Liputan pagi ini memberitakan sosialisasi dana bantuan untuk para siswa tingkat SMP-SMA. Bukan hanya yang berprestasi, melainkan semuanya. Tak tanggung-tanggung, pemerintah melakukan gebrakan di dunia pendidikan dengan memberikan bantuan yang tidak sedikit untuk setiap siswa. Aku manggut-manggut saja mendengar berita itu sambil menyeruput teh yang disuguhkan istriku.
"Asal gak macet di tengah jalan aja ya, Mas..." seloroh istriku yang tiba-tiba muncul di sampingku dengan perut besarnya. Aku hanya tersenyum mengiyakan lalu kembali melihat berita.
***
"Pagi, Mang..." sapa siswi yang menurut kabar burung, bapaknya mengepalai Dinas Pendidikan Jawa Tengah.
Aku tahu itu karena bapaknya pernah mengunjungi sekolah ini. Ah, andai waktu itu boleh ikut bicara, aku ingin protes padanya tentang nasibku. Namaku Raharjo, tapi lebih dikenal dengan panggilan Mang Jo oleh penghuni SMP favorit. Aku adalah seorang satpam. Namun jangan salah, begini-begini aku seorang yang bergelar SE. Hanya saja, aku belum ditakdirkan untuk ongkang-ongkang sambil ngitung duit.Ini adalah tahun ketiga aku menjadi satpam dan hanya itu-itu saja yang kukerjakan, menghukum siswa telatan atas nama kedisiplinan sambil melirik guru-guru yang dengan wibawanya memasuki gedung sekolah. Aku seringkali menghayal menjadi bagian dari mereka. Hingga sampai pada suatu hari, terjadi.
Seluruh siswa dikumpulkan mendadak di lapangan, Pak Kepsek dengan hati-hati menyampaikan berita duka atas meninggalnya kepala TU sekolah mereka karena serangan jantung semalam. Beberapa jam kemudian bel berbunyi, sekolah mendadak dipulangkan lebih awal.
Esoknya, suasana berkabung masih menyelimuti seluruh penghuni sekolah. Tidak ada yang tampak memamerkan tawa seperti hari-hari biasa atau sekedar ngobrol. Bahkan aku sendiri enggan menghukum siswa telatan, kubiarkan saja mereka masuk."Mang Jo, bisa ke ruangan saya sekarang?" suara Pak Kepsek mengejutkan. Segera kuturunkan kakiku yang sedang enaknya nangkring di atas meja. Beliau langsung pergi setelah kuanggukkan kepala sehormat mungkin.
"Jadi begini, ada amanat almarhum Pak Sihab sebagai kepala TU untuk mengambil Mang Jo sebagai TU..." ucap Pak Kepsek sesampainya aku di ruangan beliau.
"Ba.. bagaimana bisa, Pak?" jawabku terbata.
Pak Kepsek menjelaskan semua. Tentang lamaranku tiga tahun yang lalu. Aku memang tidak diterima sebagai guru atau karyawan di sini, tapi mereka juga tidak mengeluarkan karena menimbang ijazah sarjana ekonomi-ku. Aku mengangguk-angguk sendiri antara senang dan heran.
***
Lama-lama aku terbiasa dengan seragam baruku, duduk ongkang-ongkang sambil mengurus kertas. Siswa-siswi juga mulai terbiasa memanggil Pak Jo, bukan Mang Jo yang sekarang sudah digantikan Mang Supri, mantan pengangguran yang lain.
Bulan demi bulan berlalu. Tak terasa masa jabatanku sudah berlangsung hampir satu semester. Suatu hari, untuk kali pertama Pak Kepsek mendatangi ruanganku yang hanya terpisah tembok. Beliau tampak santai saja."Pak Jo, bisa minta bantuan tidak?"
"Oh, tentu saja, Pak. Apa yang perlu saya lakukan?" sambutku antusias.
"Saya minta tolong pegangkan uang dulu ya, nanti saya kasih komisi," lanjutnya kemudian.
Ada sedikit senyum yang tersungging di bibirnya. Aku tak tahu harus ikut tersenyum atau diam saja.
"Uang siapa, Pak?"
"Emm... uang kita,"
Aku hendak berkata lagi ketika Pak Kepsek kembali berucap, "Oh, ya, tolong dirahasiakan dulu, dananya baru cair besok," lalu ia pergi meninggalkan ruanganku.Aku termangu beberapa saat dan mengangkat bahu.
Berawal dari menitipkan dana yang katanya uang kita dengan komisi seadanya, aku menjadi lebih dekat dengan beliau. Memasuki tahun kedua, secara resmi aku menjabat sebagai kepala TU. Ah, semakin mulus saja jalan yang kutempuh.
Kebanyakan guru melihat kenaikan pangkatku dengan suka cita walaupun beberapa dari mereka mencibir di balik punggungku. Bukan tak menyadari hal itu yang mungkin karena silau dengan keadaanku yang berubah, tapi aku merasa mempunyai tameng, yaitu Pak Kepsek. Di bawah jubah beliau, bisik-bisik itu seolah hanya buih yang hilang tertiup angin.
Aku jadi ingat saat melewati mading dekat ruang guru beberapa hari yang lalu. Iseng-iseng aku membaca tulisan besar-besar yang merupakan judul dari salah satu artikel, Bantuan yang Habis di Perjalanan ditulis oleh salah satu siswi kelas VIII. Aku tersenyum geli. Jangankan seorang siswa, guru saja aku tertawakan dalam hati jika ada yang menyindir hal itu di depanku.
Sebagai orang kepercayaan Kepsek, akhir-akhir ini aku sering ditugasi keluar oleh beliau. Tujuannya tak lain hanyalah agar aku semakin mahir dalam hal pendanaan. Tepat sekali, karena sejak itu aku jadi lebih tahu darimana dan kemana saja arus uang yang masuk ke sekolah. Seringkali beliau memberikan pelatihan pribadi sebagai tambahan setelah aku mengikuti pelatihan di luar. Tentu saja untuk mengetahui sejauh mana aku bisa memahami semua itu dan semakin banyak saja komisi yang kuperoleh. Mungkin capek, bisik-bisik di belakangku pun mulai terbawa angin. Hilang.
Memang sedang mujur, saat itu pula, aku mulai dekat dengan seorang guru agama dari SMP lain bernama Mutiah. Perkenalan kami berlanjut menjadi ketergantungan yang mengikat. Tak perlu pikir panjang, kuutarakan perasaanku yang sebenarnya pada dia. Seperti dugaanku, ia menyambut baik. Tidak ada kendala berarti walaupun keluarganya tahu aku hidup sebatang kara di sini. Secara resmi aku menikahinya tiga bulan setelah bertunangan disaksiakan teman-teman dan Pak Kepsek. Dalam hati aku sangat berterimakasih pada beliau.
Tentu saja, kalau bukan dari bisnisku dengan beliau, mana mungkin aku bisa membayar DP pernikahan yang kupesan dari WO terkenal. Eh, itu rahasia ya. Tak kubayangkan hidupku akan semulus ini. Keberuntungan demi keberuntungan yang kuraih dan jabatan yang semakin kokoh seolah-olah menjadi bayaran bagi kemalanganku di masa lalu.
***
Pagi ini, dengan Supra X 125 yang baru kuambil kemarin dari dealer motor, kumasuki gerbang sekolah. Mang Supri, satpam penggantiku sempat berseloroh saat aku melalui singgasananya.
"Silau sekali, Pak Jo.."
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Begitu juga ketika beberapa guru yang kebetulan berangkat bersamaan denganku mulai menggoda. Namun tampaknya beberapa dari mereka berbisik-bisik di belakangku. Mungkin mereka iri atau entahlah, aku tak mau merusak pagi yang indah ini. Langsung saja aku menuju ruanganku, kulihat ruang Kepala Sekolah masih sepi, padahal biasanya beliau datang lebih awal dariku.
Aku menuju mejaku. Belum sempat menyentuh apa pun, mataku sudah tertumbuk pada sebuah surat perintah penyelidikan atas nama Dinas Pendidikan. Dengan gugup aku menuju meja Kepsek dan benar dugaanku, sejenis surat yang sama tergeletak di meja beliau. Tiba-tiba terbayang, bagaimana dengan uang kita-ku yang sudah terlanjur kutabung untuk persalinan istriku yang sedang hamil besar? Juga kredit motor yang baru kuambil kemarin? Dan terakhir terbayang siswi yang menulis artikel di mading waktu itu. Ah, gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Kumpulan Cerpen) Arjuna di Dada Sri
Kort verhaal"Jika tidak bisa melanjutkan cerita, maka hentikan saja di saat bahagia. Bukan berhenti di tengah-tengah lalu kau jual di tukang loak. Tapi lakon memang tidak akan pernah bisa menandingi sang Dalang."