Lubang-lubang Balong

17 0 0
                                    

Aku mendesah kesal dengan kendaraan roda dua yang tiba-tiba menyalipku. Bagaimanapun jika terjadi kecelakaan, yang disalahkan adalah mobil, walaupun yang salah motor. Perintah mendadak dari si Bos, atasanku tentunya, membuatku sangat tergesa-gesa pagi ini. Dengan berat meninggalkan koran yang baru terbaca setengah berita headline, kopi yang belum sempat kuminum karena masih panas dan sepiring serabi yang hanya sempat kuambil satu. Itupun tersedak. Istriku sempat melirik dari dapur tapi aku cuek saja.

"Ayah, katanya mau nganter kita?" Tanya anak keduaku yang memergokiku menyambar kunci mobil di atas buffet dengan terburu-buru.

"Ayah ada keperluan mendadak, Sayang, sama Mang Jaman ya.." jawabku pendek. Ia berhenti menguyah makanan lalu memanyunkan bibir. Merajut manja. Tapi tak sampai membuat langkahku terhenti hingga menghilang di balik pintu garasi.

Tiiiiiiiiiinnn.
Ups! Aku melamun. Kuperhatikan lampu hijau sudah lewat lima detik. Lima detik yang sangat berarti bagi orang-orang sepertiku. Cepat-cepat kuinjak gas sebelum klakson-klakson di belakang menyerbuku lagi. Seorang penjual koran tampak kaget sambil mundur menjauhi mobilku, begitu juga aku yang tak menyadari keberadaannya sedari tadi. Kulirik ia dari kaca spion sebalah kanan, sedikit menggerutu.

Di tikungan ketiga aku berbelok. Goncangan mulai terasa saat melewati jalan ini walaupun hampir tak tertasa di mobil mahalku. Hadiah dari bos setahun yang lalu, tepatnya sehari setelah pelantikan sehingga istriku tak perlu lagi mengendarai motor tuanya untuk belanja ke pasar yang kali ini lebih sering beralih ke supermarket. Sekantong plastik cabai pun bahkan. Tentu saja dengan mobil bekasku yang masih eman untuk dikatakan bekas.

“Cabai lagi mahal Pa, kalau enggak jeli, bisa jadi penjual mencampurkan cabai busuk ke cabai segar kayak di pasar-pasar itu. Ih, mama enggak mau, kan nanti kita juga yang repot, sakit perut dan mengeluarkan biaya lagi untuk berobat. Mana rumah sakit jauh pula dari sini..." jawabnya waktu itu saat aku berkomentar dengan kepulangannya dari supermarket dengan hanya sekantong plastik cabai.

Aku melongo saja, tak tahu harus menyahut apa. Memang, perempuan paling pintar melipatgandakan jawaban dari pertanyaan yang cuma  satu. Aku melirik mobil tanpa berucap. “Namanya juga peningkatan, Pa. Temen-temen mama malah ada yang ganti tiap bulan. Tapi bagi mama ini sudah cukup kok Pa." tambahnya sambil memamerkan senyum manisnya.

Ah! Ternyata selain pintar melipatgandakan jawaban, perempuan juga pandai sekali menebak isi pikiran orang lain. Aku mengangguk saja.

Jalan yang kulalui tak lagi mulus. Masih harus menempuh beberapa ratus kilometer lagi untuk sampai di tempat yang kutuju. Toko-toko di pinggir jalan baru saja buka, beberapa pemilik tampak sedang menyapu halaman. Sesekali berhenti sejenak hanya untuk melempar senyum pada orang tua-orang tua yang sedang jalan-jalan. Sesaat kemudian aku sudah berbelok lagi. Kali ini beberapa bagian jalan tampak mulai berlubang, membuatku harus pintar memilih.

Seorang perempuan terdengar berteriak keras, kaget ketika mendapati seorang gila tampak sedang mengais-ngais sampah di depan warungnya. Ia kembali ke dalam rumah dan kembali dengan sapu di tangan. Aku geleng-geleng kepala. Bukan karena melihat apa yang dilakukan perempuan itu, tapi ternyata daerah ini belum ditertibkan. Atau memang orang gila di jaman sekarang semakin banyak. Entahlah, mungkin di kota sana juga banyak orang gila yang belum ditertibkan.

Kurasakan laju kendaraan mulai tidak stabil padahal dua hari yang lalu mobilku baru saja diservis, berjuta-juta habisnya. Sedikit ngedumel aku mengemudi dan tiba-tiba... ah! Mobilku berhenti. Ada lubang besar yang menenggelamkan ban mobilku. Aku starter mesin lagi, ban berputar kencang tapi tetap saja tak mau naik ke permukaan.

Srrrrrttttt!
Lima belas menit ban mobilku masih bertahan di dalam lubang. Kendaraan-kendaraan lain menyalip dengan tenangnya. Maklum, mungkin mereka lebih paham tentang daerah ini daripada aku. Satu dua kali kucoba, lama-lama kesal juga. Aku turun, celingak-celinguk mencari orang yang sekiranya bisa diminta bantuan, tapi sepertinya aku harus berjalan kaki terlebih dahulu.

(Kumpulan Cerpen) Arjuna di Dada SriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang