mana, Neng?" tanya kondektur ke Migy. Migy berhenti mencari dompetnya dan menoleh ke Vie.

"Maaf banget ya, Vie.".

"Gak papa." Jawab si Vie. “Ayo berapa? tanya si Vie lagi.

“Aku turun di perum Permai," ucap Migy. Vie menarik lima ribuan dari dompetnya dan menyerahkannya ke kondektur.

"Hati-hati, Migy.. sekarang pencuri banyak triknya. Apalagi kalau sudah hipnotis, wah..bahaya banget." Vie mencoba menasihati. "Sudahlah, gak usah terlalu diratapi kayak gitu. Mungkin itu memang bukan jatahmu, ikhlaskan saja..." tambahnya. Migy tak menyahut, hanya raut wajahnya menampakkan kesedihan yang amat sangat.

"Bukan itu saja, Vie, yang aku pikirkan. Uang di tabunganku habis untuk biaya semesteran adikku dan uang tujuh ratus ribu itu untuk biaya hidup selama sebulan..." Migy tak melanjutkan ceritanya, air matanya sudah meleleh dari tadi. Reflek, Vie merangkulnya, mencoba menenangkan. Bagaimanapun, Vie tak bisa membayangkan kalau hal itu terjadi padanya. Secara, ayah ibunya hanyalah seorang pedagang pasar dengan penghasilan yang tak seberapa.  Tapi kalau sudah seperti ini...

"Pakai uangku dulu aja," tawar Vie akhirnya. Migy menoleh, menatap Vie dalam, mencari keyakinan di mata Vie.

"Bener?"

"Ya," jawab Vie tanpa ragu.

"Aku ambil sekarang ya?"

Vie mengangguk tanpa ekspresi. Tatapannya kosong. Migy tersenyum sambil menghapus air matanya. Tampangnya berubah seratus delapan puluh derajat. Vie belum menyadari senyuman itu, mata yang terus memandangnya dan kepercayaan yang telah terkuasai. Belakangan kesadarannya juga  ikut pergi.

***

"Mbak, Mbak... turun di mana?" tanya si Kondektur. Vie mengerjapkan mata. Ia tertidur. Migy? Ia celingukan mencari sosok yang tadi ada di sampingnya. Matanya tertuju pada tasnya yang terbuka dan... dompetnya??!

"Mbak yang tadi di sini kemana, Bang?" tanya Vie heran.

"Dia turun di terminal barusan."

Terminal? Perum Permai? Sial! Vie tak bisa berkata-kata lagi, lidahnya terasa kelu. Untuk menyesalinya pun dirasa percuma. Dengan gontai Vie turun dari bus. Ia masih ingat kata-katanya pada Migy di bus tadi... Sudahlah, gak usah terlalu diratapi kayak gitu. Mungkin itu memang bukan jatahmu... Ikhlaskan saja...

(Kumpulan Cerpen) Arjuna di Dada SriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang