Sebungkus Serapah yang Dikurangi Jatahnya

15 0 0
                                    

Hari kedua aku dibuat bergidik sekaligus penasaran dengan orang-orang yang berkerumun di depan balai desa. Mereka datang, beberapa detik kemudian berbalik pergi sambil mencibir, begitu seterusnya. Anehnya, mereka membawa bungkusan dan mengumpulkannya ke dalam keranjang. Aku yakin itu ada hubungannya dengan perempuan gembrot di depan balai desa yang sedang berbicara berbusa-busa sambil sesekali mengangkat tangan. Ia sama sekali tak memedulikan orang-orang yang dengan sengaja menampakkan kemalasan untuk mendatanginya.

“Sudah belum, Nduk?” Suara Mak De mengejutkanku. Kulirik ia sekilas sambil mengangguk lalu kembali memerhatikan si perempuan gembrot dari balik jendela. Ia tampak mengomel sambil melemparkan kerikil pada seorang laki-laki agak tua yang lari terbirt-birit dengan sepasang sandal di tangannya.

“Namanya Tarsih,” ucap Mak De tepat sekali dengan pertanyaan yang bersemayam di benakku sejak tadi. “Dulu, dia cuma bikin ribut di pasar, tapi sekarang kemana-mana.”

Aku berbalik, mendekati Mak De yang sedang menggunting kertas minyak dan koran di lantai.

“Dia lagi ngapain Mak De?” Aku bersedeku di hadapan Mak De.

“Lagi woro-woro, ngasih tahu warga akan hal-hal yang tidak baik, setiap warga yang datang pasti akan diramalkan tentang ladang dan sawah, juga dagangan mereka, kadang juga dedemit yang menghuni rumah. Sepertinya dia tahu semuanya,” Mak De tampak enggan meneruskan cerita meski dahiku berkerut lama meminta jawaban lebih. “Tapi ya itu, orang-orang harus membayar upeti untuk mendengarkan ocehannya.”

“Tapi kok banyak orang yang mengumpat setelah mendatangi tempat itu Mak De?”

“Itu karena ramalan mereka buruk.” Mak De selesai memotong koran dan kertas minyak.
Lantas, tangannya dengan cekatan membungkus nasi putih yang masih mengepul di baskom. Kemudian ditambah dengan lauk tempe kering, sayur daun singkong dan mie yang telah dimasak sejak subuh tadi.

Seperti Mak De, tanganku juga ikut mengambil secarik koran ditumpuk secarik kertas minyak lalu diisi satu setengah centong nasi putih dan tiga macam lauk itu.

“Lalu kenapa mereka masih datang juga?” tanyaku lagi, penasaran.

Wes kadung, Nduk.” Mak De menaruh bungkusan pertamanya di bakul yang masih kosong. “Kalau ndak didengerin, nanti kita semua yang kena, disumpahin banyak hal jelek,” imbuh Mak De. Dahiku mengerut, mencerna perempuan macam apa kiranya si Tarsih itu.

“Kamu jangan sekali-sekali bicara dengannya, dapat nasib buruk nanti,” lanjutnya sambil berlalu.

Aku mengangguk saja, lalu melanjutkan lagi membungkus nasi rames. Seperti bungkusanku sebelumnya, kukurangi sedikit karena menurut perkiraanku, bungkusan Mak De terlalu banyak sehingga orang-orang takkan habis jika memakannya. Selain eman-eman, bukankan itu juga mubadzir? Aku membenarkan sendiri dialog di dalam kepalaku.

Di luar sana, di depan balai desa, Mak De menaruh satu bungkus nasi rames dari bakulnya. Tanpa memberhentikan langkah, ia langsung memutar arah kembali ke rumah.

***

Mak De sebenarnya tidak ada hubungan darah dengan keluargaku. Ia hidup sebatang kara sejak remaja. Ayahnya meninggal saat ia menginjak remaja dan ibunya menyusul setahun kemudian. Ia anak semata wayang yang tidak ditinggali warisan apapun kecuali keahlian memasak. Maka sejak hidup seorang diri, ia memulai pekerjaannya menjadi penjual nasi rames. Ia biasa berkeliling dan kadang mangkal di pasar jika dagangannya belum habis. Satu-satunya tetangga dekat Mak De adalah ibu yang juga serumah dengan eyang. Rumah mereka bersebalahan.

Ibu dan Mak De memang teman dekat sejak kecil, sementara eyang sudah seperti ibu bagi Mak De. Sampai ibu menikah dengan ayah dan aku lahir dua tahun kemudian. Praktis aku tak hanya mendapatkan kasih sayang ayah, ibu dan eyang, tapi juga Mak De. Seringkali Mak De tinggal di rumahku, apalagi kalau ibu harus melembur jahitan sampai larut malam. Layaknya seorang ibu, Mak De tahu segala sesuatu yang harus dilakukan untukku seolah pernah mengurus anak sebelumnya. Seolah aku anaknya sendiri. Sedangkan ayah lebih sering menghabiskan waktu di sawah yang tak seberapa luas dan tak jarang hanya pulang untuk makan.

(Kumpulan Cerpen) Arjuna di Dada SriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang